Wajah Perjuangan Kaum Perempuan:
Sebuah Sejarah yang dibungkam?
Ditengah himpitan dan dominasi lelaki terhadap kaum perempuan didalam kehidupan bermasyarakat yang patriarki. Sejarah perjuangan perempuan adalah topik yang menarik untuk disimak, dimana kedudukan para perempuan sering ditempatkan pada posisi sebagai kelompok ter-marginal. Perjuangan dan gerakan kaum perempuan jarang terekspos, eksistensi mereka cenderung dihilangkan. Keberadaan mereka dalam masyarakat masih dibayang-bayangi oleh tindak kekerasan, baik kekerasan dalam konteks kerumah-tanggaan (Domestic Violence) maupun kekerasan politik. Tentu kita masih ingat peristiwa Kerusuhan Mei 1998, kekerasan terhadap kaum perempuan adalah akibat dari budaya politik kekerasan (political violence).
Agnes Khoo mencoba mengisi kekosongan tersebut dan memunculkan perempuan di garda depan. Meski identitas kaum perempuan yang berusaha ia tampilkan tidak terlepas dari sebuah sejarah yang bermuara dari konfliks ideology. Perdebatan menjadi semakin kompleks ketika sebuah regime bersikap represif tehadap kelompok “lawan”. Namun, bila berbicara mengenai obyektifitas sejarah perjuangan kaum perempuan, tidaklah menjadi persoalan apakah mereka berasal dari kelompok kiri atau pun kanan?.
“Selama ini saya merasa ngeri terhadap istilah komunisme. Saya amat pantang terhadap semua yang tidak pernah saya saksikan dan dianggap “puncak segala kejahatan”. Buku-buku teks sejarah mengajarkan kepada kita bahwa mereka adalah anasir teroris, mereka tidak memperdulikan keluarga dan orang yang mereka sayangi. Mereka layaknya “tikus hutan” yang terdapat di mana-mana dan amat berbahaya. Tetapi, masalahnya adalah saya tidak pernah melihat mereka”. Demikian ungkap Agnes --- sosiolog kelahiran Singapura pada 5 Maret 1965, yang di tuang dalam sebuah buku sejarah lisan perjuangan wanita-wanita Malaya dalam melawan penjajahan dan kolonialisme.
Buku yang diluncurkan pada petengahan Maret lalu diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dari naskah asli berbahasa Inggris dan Melayu, memuat profil 16 perempuan mantan gerilyawan Partai Komunis Malaya (PKM). Mereka adalah para perempuan yang mempersembahkan empat puluh tahun lebih hidupnya untuk bergerilya didalam hutan Malaya melawan kolonial Inggris. Namun, para pejuang itu telah diusir oleh penguasa negeri yang dimerdekakannya.
Catatan sejarah resmi versi pemerintah tidak pernah berpihak kepada mereka, dan melalui buku yang berjudul “Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai” Agnes mencoba mengupas secara lebih jelas jati diri keenam belas wanita-wanita yang menjadi nara sumbernya dan mengungkapan fakta-fakta yang selama ini dipurtarbalikan.
Serangkaian wawancara dan riset yang panjang telah ia lakukan selama proses penulisan buku. “Saya ingin mengetahui siapa kaum komunis itu? Maka saya memutuskan untuk melihat mereka dari dekat. Saya ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri apakah mereka betul-betul “teroris bertanduk dua? Mengapa pemerintah begitu takut kepada mereka?”. Alasan itulah yang mungkin mendasari lahirnya buku tersebut.
Agnes bertekad dan bekerja keras untuk mendapatkan penjelasan atas seluruh kepenasarannya tersebut. Ternyata orang-orang komunis tersebut hidup tak jauh dari tempatnya berada. Selama bertahun-tahun Agnes telah menghabiskan waktu untuk tinggal di perkampungan ---yang disebut sebagai kampung-kampung perdamaian, di sebuah desa kecil di selatan Thailand . Berbicara dan bergaul secara akrab dengan wanita-wanita yang kini telah mendapatkan suaka politik dari pemerintah Thailand . Mereka adalah pribadi-pribadi mengesankan dan telah menginspirasi Agnes untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka.
“Bagi saya, seorang dokter tentara, hal yang paling menggembirakan ialah berhasil menyelamatkan pasien yang hampir mati.” ujar Lin Dong, salah satu nara sumber---dilahirkan di hutan tropik negeri Selanggor, Malaya pada tahun 1944, adalah anak pertama sepasang suami istri kader pimpinan pasukan gerilya PKM yang veteran. “Sebagai dokter, kami mesti berpegang pada prinsip kemanusiaan. Kami mesti menjalankan tugas kami dengan segala daya upaya, biarpun kami marah atau merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi kami ini adalah dokter tentara di dalam pasukan revolusi. Mungkin ini sebabnya saya dapat berkeras menjalankan tugas sebagai dokter hingga akhir perjuangan bersenjata” tutur Lin Dong mengenang masa-masa perjuangannya ketika di tahun 1971 dia bergabung sebagai anggota revolusi di sempadan Thailand-Malaysia.
“Di Thailand berlangsung gerakan pelajar yang terkenal menentang pemerintahan junta. Berlakulah peristiwa yang terkenal di mana pihak tentara membunuh mahasiswa yang sedang mengadakan demonstrasi perlawanan di Universitas Thamassat. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1974 . Pada awalnya , gerakan pelajar Thailand bangkit berlawan karena penindasan besar-besaran pihak tentara” itulah sebagian kenangan Lin Dong yang dia ceritakan kepada Agnes.
Buku setebal 378 halaman yang diterjemahkan dan di edit oleh Oey Hay Djoen, layak untuk kita maknai tidak saja kisah-kisah yang diangkat dari cerita dan pengalaman pribadi 16 wanita tersebut memiliki kesamaan dengan sejarah politik di Indonesia paca tahun 1965 juga sebagai karya sorang wanita yang melihat sisi lain kaum perempuan. Perempuan yang terlibat dalam kancah peperangan cenderung dianggap sebagai kaum yang lemah dan perjuangan mereka sering terabaikan dalam catatan sejarah.
Dalam sejarah perlawanan terhadap penguasa kolonial. Indonesia memiliki para perempuan pejuang untuk kemerdekaan negeri ini dari kaum penjajah. Namun, yang antikolonialis itu kemudian dinyatakan sebagai pelacur komunis di buku teks sejarah Orde Baru.
Sejarah sering dimanipulasi oleh pihak yang berkuasa. Indonesia masih menyimpan banyak sejarah politik yang belum terungkapkan seutuhnya--- tanpa terkecuali sejarah kekerasan terhadap kaum perempuan. Dan masih dalam konteks keperempuanan, lagi-lagi kita di ingatkan bahwa kasus pemerkosaan masal terhadap perempuan etnis Tionghoa yang terjadi pada saat Kerusahan Mei 1998 sampai kini masih dilingkupi misteri, pengungkapan secara tuntas peristiwa ini akan menguak sebuah sejarah kekerasan terhadap kaum perempuan.
Teks dan foto: Anastasia F. Lioe
No comments:
Post a Comment