Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, February 4, 2008

Peduli Ekologi



“Pedulikah saya dengan lingkungan hidup kita?”
Oleh: Anastasia F. Lioe
Pada minggu kedua bulan Februari 2008 umat katolik memasuki masa puasa dan penobatan. Menjelang hari Raya Paskah ini Keuskupan Agung Jakarta mengangkat tema:
Pedulikah saya dengan lingkungan hidup kita?”
Pertanyaan ini sungguh patut kita renungkan, tidak saja bagi kita sebagai umat katolik yang taat menjalankan ibadah, namun lebih dari itu; kita sebagai bagian dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia . Dalam “Surat Gembala Prapaska 2008”, Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ memberikan penekanan atas arti kepedulian dari segala sudut dan aspek kehidupan dalam bermasyarakat. Berangkat dari hal tersebut, sikap kepedulian yang hendaknya kita garis-bawahi tentu tidak terbatas hanya dari salah satu segi saja yang menyangkut keadaan lingkungan disekitar kehidupan kita.
Pada tanggal 2 Februari 2008, sebuah stasiun televisi nasional menyoroti permasalahan yang di hadapi bangsa Indonesia . Dalam sebuah tayangan editorial, Metro-TV menggambarkan bahwa
Jakarta sebagai kota yang sedang sakit dan ini sungguh memperlihatkan betapa buruknya wajah Indonesia yang tercermin dari segala carut-marut, kesemrawutan dan kekacauan yang terjadi di Ibukota Jakarta.
Seperti halnya contoh permasalahan yang baru saja kita alami pada hari pertama dibulan Februari ini! Seluruh kota Jakarta nyaris lumpuh dari segala kegiatan bisnis hanya karena akibat guyuran hujan lebat yang terjadi beberapa jam saja. Banjir melanda hampir seluruh jalan-jalan protokol di Jakarta . Bandara internasional Sukarno-Hatta ditutup dari segala kegiatan penerbangan untuk sementara waktu. Beberapa jalur busway tidak dioperasikan, jadwal kereta api terlambat akibat rel-rel yang terendam air. Ribuan warga Jakarta menjadi korban banjir, korban tewas pun tak terelakan. Dan ketika mobil sedan kepresidenan mogok di tengah jalan akibat terkena imbas dari kekacauan yang terjadi. Saat itulah President Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pun terlibat kedalam suasana kemacetan berlalu-lintas.
Tak pelak lagi, kita mesti mengakui bahwa semua rangkaian kejadian yang terjadi adalah cerminan nyata betapa telah tidak pedulinya kita dengan kondisi lingkungan selama ini!
Kita cenderung mengeksploitasi lingkungan tanpa peduli bahwa kita pun dituntut memiliki tanggung jawab mengelola kondisi lingkungan dengan benar dan baik.
Namun demikian, apakah dalam menyikapi permasalahan lingkungan, kita hanya mempersoalkan problema banjir dan kemacetan lalu lintas? Tentu saja tidak! Ketimpangan-ketimpangan lain yang menjadi isu krusial sehubungan dengan kondisi lingkungan banyak kita temui dalam keseharian hidup kita.
Sepanjang awal tahun 2008 berbagai permasalahan masih kita hadapi: bencana alam dan konfliks etnis diberbagai daerah serta kerusuhan masal yang memicu bentrokan warga dan aparat terus saja mewarnai kehidupan bangsa Indonesia . Skandal korupsi dan kasus-kasus peradilan masih mendominasi di kalangan elite politik.
Mengawali pra Paskah adalah perayaan hari raya Imlek yang jatuh pada tanggal 7 Februari, diikuti oleh perayaan Valetine’s Day pada minggu berikutnya. Sentra-sentra bisnis serta mal-mal marak dan gemerlapan dalam menyambut kedua perayaan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum apabila pelaku bisnis menggunakan hari-hari raya sebagai komoditas komersial untuk mengeruk keuntungan material. Sebagian masyarakat Indonesia pun menjadi latah dan bersikap konsumtif dalam merayakan hari-hari besar tersebut. Tanggapan bernada sumbang akan hal tersebut mudah kita lontarkan. Masyarakat tampak kurang menyadari bahwa mereka hanyalah korban dari segelintir kelompok yang memanfaatkan budaya “aji mumpung”. Hendaknya kita bisa bersikap lebih arif dalam menanggapi fenomena tersebut.
“Ajang Pamer Kemewahan” memang telah menjadi semacam “ritual” akan sebuah gaya hidup bagi sebagian warga Indonesia ! Mendalami masa-masa perenungan ini, cobalah kita berpaling kepada sekitar 40 juta penduduk Indonesia yang hidup serba kekurangan serta dalam kondisi kemiskinan.
Masih adakah rasa kepedulian yang kita miliki terhadap keadaan saudara-saudara kita yang dililit “kemiskinan”?
Pertanyaan ini tentu hanya hati-nurani kita masing–masinglah yang dapat menjawabnya!
Isu kemiskinan menjadi sangat terdistorsi. Bagi sebagian kalangan elite politik, kemiskinan adalah salah satu jargon politik terpopuler ditengah gegap-gempita kampanye pemilihan, baik di tingkat daerah (PILKADA) maupun tingkat nasional (PEMILU 2009). Rivalitas dikalangan elite politik semakin sengit, saling mengkritik dan mengecam tanpa ada kesadaran bahwa banyak sekali permasalahan bangsa yang semestinya disikapi dengan bijak.
Sejauh ini, adakah upaya memerangi kemiskinan secara konkrit selain janji-janji politik pada masa kampanye?
Harga-harga sembako yang melambung tinggi serta langkanya beberapa komoditi kebutuhan pokok di pasaran. Membuat kita berfikir bahwa banyak hal yang mesti kita telaah. Lalu usaha apa yang bisa kita lakukan sebagai partisipasi aktif terhadap kehidupan disekitar kita? Para wakil rakyat hendaknya bisa melihat hal ini sebagai salah satu bukti yang tak bisa dipungkiri, betapa kurang pekanya mereka akan arti kepedulian terhadap kondisi lingkungan masyarakat, serta kurang efektifnya kinerja mereka yang notabene menegakkan keberpihakan kepada rakyat. Disisi lain, para birokrat pun hendaknya mengevaluasi kebijakan pemerintahan mereka. “Janganlah mereka hanya mengumbar janji-janji saat kampanye. Sikap mementingkan diri sendiri serta konflik kepentingan (conflict of interest) di kalangan elite politik membuat jeritan rakyat seolah tidak terdengar” demikian kesan yang disampaikan oleh karikaturis Gatot Eko Cahyono.
“Kita berharap para anggota dewan punya mata dan telinga hati agar mereka bisa melihat dan mendengar apa yang menjadi penderitaan masyarakat lewat hati-nurani; sebagai wujud kepedulian mereka terhadap rakyatnya”
tambah Gatot dengan nada penuh keprihatinan.
Bila kita berbicara tentang kepedulian terhadap lingkungan tentu hal ini tidak terlepas dari sikap moral yang sejalan dengan norma-norma beragama.
“Nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam beragama selayaknya ditegakkan melalui sikap berbudaya elite, kita memerlukan revolusi hati-nurani”
demikian pernyataan yang pernah disampaikan Oleh Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ dalam sebuah wawancara dengan koran harian The Jakarta Post menanggapi kondisi sosial masyakat saat ini. Hal senada disampaikan oleh Tasa Nugraza Barley, pendiri dari sebuah organisasi yang bernama “Jakarta Butuh Revolusi Budaya” dalam sebuah opini yang ditulis dan juga dimuat oleh The Jakarta Post, Tasa mengajukan pertanyaan: “Sikap beragama kita baik, bagaimana dengan sikap bermoral?” Dalam artikelnya, Tasa menyodorkan banyak argumentasi akan kurang pedulinya masyarakat Indonesia dengan sikap bermoral yang patut dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.

Menyimak lebih dalam akan segala kekurang-pedulian kita terhadap kondisi lingkungan, sudah terlampau parahkah keadaan? Benarkah kita memerlukan sebuah revolusi budaya? Seperti hal yang menjadi konsen Uskup Agung Jakarta, beliau mengkawatirkan atas kurangnya nilai-nilai “nurani” dalam keseharian hidup bermasyarakat!. “Saya bertekad memberikan perhatian kepada anak-anak jalanan yang hidup terlantar serta kehilangan figure seorang bapak” demikian yang menjadi keinginan Anton Sianturi, pelajar dari Harvest International Theological Seminary, setidaknya nilai-nilai nurani masih tertanam dengan baik di hati remaja berusia 18 tahun tersebut, kepeduliannya terhadap kaum marginal pantas kita hargai. “Saya yakin akan mendapat banyak dukungan dari kalangan luas, terutama teman-teman sekolah saya”. Itulah yang menjadi konsen serta harapan Anton dalam mewujudkan misi yang ingin dia lakukan setelah kelak lulus dari sekolah tinggi teologi yang sedang ditekuninya. “Impian saya adalah menjadi seorang pendeta dan menyediakan ruangan di gereja bagi anak-anak jalanan” ucapnya dengan penuh antusias serta semangat kepedulian.
Selayaknya kita belajar akan sebuah arti “peduli” dan makna “kasih” bagi orang lain dari sikap Anton yang berniat tulus mengejar harapan serta impiannya. Biarlah mata hati kita melihat hal ini sebagai sesuatu yang tidak mustahil bisa kita coba lakukan? Gede Prama, penulis yang tinggal di Bali dan telah banyak menghasilkan buku-buku bertemakan motivasi dan inspirasi pernah mengajarkan akan arti berlatih.
“Teruslah berlatih sesuatu hal sampai terjadi kesadaran agung, atau kadang disebut kesempurnaan agung karena semua sempurna apa adanya. Dan yang terlihat orang lain di luar adalah keseharian yang diam, senyum serta tangan yang bahagia bila ada kesempatan membantu”
demikianlah tulis Gede Prama dalam sebuah artikel yang di muat koran harian Kompas. Ada baiknya kita mencoba berlatih memupuk sikap kepedulian terhadap lingkungan dalam keseharian hidup kita dan dengan ringan hati mengulurkan tangan untuk membantu bagi mereka yang membutuhkan! Kenapa tidak?

http://donnaisra.files.wordpress.com/2007/02/banjir-jakarta.jpg
www.pnri.go.id/.../normal/banjir.jpg

No comments: