Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, December 11, 2007

Antri Dikit 'Napa

Setiap hari Minggu, saya pergi ke komunitas Katolik Indonesia di Amerika untuk merayakan ekaristi. Kami punya tradisi bagus setelah ekaristi yaitu ngobrol-ngobrol sambil makan/snack malam. Kami biasanya harus antri makanan karena kami dilayani beberapa petugas. Semakin enak menunya, semakin berderet-deret antriannya. Saya biasanya ada di urutan paling belakang karena asyik ngobrol dengan beberapa umat. Toh, sama juga urutan depan atau belakang dapatnya. Hari Minggu kemarin pengandaian saya itu jadi salah sama sekali.
Hari Minggu lalu ada salah satu anak yang berulang tahun dan orang tuanya meminta koki restoran untuk mempersiapkan menu spesial.
Saya duduk dengan beberapa keluarga yang berada di urutan paling depan antrian. Mereka sangat menikmati menu hari itu: nasi kuning, bakmi, rendang, kerupuk, salad, softdrink, dan kue ultah. Pokoknya yummy. Mereka sangat lahap dan dalam sekejap makanan di piring sudah bersih.
"Nambah lagi, ah. Enak banget mienya."
Sementara itu beberapa keluarga di urutan paling belakang masih antri makan ronde pertama.
Beberapa keluarga yang sudah habis makanannya itu tiba-tiba memotong antrian dan mulai ambil sendiri makanan.
Kontan saja terjadi adegan saling pelotot antara pelayan makanan dan beberapa keluarga itu.
Pikir mereka yang mau nambah makanan
"Khan makanannya masih banyak. Nambah lagi nggak papa, donk. Gak perlu pakai antri lagi."
Sementara yang melayani makanan berpikir
"Ini orang nggak sopan banget sich. Masak masih ada yang antri makanan, mereka udah mau nambah. Nyelonong antrian lagi. Keterlaluan."
Rupanya tragedi saling pelototan itu belum selesai setelah acara di Gereja. Dalam perjalanan pulang, meneruskan tradisi 'ngrumpi' di Indo, beberapa ibu mulai tebar berita ini sana-sini. Pelayan makanan hari itu yang dituduh "pelit."
Ketika ibu-ibu itu masih ngomel dan minta saya membela posisi mereka, pikiran saya justru melayang jauh ke rumah. Waktu kecil ibu saya mendidik saya dengan etiket di meja makan.
"Kalau engkau makan, jangan hanya lihat dirimu. Perhatikan mereka yang berada di sekelingmu. Engkau akan tahu berapa jumlah makanan yang pantas kamu ambil di meja makan."

Sumber dokumentasi:
http://www.dkimages.com/discover/previews/912/763912.JPG

2 comments:

Andrew said...

Dulu waktu di WKICU, saya lebih senang antri paling belakang seperti romo. Yang nyendokin makanan biasanya sudah pergi, jadi bisa ambil semaunya...hehehe ... jadi vacuum cleaner.

Mutiara Andalas said...

he...he...he... good tactics ya