“
Saya mendengarkan keluhan dia sambil menanti penjelasan lebih lanjut.
“Mereka buru-buru bertanya ‘apa manfaat aktivitas itu untukku’?”
Saya mendengarkan sambil mencerna kata-katanya.
“Gereja akan gulung tikar kalau semua orang memikirkan manfaat bagi diri mereka dahulu sebelum memikirkan manfaat bagi orang lain.”
Saya mendengarkan keluhan serupa tak hanya berkaitan dalam Gereja tetapi meluas ke masyarakat.
Tiba-tiba terbersit wajah seorang anak perempuan yang baru duduk di sekolah dasar. Ia mendapatkan kesempatan untuk tampil di reality show Ellen Degeneres. Anak itu memiliki proyek mengumpulkan dana sekitar 200 ribu dollar. Ia ingin membangun sebuah taman bacaan untuk anak-anak sebayanya. Orang-orang yang dekat dengan dia, termasuk orang tuanya, sempat meragukan kemauan anak itu.
“Kamu sendirian ingin mengumpulkan uang sedemikian besar? Ndak mungkin!”
“Hari gini minta bantuan orang lain? Banyak keluarga sedang menerapkan kebijakan uang ketat. Mereka tak akan melepas uang untuk aktivitas sosial.”
Ellen Degeneres ingin tahu lebih dalam mengenai aktivitas kamu.
“Bagaimana kamu menampik segala keraguan orang di sekitarmu mengenai proyek taman bacaan itu?”
Anak itu menunjukkan sebuah bros kecil di dadanya bertuliskan “Believe.“
“Selama kata percaya itu tak hilang dalam diri saya, proyek taman bacaan itu bukan sekedar mimpi seorang anak sekolah dasar. “
Kamera televisi bergerak cepat ke arah penonton. Seorang perempuan berlinang air mata. Di dadanya ada bros kecil “Believe.“
Ia orang pertama yang percaya bahwa proyek anaknya bukan sekedar mimpi. Kepercayaan ibunya sudah cukup memberi kekuatan bagi anak itu untuk melanjutkan proyek taman bacaan itu. Proyek taman bacaan itu yang semula nampak berkilo-kilo jauhnya itu sekarang sudah ada di depan matanya.
No comments:
Post a Comment