Andy dan Agnes menjalin kasih dan hendak menalikannya dalam perkawinan. Keduanya berasal dari keluarga dengan ekonomi kembang-kempis. Meskipun demikian. mereka memiliki harapan cerah dengan kehidupan mereka.
“Masa depan perkawinan kita akan cerah sepanjang kita memiliki satu sama lain.”
Sebelum perayaan perkawinan, mempelai perempuan mengajukan sebuah permintaan kepada mempelai laki-laki.
“Saya berkeyakinan bahwa kita tak memendam sedikit pun keinginan untuk memisahkan temali perkawinan ini. Namun, barangkali akan tiba saat pertengkaran dan engkau mengirimku pulang kepada orang tuaku. Perkenankan aku membawa pulang sesuatu yang paling berharga dari perkawinan kita.”
“Engkau jangan berpikir yang bukan-bukan,” gurau mempelai laki-laki.
Namun karena Agnes serius dengan permohonannya, Andy menuliskan janjinya pada secarik kertas dengan membubuhi tanda tangan.
Mereka melangsungkan perayaan pernikahan dan mulai mendayung bahtera perkawinan.
Mereka berangsur-angsur menjauhi garis kemiskinan dengan kerja banting tulang. Mereka mengambil rumah lebih luas, menjalin persahabatan baru dengan rekan-rekan bisnis mereka, dan menabung kekayaan mereka.
Namun, mereka mulai menyibukkan dengan aktivitas ekonomi, dan mengabaikan satu sama lain.
Krisis itu akhirnya meledak ketika mereka sedang mempersiapkan jamuan makan istimewa untuk rekan-rekan bisnis.
“Engkau hanya memperhatikan dirimu dan perhiasan yang melekat di tubuhmu,” komentar panas Andy.
“Saya ingin duduk berdampingan denganmu malam ini di jamuan makan karena saya tak ingin kehilangan muka di hadapan undangan. Sesudahnya saya akan menuruti keinginanmu untuk kembali ke orang tua dan membawa kekayaan paling berharga saya.”
Jamuan makan berlangsung meriah. Setelah para tamu pulang, Andy tertidur dan Agnes membaringkannya di rumah orang tuanya.
“Andy, engkau mutiara perkawinanku. Aku membawamu pulang ke rumah orang tuaku karena engkau milikku paling berharga,” kata Agnes saat Andy membuka matanya.
Andy merengkuh Agnes dalam pelukannya.[1]
[1] Disadur dari William J. Bennett, The Moral Compass: Stories for a Life’s Journey (New York: Simon and Schuster, 1995), 511 – 512.
No comments:
Post a Comment