Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, February 5, 2008

Rosario Air Mata

Rosario Air Mata

Pemakaman jenazah secara layak mengungkapkan penghormatan keluarga korban terhadap kesucian hidup korban. Tak semua keluarga korban dapat menjemput jenazah korban dalam peristiwa Mei 1998. Keluarga Paulus – Maria kehilangan Stefanus, anak mereka, yang tak pernah kembali setelah tragedi. Ketidakpastian meliputi wafat putera mereka. Mereka mengandaikan puteranya meninggal dunia karena

ia pergi saat tragedi dan tak pernah kembali setelahnya.

Anakku Belum Pulang

Perjumpaan terakhir Bu Maria dengan Stefanus berlangsung pada tanggal 14 Mei 1998. Stefanus menonton televisi bersama keluarga. Kakaknya menegur Stefanus untuk mencuci pakaian yang direndamnya sebelum mengeluarkan bau. Stefanus segera mencuci pakaiannya dan kemudian bermain bola dengan teman-teman sebayanya ke lapangan Masjid.

Saat waktu makan siang tiba, Bu Maria keluar rumah untuk mencari Stefanus. Ia bertemu dengan Dede, salah seorang teman Stefanus,

„Kemana anak-anak yang telah selesai main bola?“

„Stefanus pergi ke Jogja Plaza. Tadinya Ia mengajak teman-temannya, tetapi tak seorang pun berniat ke sana.“

Bu Maria menunggu kepulangan puteranya hingga malam hari. Hatinya mulai dirundung kecemasan.

„Mengapa anakku belum pulang?“

Sebelum memulai rosario, Bu Hadi, seorang temannya, memberikan kabar terkini

„Plaza Klender katanya berubah menjadi lautan api.“

“Iya, anakku belum pulang sampai sekarang,” jawab Bu Maria.

Bu Maria mengira anaknya menginap di rumah temannya. Pagi harinya ia berangkat menuju tempat kerja dengan berjalan tempat tinggalnya di Perumnas Klender hingga Kampung Melayu. Tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat.

Hari ketiga setelah tragedi, televisi menyiarkan bertambahnya jumlah korban. “Bagaimana kabar anak-anak,” tanya seorang saudara.

“Semuanya ada, kecuali Stefanus,”
jawab Bu Maria.

Tiba-tiba terbersit pikiran Stefanus barangkali termasuk diantara korban pembakaran di Jogja Plaza Klender.

“Ah tidak.... Anakku masih hidup,” tepis Bu Maria.

Warga lingkungan melaporkan hilangnya Stefanus ke Polsek.

„Saya absen dalam penguburan korban di Pondok Rangon. Saya berpikir Stefanus masih hidup.”

Malam hari setelah pemakaman massal, Bu Maria datang ke Polsek untuk menandatangi berkas laporan hilangnya Stefanus.

“Tuhan, saya berserah kepada-Mu. Jika ia masih hidup, semoga Engkau menuntunnya pulang. Jika ia telah meninggal dunia, semoga Engkau berkenan mengampuni dosa-dosanya. Amin.“


Islah Politik

Pada tahun 1999 Bu Maria bergabung dengan Paguyuban Keluarga Korban Mei. Ia berjumpa dengan keluarga korban lain dari Cipinang, Kampung Kapuk, dan Kampung Sumur. Ia mendapat kesempatan untuk memegang seksi sosial paguyuban. Ia menjadi penghubung dengan Gereja St. Anna dalam memberikan biaya pendidikan dan berbagai bantuan sosial. Ia sekarang mendapat kepercayaan sebagai bendahara paguyuban.

Jogja Plaza Klender telah berubah menjadi Mall Citra. Paguyuban korban melakukan tabur bunga sebagai ingatan terhadap korban. Ingatan terhadap korban tak selalu dimengerti masyarakat. Ingatan sosial korban di Jogja Plaza Klender bertarung dengan pelupaan sosial di Citra Mal.

“Kami harus mengajukan surat minta izin untuk tabur bunga kepada Komdak dan pemilik Citra Mal. Mereka mempersulit pemberian izin kepada kami,“kata Bu Maria dengan nada prihatin.

Peringatan peristiwa Mei 1998 sudah memasuki satu dasa warsa, namun belum bahkan kemungkinan tidak ada penyelesaian atasnya.

”Kebanyakan dari kami buta hukum, namun kami tahu hak menuntut penyelesaian kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.“

Paguyuban keluarga korban menggelar pentas kemanusiaan yang mengisahkan pergumulan sehari-hari mereka pasca-tragedi. Mereka bergumul dengan persoalan ekonomi konkrit, seperti menyediakan biaya pendidikan bagi anak-anak. Mereka ingin bangsa Indonesia membuka hati mereka terhadap penderitaan keluarga korban.

Mereka menolak islah politik karena negara hendak menukar kehidupan korban dengan ganti rugi uang dan mengabaikan penyelesaian kasus korban secara hukum.

“Keluarga korban sangat membutuhkan dukungan ekonomi, namun tidak akan menjual kehidupan korban untuknya,“ papar Bu Maria secara tegas.

Lahir dari Rahim

Paguyuban keluarga korban menyelenggarakan aksi Kamisan, berdiri diam di depan Istana Presiden, untuk mengetuk mata hati keluarga. Keterlibatan paguyuban keluarga korban dari tragedi-tragedi kemanusiaan lain mempertebal fakta kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan atau didukung negara. Kejahatan terhadap kemanusiaan merenggut nyawa korban. Paguyuban keluarga korban mencari keadilan dan mengundang negara buka mata terhadap mereka dengan menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan secara hukum.

„Perjuangan saya lahir dari rahim seorang ibu yang melahirkan, merawat, dan mendidik, dan menanti Stefanus yang tak pernah pulang ke rumah pasca-tragedi.“

Jemari Bu Maria mengeja butir-butir rosarionya yang membasah dengan air mata keluarga korban. Maria, pribadi istimewa dalam kitab suci yang melahirkan, merawat, dan mendidik, dan menemani Yesus hingga wafat di salib, memberikan kekuatan dalam memperjuangkan keadilan korban sampai tuntas. Bu Maria hendak mendaraskan pula mazmur kehidupan Maria,

„Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut sabda-Mu.“

No comments: