
Suatu ketika ayah mengajak saya menyaksikan sirkus. Antrian tiket sangat panjang. Kami ada di urutan paling belakang. Di depan kami ada sebuah keluarga dengan delapan orang anak yang juga sedang antri tiket. Anak-anak mereka berdiri berjajar dua-dua di belakang orang tua mereka sambil memegang tangan kedua orang tua mereka. Mereka mengobrol tentang badut, gajah dan penampilan-penampilan lain yang akan mereka saksikan malam itu. Kelihatannya mereka baru kali ini akan nonton sirkus.
Perempuan penjual tiket itu bertanya,
“Beli berapa tiket, Pak?”
“8 tiket anak-anak dan 2 tiket dewasa.”
Perempuan penjual tiket itu lalu menyebut jumlah uang yang harus dibayar. Wajah laki-laki itu seketika berubah pucat. Dengan gemetar ia bertanya kepada penjual tiket itu,
“Maaf, Mbak. Boleh diulang, berapa harga semua tiketnya?”
Perempuan penjual tiket itu sekali lagi menyebutkan jumlah uang yang harus dibayar. Uang bapak itu tidak cukup untuk membayar semua tiket. Ayah nampaknya tahu persoalan bapak itu. Ia lalu mengambil uang dari sakunya dan menjatuhkannya ke tanah. Ia lalu membungkuk, mengambil uang itu, menepuk pundak bapak itu.
“Maaf, Saudara. Uang saudara jatuh dari saku.”
Bapak itu meraih tangan Ayah. Setetes air mata jatuh di pipi Bapak itu. Ia berkata lirih kepada Ayah.
“Terima kasih banyak, Saudara. Bantuan Saudara sangat berarti bagi saya dan keluarga saya.”
Malam itu kami tidak menonton sirkus agar anak-anak Bapak itu dapat menonton sirkus.[1]
[1] Disadur dari Hedwig Lewis SJ., Persons are Gifts: Power-filled Reflections for Person-centred Living (
2 comments:
terima kasih bro Jake atas kunjungannya. Moga tidak kapok berkunjung...
seandainya saat itu saya yang berdiri disitu mungkin saya akan merasa bahagia sekali diberi kesempatan membantu orang lain. meskipun hanya sedikit bantuan tapi sangat dalam menyentuh hati.
Post a Comment