
Suatu ketika seorang ibu datang dan tanpa sadar memijiti dahinya tanpa henti.
“Saya punya seorang saudara yang sedang menderita sakit. Saya menerima telpon berisi permohonan bantuan keuangan untuknya. Segalanya berjalan lancar hingga suami saya menepuk pundak saya seperti membangunkan saya.”
“Apa katanya?”
“Kamu bukan satu-satunya saudara yang sakit? Mengapa kamu menjadi satu-satunya yang bertanggung jawab untuk perawatan medisnya? Dimana saudara-saudarimu yang lain?”
“Pertanyaan itu mengganggu hari-hari kehidupan saya akhir-akhir ini. Saya bingung sekali. Saya terhimpit antara perhatian pada saudara yang sakit dan keluarga yang juga membutuhkan penopang keuangan.”
Saya teringat pengalaman masa kecil menemani kakek saya yang sakit berbulan-bulan. Ibu meminta kami, anak-anaknya, untuk menyediakan diri berada di sisi kakek. Ia tak pernah memberi alasan kenapa kami harus melakukannya.
Saat beranjak dewasa, pengalaman berjumpa dengan orang sakit itu datang silih berganti.
Suatu malam saya menulis dalam buku harian
“Kalau engkau hendak membantu orang, engkau hendaknya tak menoleh kanan kiri. Penglihatanmu hendaknya tertuju pada pribadi yang sakit.”
Dalam beberapa kesempatan, kisah ibu juga terjadi pada diri saya. Malam ini saya baru saja pulang dari mengunjungi orang sakit. Perjumpaan dengannya membantu saya menulis dalam buku harian saya
“Kasihmu hendaknya tak bersyarat, sekaligus menarik garis pembatas. Kita seringkali gemetar menarik garis antara kasih yang tak terbatas dan kemampuan kita yang terbatas untuk mengasihi pribadi lain.“
http://dapid.files.wordpress.com/2007/10/1_litre_of_tears.jpg
No comments:
Post a Comment