Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, May 12, 2008

Buku Mutiara Andalas, S.J. "Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan"


Jika Anda berminat untuk membeli buku ini, beberapa toko Gramedia sudah menyediakannya.

Buku ini merupakan salah satu metode penghukuman yan gpasti menyentuh jantung hati nurani pelaku HAM walaupun mereka lolos dari peradilan formal.

Christianto Wibisono

Aku punya permohonan kepada pemerintah sekarang. Aku minta pemerintah menangkap provokator Mei 1998. Mis masih tinggal bersama keluarga kamis eandainya para provokator tidak membakar Yogya Plaza.

Bu Kus, ibu kandung Mis, korban Tragedi Mei 1998

Saya sebenarnya sudah lelah, tetapi harus tetap berjuang. Pemerintah memandang peristiwa Mei 1998 sebagai kasus sepele. Ketakutan mengalahkan keadilan hukum. Ibaratnya, Kejaksaan Aung memiliki pedang tajam tetapi takut untuk membacok.

Keluarga Kewi-Sanu, orang tua Ade, korban Tragedi Mei 1998

Kami menghendaki segera adanya penyelesaian melalui proses peradilan, dan oleh karenanya kami mengharapkan mucnulkanya tokoh politik bermoral, yang benar-benar mau mengantar, membawa, memperjuangkan kasus Semanggi ini ke proses peradilan, sehingga kebenaran serta keadilan bisa kami dapatkan.

Maria Katarina Sumarsih, ibunda Wawan, korban Tragedi Semanggi I

Buku ini menggugat siapa saja – termasuk mereka yang mengaku beragama dan ber-Tuhan – atas sikap-sikap yang kita ambil terhada para korban memalingkan muka atau merengkuh mereka? Benarkah cara beragama kita sudah sesuai dengan fakta kekerasan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia? Cara penafsiran kita atas realitas kekerasan dan ketidakadilan tersebut sering tidak bertumpu pad apengalaman dan kesaksian langsung para korban, sehingga pemahaman dan kesadaran kita seringkali mengalami bias.

Melalui kisah-kisah kemanusiaan yang terentang dari para ibu Plaza de Mayo, Rigoberta Menchu, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel, Hannah Arendt, Jon Sobrino, serta para korban dan keluarga korban tragedi kemanusiaan di Indonesia, penulis mengajak pembaca untuk mendekati tragedi kemanusiaan dari perspektif iman. Kita diundang untuk mengenang korban dari ancaman amnesia sosial, serta membangun suatu politik anamnesis yang berpihak pada korban dan Allah kehidupan.





No comments: