Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, April 2, 2008

Promosi Buku Politik Anamnesis: Teologi Politik Kemanusiaan di Negara Kriminal

Hidupku Direngkuh Sahabat Oleh Mutiara Andalas[1]

Catatan Awal:
Tulisan ini merupakah salah satu kisah dalam buku Mutiara Andalas, Politik Anamnesis: Teologi Politik Kemanusiaan di Negara Kriminal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)

Puing-puing reruntuhan bangunan tragedi Mei 1998 telah dibersihkan. Denyut ekonomi memasuki pusat-pusat ekonomi yang pernah berserakan. Para pelaku ekonomi yang lalu lalang barangkali masih mengingat tragedi kemanusiaan itu saat menginjakkan kaki di sana. Kenangan akan tragedi hadir meski sejenak. Sebagian korban hidup dan keluarga korban masih memiliki kenangan akan tragedi itu di pelupuk mata mereka. Tragedi Mei tak hanya menyisakan puing bangunan, tetapi juga tubuh korban yang berserakan. Tragedi kemanusiaan Mei masih menyisakan trauma dengan dua sisi gelapnya. Trauma dapat mendorong mereka untuk berbicara tanpa henti, atau bungkam tanpa kata sama sekali.
Pak Iwan Firman, salah satu korban hidup tragedi Mei, tak sekedar kehilangan kehidupan ekonomi, tapi hampir kehilangan seluruh hidupnya. Tragedi kemanusiaan Mei menyerang seluruh kehidupan korban. Para pelaku kekerasan menginjak-injak hidupnya hingga ia hampir menjemput ajalnya secara dini. Kehidupannya mengungkapkan kesaksian subversif akan kesucian hidup korban dan kejahatan rezim kekerasan.
Ia menulis sejarah dengan tubuh cacatnya demi humanisasi Indonesia. Ia ingin hati kita mendengarkan penderitaan korban. 14 Mei. Bapak Iwan Firman memandang kalender dengan mata gemetar. Pandangannya menatap jauh ke tanggal yang sama pada tahun 1998. Ia memulai harinya sebagai karyawan elektronik di Glodok dengan menarik tagihan di Bekasi. Saat perjalanan pulang Jakarta telah berserakan. Ia melihat mobil-mobil yang dijungkirbalikkan dan dibakar massa. Ruko-ruko dipinggir jalanan berada dalam lautan api. Tubuhnya menggigil ketakutan.
Saat melintasi STM Poncol Cempaka Putih, segerombolan massa menghadang jalannya dan ia buru-buru membanting stir sepeda motornya. Namun sekelompok massa lain telah menghadang dari arah belakang. Ia bergegas turun dari sepeda motornya dan berusaha melarikan diri. Sebagian gerombolan itu mengejarnya dan salah seorang berhasil menarik bajunya. Mereka menghajar tubuhnya disertai umpatan,
“Yang namanya Cina di Jakarta akan dihabisi.”
Mereka menginjak-injak tubuhnya.
Perendahan kemanusiaan berlanjut ketika mereka menyeret tubuhnya ke arah sepeda motornya. Darah keluar dari mulut, hidung, dan telinga Pak Iwan. Mereka membuka saluran bensin sepeda motornya, mengguyur, lalu menyulut tubuhnya. Ia masih mengingat para pelaku kekerasan terhadapnya sebelum ia tak sadarkan diri. Mereka berambut cepak dan berpakaian preman dan jeans. Aksi pembakaran oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab merusak tubuhnya. Ia kehilangan beberapa jari tangan dan telinganya. Ia tak bisa menggunakan kedua telapak tangannya untuk memegang sesuatu secara leluasa seperti kita. Ia mengalami beberapa kali operasi untuk memperbaiki kerusakan tubuhnya.
Harun, seorang haji lansia dari gang Kranjang Poncol, menyelamatkan hidupnya dari ancaman kematian dini. Sahabat baru yang kini sudah meninggal itu membawanya ke Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Pak Iwan mendapatkan perawatan di rumah sakit selama empat bulan. Ia kehilangan harapan untuk melanjutkan kehidupannya,
“Dokter, kalau begini caranya, untuk apa saya hidup.”
Kondisi fisiknya seakan memberikan tanda awal bahwa penderitaan lain akan menjemput kehidupan masa depannya. Teman-teman SMP rutin mengunjunginya dan menguatkan harapan hidupnya yang tinggal sekerdip lilin.
Saat menjumpai keluarganya di jalan Kembang Sepatu, ia menerima penolakan dari istrinya,
“Kamu tidak perlu ke mari lagi. Kita sudah masing-masing saja."
Kehidupan yang tinggal sekerdip lilin itu seolah tersapu badai. Ia pulang ke Tanah Tinggi, tanah kelahirannya, dengan hati hancur. Ia tak kuasa menahan air matanya setiap kali mengisahkan kepedihannya tak bisa menjumpai anak-anaknya. Ia merintis hidup dari mencari sedekah di daerah Kota dan Jatinegara.
Penderitaan Pak Iwan menggerakkan Andreas, penjual siomay keliling, untuk merengkuh hidupnya. Andreas menawarkan diri untuk berbagi makanan, memandikan, menceboki, dan aktivitas lain yang mendukung hidup Pak Iwan.
Dorongan melanjutkan hidup juga datang dari
Pak Kamat, seorang penjaga palang kereta api di Senen. Pak Iwan pernah mencoba mengakhiri hidupnya di bantalan kereta api. Pak Kamat menjemput sahabat lamanya,
"Jangan lakukan itu, Tuhanlah yang memberi keselamatan.”
Pak Kamat menempelkan foto Pak Iwan dan seorang sahabatnya di dinding ruang kerjanya agar ia selalu mengingat sahabatnya itu.
Pak Iwan juga mendapatkan perhatian dari paguyuban keluarga korban Mei. Setiap kali ia hadir dalam pertemuan korban, keluarga korban bergantian menyuapi makanan kepadanya. Kasih paguyuban korban tersimpan di hatinya. Ia menemukan sahabat kehidupan dalam penderitaan. Penderitaan mempertemukan mereka.
Kita seringkali berjumpa dengan korban, namun kita menjauhi mereka karena kita menolak berjumpa dengan penderitaan. Mereka saling menyembuhkan trauma tragedi dengan menopang korban satu sama lain. Trauma menjadi peristiwa luar biasa karena ia menarik paksa korban pada kutub ekstrem yang mengatasi kemampuan adaptasi normal kehidupannya. Ia melucuti kekuatan hidup kita dan menciptakan teror dalam diri korban.[2]
Episode Pak Iwan Firman memasuki babak baru ketika seorang perempuan berkenan menerima kasihnya dan mereka menjadi suami istri.Tahun-tahun penderitaannya bergerak menuju kebahagiaan. Ia menemukan kebahagiannya yang terenggut. Salah satu anaknya sempat menghubunginya lewat telepon tanpa sepengetahuan ibunya. Pak Iwan merintis pembuatan obat alternatif.
Haji Harun, Pak Andreas, dan Pak Kamat berpihak kepada sejarah korban dengan merengkuh hidup Pak Iwan. Mereka memasuki kontroversi antara korban dan pelaku kekerasan korban dan berpihak pada korban.
Pelaku kekerasan terhadap korban hanya menuntut sedikit
dari kita, yaitu tak melakukan sesuatu. Keberpihakan kepada korban meminta
keterlibatan. Penghilangkan jejak kekerasan dan kebisuan atasnya merupakan
senjata awal pelaku kekerasan. Serangan terhadap kredibilitas korban dan
penolakan publik merupakan senjata pamungkas mereka. Mereka mengakhiri
kontroversi tragedi dengan mengubur kebenaran realitas yang subversif.
[3]
Hidup Pak Iwan ditopang oleh kehadiran banyak sahabat. Ia pun mengundang kita untuk menjadi sahabatnya.
Kita, ungkap Leo Eitinger, justru sering mengenakan
selubung pelupaan pada tragedi kemanusiaan dan korban. Akibatnya kita hanya
melihat monolog bisu dan tak setara antara korban dan pelaku kekerasan terhadap
korban.
[4]

[1] Rohaniwan Katolik yang mengembangkan teologi politik kemanusiaan sebagai kritik atas negara kekerasan.
[2] Judith L. Herman, Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence from Domestic Abuse to Political Terror (USA: Basic Books, 1992), 33 – 34.
[3] Judith Lewis Herman, 7 – 8.
[4] Leo Eitinger, “The Concentration Camp Syndrome and Its Late Sequelae,” in J.E. Dimsdale (Ed.), Survivors, Victims, and Perpetrators (New York: Hemisphere, 1980), 127 – 162.

No comments: