Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, December 3, 2007

Air Mata Kehidupan

Kami Tidak Lemah!

Oleh Eka Mayo

Sejak tahun 1998 bulan Mei memiliki makna lebih bagi saya. Ada dua peristiwa berarti terjadi pada bulan itu, yaitu ulang tahun saya dan peringatan peristiwa 13-15 Mei 1998. Sebelumnya ketika memasuki bulan Mei ada perasaan bahagia meliputi diri saya. Namun sejak tahun 1998 bulan Mei terasa hambar. Peringatan peristiwa Mei 1998 yang secara rutin dilakukan oleh Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998 lebih mendominasi pikiran saya dibanding moment bertambahnya umur yang mungkin seharusnya menjadi hari spesial. Beberapa teman mengingat hari ulang tahun saya karena tanggalnya berdekatan dengan peringatan peristiwa Mei 1998 yang rutin dilakukan setiap tanggal 13-15 Mei 1998.

Ingatan yang Tak Hilang
Saya masih ingat, pada tanggal 13-15 Mei tahun 1998 seluruh layar televisi menayangkan aksi demonstrasi ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia untuk menuntut reformasi. Aksi penertiban aparat terhadap demonstrasi mahasiswa menimbulkan korban tewasnya mahasiswa Trisakti dan korban luka lainnya. Nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar jatuh. Gedung-gedung pusat perbelanjaan dibakar. Ribuan orang tewas terperangkap dalam gedung-gedung pusat perbelanjaan yang berubah menjadi lautan api. Suasana tegang sangat terasa saat melihat berbagai informasi yang disiarkan oleh berbagai stasiun televisi saat itu.


Suasana tegang semakin menjadi ketika malam harinya diterima informasi mengenai rencana penyerangan sekelompok orang ke beberapa wilayah daerah tempat tinggal saya. Informasi tersebut membuat warga khawatir. Anggota masyarakat, terutama laki-laki, melakukan jaga malam beramai-ramai dengan mamasang drum-drum besar untuk menutupi jalan utama ke wilayah kami. Sementara itu, ibu-ibu dan anak-anak tinggal di dalam rumah dengan rasa tak kalah tegangnya. Semua kejadian tersebut bukanlah hal yang indah untuk diingat, namun itu adalah fakta kelam yang sampai kapanpun tidak akan pernah dapat hilang dari ingatan saya.


Peristiwa tersebut menjadi titik awal keterlibatan saya berkecimpung dalam kegiatan pendampingan keluarga korban bersama beberapa teman lain yang pernah tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Keterlibatan saya berawal ketika saat itu ada seorang kawan di kampus yang bercerita tentang kegiatannya di TRuK. Layaknya gayung bersambut, keinginan saya yang terpendam untuk bergabung bersama TRuK beberapa saat setelah peristiwa Mei 1998 seolah mendapat jawaban ketika saya diperbolehkan untuk ikut bersamanya dalam sebuah rapat yang diadakan oleh teman-teman Tim Relawan di Salemba. Dari situlah kemudian saya terlibat dalam berbagai kegiatan TRuK lainnya yang berfokus pada advokasi dan pendampingan keluarga korban Mei 1998.


Sebelum bergabung dengan TRK, saya hanya mengetahui figur keluarga korban secara sekilas melalui media massa. Mereka adalah sekelompok orang yang anggota keluarganya ditemukan meninggal dunia dengan tubuh terbakar di gedung-gedung pusat perbelanjaan pada peristiwa Mei 1998. Namun, setelah bergabung dengan TRK kesempatan untuk bertemu, berkenalan, berinteraksi dan bekerjasama dengan keluarga korban akhirnya saya peroleh lebih dari sekedar melihat mereka dari layar kaca televisi. Kegiatan pendampingan korban membuat kualitas kedekatan hubungan kami para pendamping dengan keluarga korban semakin akrab bahkan tak jarang kami diperlakukan layaknya anak mereka sendiri.

Suapan Solidaritas
Ada banyak hal yang kemudian membuat saya akhirnya bisa memahami dan ikut memaknai penderitaan yang mereka alami sebagai keluarga korban ataupun korban. Pak IW merupakan salah satu korban hidup tragedi kemanusiaan Mei 1998. Tragedi itu mengubah total hidupnya. Ia yang sedang mengendarai motornya dihentikan paksa oleh sekelompok orang di jalan. Helmnya dibuja paksa, motornya direbut dan dirusak. Tubuh pak IW disiram bensin dan kemudian dibakar massa yang emosional tersebut. Peristiwa itu membekas luar biasa dalam baginya. Bagaimana tidak? Aksi pembakaran oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab tersebut merusak tubuhnya. Ia kehilangan beberapa jari tangan dan telinganya. Hingga kini beliau tidak bisa lagi menggunakan kedua telapak tangannya untuk memegang makanan dengan leluasa seperti orang pada umumnya. Beliau harus menjalani beberapa kali operasi untuk memperbaiki anggota tubuhnya yang rusak.


Penderitaannya tidak berhenti sampai di situ. Penderitaannya bertambah ketika istri tidak lagi mau menerima kehadirannya. Pak IW karena tubuh cacatnya. Istrinya juga menghalanginya untuk bertemu dengan anak. Dalam beberapa desempatan, ketika Pak IW diminta untuk menceritakan kisah pahitnya, beliau bercerita sambil menangis. Penolakan dari orang-orang yang dicintainya sempat membulatkan niatnya untuk melakukan usaha bunuh diri sampai beberapa kali.


Pak IW merupakan korban dari etnis Tionghoa yang aktif dalam berbagai kegiatan TRuK. Selama kegiatan pendampingan korban bersama beberapa teman yang lain, saya pun tidak melihat adanya pengecualian Pak IW sebagai korban dari etnis Tionghoa dari beberapa keluarga korban lainnya. Bahkan setiap kali Pak IW datang menghadiri berbagai kegiatan, anggota paguyuban lain yang bukan etnis Tionghoa ikut membantu menyuapi Pak IW saat makan dan membukakan makanan untuknya. ‘Potret’ bagaimana anggota keluarga korban lain saling bergantian membantu Pak IW sungguh merupakan ‘potret’ luar biasa mengharukan bagi saya pribadi. Tidak ada pembedaan, tidak ada diskriminasi antar etnis di situ. Semua sama. Mereka semua adalah korban kekerasan negara.


Tahun-tahun keputusasaan Pak IW akhirnya berubah menjadi kebahagiaan. Ia menemukan tambatan hati baru dan kemudian memutuskan untuk menikah. Besarnya kesediaan istrinya sekarang untuk menerima kondisi Pak IW apa adanya telah menjadi obat baginya. Terakhir kali saya bertemu dengan Pak IW, beliau terlihat lebih bahagia dan sudah mulai merintis usaha pembuatan obat alternatif. Ketika saya bertanya mengenai anaknya, beliau bercerita kalau salah satu anaknya sempat menghubunginya lewat telepon meskipun secara sembunyi-sembunyi karena takut bila sang Ibu mengetahuinya. Sungguh, melihatnya bahagia dan tersenyum membuat hati kecil saya ikut bahagia tak terkira.


Ada hal lain yang saya temui selama berinteraksi dan bekerjasama dengan keluarga korban Mei 1998. Kehilangan anggota keluarga telah menyatukan perasaan sedih mereka dan seiring berjalannya waktu, rasa tersebut bertransformasi menjadi kekuatan diantara keluarga korban Mei 1998. Persamaan rasa sedih tersebut menjadi perekat hubungan antar anggota paguyuban yang membuat mereka akhirnya bersatu dan saling menguatkan. Perbedaan etnis maupun agama yang ada diantara keluarga korban sama sekali tidak menjadi persoalan bagi mereka. Bahkan perbedaan tersebut telah menumbuhkan toleransi dan solidaritas yang kuat diantara para korban dan keluarga korban.

Berbagi dalam Kekurangan
Memberi dan membantu sesama ditengah kondisi ekonomi yang minim saya temui di hampir semua korban, salah satunya adalah Ibu SU. Ia mengupayakan bantuan beasiswa bagi anak-anak keluarga korban yang masih bersekolah melalui jaringan di gerejanya. Ia melihat kendala ekonomi di sebagian besar anggota paguyuban. Ibu SU bukan merupakan keluarga korban yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Beliau adalah janda dengan tujuh anak. Salah satu anaknya meninggal karena korban bakar di Yogya Department. Store, salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Timur yang dibakar dan banyak menelan korban jiwa, pada peristiwa 13 Mei 1998. Sehari-harinya beliau hidup dari bantuan anak-anaknya dan menjual kerajinan kristik buatan tangannya.


Semangat membantu sesama ditengah kondisi ekonominya sendiri yang minim menjadikan beliau pribadi yang unik. Tidak pernah saya melihat beliau sedih ataupun mengeluh. Belakangan hari saya mengetahui dari salah seorang kawan saya yang kebetulan adalah rekan gerejanya bahwa sebenarnya beliaupun kesulitan finansial untuk membiayai pendidikan dua anaknya. Salah satu anaknya terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan bekerja sebagai cleaning service pada Rumah Sakit Islam di Jakarta Timur. Saat ditanya apa alasannya berhenti sekolah menurut Ibu SU karena tidak ada dana lagi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Pernah, waktu itu kami mengetahui beliau tidak mampu membayar tunggakan biaya sekolah anaknya karena bantuan beasiswa terhenti sehingga kemudian kami berinisiatif mengumpulkan saweran dari beberapa teman lainnya sehingga terkumpul uang untuk menutupi tunggakan.


Tidak hanya mengupayakan bantuan beasiswa bagi keluarga korban yang lain, menjelang Natal Bu SU biasanya juga mengupayakan ke pihak gereja agar keluarga korban dapat menerima bantuan sembako. Setelah mendapat persetujuan dari pihak gereja akhirnya bantuan sembako tersebut dibagi rata ke seluruh keluarga korban dalam paguyuban. Bantuan tersebut dirasa sangat bermanfaat oleh keluarga korban di paguyuban. Kondisi ekonomi minim tidak membuat beliau kemudian mencari keuntungan bagi dirinya sendiri atau bahkan tidak bertanggungjawab dalam mengelola keuangan paguyuban. Sebagai bendahara dalam paguyuban beliau selalu mengelola keuangan secara transparan dan semuanya dapat dipertanggungjawabkan. Sikap rendah hati dan rasa tanggung jawab beliau membuat anggota paguyuban lainnya pernah beberapa kali ingin mencalonkannya menjadi ketua paguyuban keluarga korban Mei 1998. Ia selalu menolaknya dengan halus. Alasannya sederhana, “Saya nggak pinter ngomong” atau “Biar Ibu-ibu yang lain saja, saya mendorong dari belakang saja”.

Derita Lintas Agama
Penderitaan yang dialami keluarga korban telah mempersatukan mereka tanpa melihat perbedaan-perbedaan lainnya yang mungkin bagi orang kebanyakan malah diributkan, misalnya dalam hal perbedaan agama. Perbedaan agama yang ada diantara anggota paguyuban tidak menghalangi usaha untuk saling bersilaturahmi, malah menjadi kehangatan tersendiri. Saat hari raya Idul Fitri, kami para pendamping dan juga Bu SU pergi bersama-sama untuk bersilaturahmi ke masing-masing anggota paguyuban keluarga korban lain yang muslim. Itu adalah tradisi rutin kami setiap hari raya Idul Fitri. Waktu sehari tidak cukup bagi kami untuk mendatangi seluruh anggota paguyuban. Butuh dua hari atau bahkan tiga hari untuk bisa mendatangi seluruh anggota paguyuban. Kadang kami menyiasatinya dengan membagi kelompok untuk mengunjungi anggota paguyuban agar bisa selesai dalam waktu satu atau dua hari. Setiap satu rumah yang kami kunjungi lumayan membuat perut kami kenyang, karena kami selalu disuguhi makanan ataupun minuman, sehingga meskipun perut sudah penuh kami tak tega menolak tawaran mereka untuk makan. “Wah, anak-anak TRK sudah lupa sama Ibunya ya..” Itulah kata-kata yang pasti akan dilontarkan kepada kami apabila ada anggota paguyuban yang kami lupa kunjungi.

Berjuang ditengah Kepedihan
Pengalaman kehilangan anggota keluarga telah menimbulkan luka yang mendalam bagi keluarga korban terlebih meninggal dengan cara yang mengenaskan, terbakar. Butuh bertahun-tahun bagi mereka untuk dapat menerima kejadian tersebut. Ada beberapa anggota paguyuban yang lebih memilih untuk tidak lagi terlibat dalam kegiatan paguyuban karena bagi mereka, mengenang peristiwa kerusuhan Mei 1998 sama saja membuka kembali luka lama. Pak AL, salah satu anggota paguyuban yang semula aktif, memilih untuk tidak lagi aktif di paguyuban karena alasan tersebut. Beberapa saat setelah anaknya meninggal terbakar, beliau bercerita kalau istrinya sempat stress dan bertingkah seperti orang tak waras karena tidak bisa menerima kondisi kepergian anaknya. Berbagai reaksi secara psikis akibat kehilangan anggota keluarga yang terbakar ini pun dialami oleh anggota keluarga korban yang lain. Ada yang bertahan dan tetap berjuang untuk menuntut penyelesaian kasus dari pemerintah namun ada pula yang memilih untuk menerima kondisi tragis yang mereka alami dengan luka batinnya.


Jatuh bangunnya usaha paguyuban membangun solidaritas pun tidak terlepas dari bagaimana kuatnya keluarga korban melewati masa-masa kritis tersebut dan usaha mereka memaknai segala upaya yang telah dilakukan bersama dengan kami para pendamping untuk menuntut keadilan dari pemerintah. Hal tersebut menjadi proses bagi mereka untuk saling belajar dan saling menguatkan. Berbagai macam kegiatan dalam paguyuban kadangkala menjadi ajang hiburan bagi anggota paguyuban khususnya ibu-ibu untuk saling bertukar cerita misalnya saja melalui kegiatan koperasi simpan pinjam dan pengajian bulanan. Kegiatan advokasi dilakukan oleh para anggota paguyuban dengan mendatangi berbagai institusi pemerintahan untuk terus menyuarakan harapan mereka akan tanggung jawab pemerintah terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 meskipun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Tak Sendirian Lagi

Pengalaman berada berasama keluarga korban merupakan pengalaman tak ternilai. Mereka adalah guru bagi saya. Ketegaran mereka dalam melewati berbagai penderitaan; kehilangan orang yang dikasihi serta keterbatasan kondisi ekonomi tidak membuat mereka patah arang. Penderitaan tersebut berbuah kekuatan baru. Kekuatan dan ketegaran itulah yang mungkin tidak saya miliki, meskipun saya pendamping mereka. Mereka bukanlah orang lemah seperti yang mungkin dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka orang-orang kuat. Proses panjang untuk menjadi korban yang kuat tersebut bukanlah perjalanan singkat. Mereka tidak lagi dapat dibodohi oleh kata-kata manis yang selama ini seringkali mereka dengar setiap mendatangi berbagai institusi pemerintahan. Mereka sudah immune terhadap berbagai kata manis yang selama ini sering mereka dengar.


Bulan Mei tahun 2008 genap 10 tahun peristiwa kerusuhan Mei namun sampai hari ini belum ada kejelasan ataupun niat pemerintah untuk membawa ‘otak’ pelaku kerusuhan ke pengadilan. Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk oleh pemerintah pun tidak seluruhnya dipenuhi oleh pemerintah. Sementara itu, beberapa keluarga korban paguyuban hingga hari ini tetap terus menjalin solidaritas bersama keluarga korban dari peristiwa pelanggaran HAM lainnya untuk tetap menuntut keadilan. Suara keluarga korban Mei 1998 kini tidak lagi sendiri melainkan menyatu bersama suara-suara korban kekerasan negara lainnya yang kian lama kian menambah kualitas kekuatan korban.

2 comments:

JennieSBev.com said...

Kekerasan negara dalam bentuk apapun tidak boleh terulang lagi, di mana pun. Di Indonesia maupun bagian dunia lainnya. Kita tidak bisa hanya duduk diam dan berdoa saja. Bangkitkan "our own prophet within" sehingga kita bisa bergerak sebagai aura2 raksasa anak2 terang yang menenggelamkan kegelapan.

Mutiara Andalas said...

Setuju!!! Kalimat terakhir... ehm... puitis sekali ya...