Seorang laki-laki berjalan setengah berlari mengejar bus kota. Pada saat yang sama seorang laki-laki lain keluar dari kantornya dengan tergesa-gesa. Mereka bertabrakan dan dua-duanya terjatuh karena tak dapat menjaga keseimbangan tubuh mereka.
Sambil mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan di tanah, laki-laki yang keluar dari kantor itu mengumpat,
“Anjrit. Matamu ditaruh dimana?
Kalau lagi jalan,
mata jangan dibiarkan
bergentayangan kemana-mana.”
Sambil membersihkan luka-luka lecet ringan di tangannya, laki-laki yang lain menanggapi umpatan dengan tersenyum,
“Sahabat, aku tak tahu
siapa yang harus dipersalahkan
dengan tabrakan tak sengaja ini.
Saya tidak memiliki waktu panjang
untuk mengusutnya.
Jika saya menabrak Saudara,
saya mohon
Anda berkenan memaafkan saya.
Jika ternyata Saudara menabrak saya,
saya berharap
Saudara tidak memperpanjang kasus kecil ini.”
Setelah berkata demikian, dengan seulas senyum, ia mohon diri menuju halte bus.
Laki-laki yang mengumpat itu masih berdiri mematung di tempatnya.[1]
[1] Disadur dari Hedwig Lewis, S.J., Mirrors of Life (Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 1998).
No comments:
Post a Comment