Berhala Rasialisme
Oleh Mutiara Andalas, S.J.
Kita berhasil menemukan serangkaian alasan mengenai prasangka ras, namun solusi terhadapnya masih merupakan sebuah misteri. Max Horkheimer menarik nafas panjang saat mengungkapkan kompleksitas prasangka ras pasca-Holocaust. Sebagaimana Horkheimer, penulis membahas prasangka ras di Indonesia dengan kepala tertunduk. Penulis jauh dari ambisi untuk menawarkan solusi tunggal terhadapnya. Penulis mendekati persoalan prasangka ras ini terutama berdasarkan perjumpaan sebagai anggota komunitas beriman Katolik yang berjumpa dengan warga Indonesia etnis Cina pasca-tragedi kemanusiaan Mei 1998. Sejak periode kolonial hingga periode pasca-kolonial, prasangka terhadap warga Indonesia etnis Cina sebagai the racialized other itu mengalami pasang surut dan terakhir meledak dalam tragedi Mei 1998.
Penulis berkehendak mengisi minimnya sumbangan pemikiran dari komunitas beriman terhadap persoalan ini. Sumbangan komunitas beriman banyak berfokus pada bantuan kemanusiaan kepada korban pasca-tragedi. Kompleksitas problem ras, sebagaimana dikhawatirkan David B. Wilkins, dapat melumpuhkan kemauan kita untuk menggumulinya. Kita, termasuk komunitas beriman, mudah sekali jatuh dalam pengabaian problem ini, bahkan secara akademik, karena akan berakhir pada jalan buntu. Dalam tulisan ini, penulis menampilkan Gereja (di) Indonesia sebagai komunitas beriman yang bergumul membangun identitas bersama sebagai komunitas para pengikut Yesus dalam konteks plural anggotanya. Sebagaimana tragedi-tragedi kemanusiaan dengan korban warga Indonesia etnis tionghoa di masa lalu, korban tragedi Mei 1998 mengundang Gereja tak sekedar untuk solider dengan mereka, tetapi juga terlibat serius dalam mencari solusi terhadap prasangka rasial yang membiak dan menggumpal menjadi sebuah berhala di pertiwi Indonesia, terutama sejak periode kolonial Belanda.
Penulis memulai pembahasan dengan melukis anatomi prasangka ras di Indonesia. Berhala rasialisme di Indonesia sejatinya diciptakan dari tanah pasir yang rapuh, namun masih mampu memikat para pemujanya sejak era kolonial. Tindakan membongkar berhala rasialiasme di satu sisi membutuhkan kehati-hatian dan keberanian di sisi lain. Kita mempertaruhkan kehidupan warga Indonesia etnis Cina yang terancam menjadi korban pemujaan berhala rasialisme. Setelah melukis anatominya, penulis akan melihat akar rasialisme yang menjalar dan membelit komunitas-komunitas beriman. Penulis melihat tugas ganda komunitas beriman pasca-tragedi kemanusiaan Mei 1998, yaitu melucuti politik yang menciptakan the racialized other dan menelanjangi teologi yang memuja berhala rasialisme (the idol of racism).
(bersambung)
No comments:
Post a Comment