Air Mata Kami Belum Kering
Oleh Mutiara Andalas, S.J.[1]
“Ya Allah, anakku kemana, anakku kemana, saya kemana, kemana perginya anakku? Ia anak laki-lakiku satu-satunya. Ya Allah, anakku ditemukan udah seperti kayak ayam panggang. Anakku, Mis, pulang sudah jadi mayit. Aku minta pemerintah mengungkap provokator Mei 1998. Ia masih tinggal bersama keluarga kami seandainya para provokator tidak membakar Jogja Plaza,” demikian penuturan Bu Kus, salah seorang keluarga korban tragedi Mei 1998.
Merengkuh Kemanusiaan
Kebenaran mengenai tragedi kemanusiaan Mei 1998 masih tertutup gumpalan awan hitam kebohongan. Menjelang peringatan 10 tahun tragedi kemanusiaan Mei 1998, sebagian masyarakat menanyakan kebenaran fakta tragedi ini, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dan akses masyarakat terhadap informasi sekitar korban. Negara memahami tragedi Mei sebagai kerusuhan politik, mendakwa mayoritas korban yang meninggal dini di pusat-pusat ekonomi sebagai penjarah, dan mengungkapkan kesulitan untuk menemukan fakta kekerasan seksual massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Akademisi politik juga menawarkan beragam skenario untuk memahami tragedi kemanusiaan ini secara komprehensif.
Wajah Baru Dosa
Gustavo Gutierrez, salah seorang penggiat teologi pembebasan, mengundang publik untuk mengindahkan suara lirih korban. Suara korban memiliki kuasa mewartakan kabar gembira kehidupan (the evangelizing power of the poor). Air mata korban hendaknya mempengaruhi politik negara dan agama demi peradaban yang lebih manusiawi. Kita sering mengabaikan fakta bahwa mayoritas korban tragedi Mei adalah kaum miskin dan beriman. Paguyuban korban dan keluarga korban Gereja untuk melukis ulang citra dirinya sebagai Gereja para korban (Church of the victim).
Penggelapan kisah korban telah menciptakan keraguan, bahkan akhirnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebenaran tragedi Mei 1998 yang dikisahkan paguyuban. Solidaritas masyarakat, termasuk komunitas beriman, tinggal sekerdip lilin.
Indonesia Baru
Peringatan 10 tahun tragedi Mei 1998 merupakan undangan kepada kita semua untuk menciptakan Indonesia baru tanpa kekerasan dan diskriminasi. Kita menolak setiap bentuk perendahan kemanusiaan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar budaya yang dilakukan atau didukung negara. Aparat negara bertanggung jawab mengusut tuntas tragedi ini dan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaannya. Impunitas
[1] Rohaniwan Katolik yang menulis Politik Anamnesis: Teologi Politik Kemanusiaan di Negara Kriminal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), dan terlibat dalam merumuskan petisi “Menuju Indonesia Baru tanpa Kekerasan dan Diskriminasi” dalam rangka peringatan 10 Tahun Tragedi Mei 1998.
Oleh Mutiara Andalas, S.J.[1]
“Ya Allah, anakku kemana, anakku kemana, saya kemana, kemana perginya anakku? Ia anak laki-lakiku satu-satunya. Ya Allah, anakku ditemukan udah seperti kayak ayam panggang. Anakku, Mis, pulang sudah jadi mayit. Aku minta pemerintah mengungkap provokator Mei 1998. Ia masih tinggal bersama keluarga kami seandainya para provokator tidak membakar Jogja Plaza,” demikian penuturan Bu Kus, salah seorang keluarga korban tragedi Mei 1998.
Merengkuh Kemanusiaan
Kebenaran mengenai tragedi kemanusiaan Mei 1998 masih tertutup gumpalan awan hitam kebohongan. Menjelang peringatan 10 tahun tragedi kemanusiaan Mei 1998, sebagian masyarakat menanyakan kebenaran fakta tragedi ini, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dan akses masyarakat terhadap informasi sekitar korban. Negara memahami tragedi Mei sebagai kerusuhan politik, mendakwa mayoritas korban yang meninggal dini di pusat-pusat ekonomi sebagai penjarah, dan mengungkapkan kesulitan untuk menemukan fakta kekerasan seksual massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Akademisi politik juga menawarkan beragam skenario untuk memahami tragedi kemanusiaan ini secara komprehensif.
Paguyuban korban dan keluarga korban Mei 1998 merupakan suara lainTragedi kemanusiaan Mei 1998 melucuti kemanusiaan dan bahasa korban. Embrio paguyuban korban dan keluarga korban adalah merengkuh kembali kemanusiaan mereka yang dirampas paksa, dan kemudian menuntut para pelaku penjahat terhadap kemanusiaan mereka.
(oppositional voice) yang sering terlupakan, bahkan dibungkam secara
paksa.
Perengkuhan kembali kemanusiaan seringkali berlangsung dalam jeda waktu yangKeheningan dan air mata menjadi bahasa utama paguyuban korban dan keluarga korban pasca-tragedi. Paguyuban korban dan keluarga korban seringkali menuliskan kisah mereka dengan abjad air mata. Suara lirih mereka hanya akan sampai kepada telinga kita jika kita solider dengan mereka.
relatif lama pasca-tragedi karena trauma itu disintegratif terhadap kemanusiaan
korban.
Wajah Baru Dosa
Gustavo Gutierrez, salah seorang penggiat teologi pembebasan, mengundang publik untuk mengindahkan suara lirih korban. Suara korban memiliki kuasa mewartakan kabar gembira kehidupan (the evangelizing power of the poor). Air mata korban hendaknya mempengaruhi politik negara dan agama demi peradaban yang lebih manusiawi. Kita sering mengabaikan fakta bahwa mayoritas korban tragedi Mei adalah kaum miskin dan beriman. Paguyuban korban dan keluarga korban Gereja untuk melukis ulang citra dirinya sebagai Gereja para korban (Church of the victim).
Mereka juga mengundang komunitas-komunitas beriman lain untuk mengeluarkanPaguyuban korban dan keluarga korban prihatin karena negara justru semakin mengabaikan kasus mereka. Negara menempatkan korban sebagai catatan kaki sejarah Indonesia menjelang era reformasi. Ia bahkan menjegal usaha paguyuban korban dan keluarga korban untuk meraih keadilan di ruang hukum terhadap kasus tragedi ini. Korban meninggal di pusat-pusat penjarah dibaptis dengan stigma penjarah. Korban perkosaan massal justru didakwa menyebarkan kebohongan kepada publik dengan kisah fiktifnya. Negara secara sistematis hendak menghapus kenangan masyarakat Indonesia terhadap korban tragedi Mei. Tragedi kemanusiaan Mei mengalami pendangkalan karena negara secara sistematis menutup ruang suara korban.
diskursus dosa dari belenggu spiritualisme. Kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan wajah baru dosa dalam masyarakat kontemporer.
‘Kerusuhan’, ‘penjarah’, ‘definisi perkosaan’, dan ‘Cina’ merupakan“Bantuan atau ganti rugi ekonomi tak menebus kematian mereka. Saya tak pernah menjual kehidupan anak-anak saya….Saya berharap penuntasan kejahatan terhadap kemanusiaan. Saat ini saya sungguh khawatir akan penyelesaiannya…Islah tak mungkin tercipta tanpa keadilan. Kami menderita terus-menerus. Kami menjadi korban terus-menerus. Bapak Wiranto harus bertanggung jawab atas peristiwa Mei 1998,” tutur Pak Mamang capai.
istilah-istilah politik ciptaan negara yang menggagahi kemanusiaan korban dan
memojokkan mereka di hadapan publik.
Penggelapan kisah korban telah menciptakan keraguan, bahkan akhirnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebenaran tragedi Mei 1998 yang dikisahkan paguyuban. Solidaritas masyarakat, termasuk komunitas beriman, tinggal sekerdip lilin.
Masyarakat semakin kebal terhadap air mata korban. Kita memandang tragediPaguyuban keluarga korban mengalami diri mereka semakin berjalan sendirian dalam memperjuangkan kemanusiaan korban demi humanisasi Indonesia. Perjuangan untuk meraih keadilan memang harus tumbuh dari paguyuban, namun membutuhkan solidaritas dari komunitas non-korban. Jalan terjal menuju keadilan korban menyurutkan langkah sebagian anggota paguyuban dan pendampingnya untuk meneruskan perjuangan. Kita harus berpaling kembali kepada paguyuban korban dan keluarga korban karena mereka merupakan kenangan terakhir kita terhadap tragedi kemanusiaan ini.
kemanusiaan ini sebagai persoalan paguyuban korban dan keluarga korban. Kita
melepaskan solidaritas kita dengan korban dan tuntutan kepada negara karena
merasa bahwa tragedi ini hanya merusak kemanusiaan korban. Kita gagal melihat
bahwa tragedi kemanusiaan ini mencederai kemanusiaan Indonesia.
Indonesia Baru
Peringatan 10 tahun tragedi Mei 1998 merupakan undangan kepada kita semua untuk menciptakan Indonesia baru tanpa kekerasan dan diskriminasi. Kita menolak setiap bentuk perendahan kemanusiaan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar budaya yang dilakukan atau didukung negara. Aparat negara bertanggung jawab mengusut tuntas tragedi ini dan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaannya. Impunitas
terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelupaan sosial terhadapKekerasan terhadap terhadap korban di masa lalu mencederai kemanusiaan kita di masa kini da masa mendatang. Keberadaban kita sebagai bangsa Indonesia akan ditera dari keberpalingan kita terhadap korban. Air mata korban dan keluarga korban belum kering karena kita belum solider, bahkan mulai melupakan mereka (SELESAI).
tragedi mengubur identitas korban pada nisan anonimitas.
[1] Rohaniwan Katolik yang menulis Politik Anamnesis: Teologi Politik Kemanusiaan di Negara Kriminal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), dan terlibat dalam merumuskan petisi “Menuju Indonesia Baru tanpa Kekerasan dan Diskriminasi” dalam rangka peringatan 10 Tahun Tragedi Mei 1998.
No comments:
Post a Comment