Kesucian Politik:
Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan
Oleh Mutiara Andalas, S.J.[1]
Korban tinggal angka, bayang-bayang gelap masa lalu,
dan tersisa di tepian ingatan yang menua.
Elie Wiesel[2]
K |
esucian politik lahir dari rahim paguyuban keluarga korban yang menggeluti iman-politik di tengah krisis kemanusiaan. Keluarga korban mencari identitas korban dalam tubuh yang rusak pasca-tragedi 1998. Mereka bersimpuh di depan nisan korban dengan hati tengadah kepada Tuhan. Mereka membentuk paguyuban keluarga korban untuk saling mendukung kehidupan pasca-tragedi. Mereka mendatangi instansi-instansi negara yang terkait dengan kasus korban. Mereka berdiri hening di depan Istana Presiden untuk menggugat politik yang dehumanitatif terhadap korban. Mereka juga mengetuk pintu rumah-rumah ibadat untuk menggugah bela rasa terhadap korban. Paguyuban keluarga korban mengundang komunitas-komunitas agama untuk melukis ulang hubungan agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan.
Kesucian yang Digagahi
Kesucian politik, kosa kata yang memayungi pertautan baru agama dan politik, bertunas saat saya menengok para korban yang dibakar dalam tragedi Mei 1998. Saya berhadapan dengan tubuh korban yang rusak. Saya hampir tak mengenali korban sebagai manusia lagi. Kondisi korban mengingatkan saya pada Pontius Pilatus saat mempertontonkan Yesus sebelum mengundinya dengan Barabas dihadapan massa, “Ecce homo!”[3] Saya ingin cepat berlalu dari ruangan itu karena ngeri memandang korban. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, saya pertama kali berjumpa dengan keluarga korban. Mereka mengorek tubuh korban untuk mengenali identitasnya. Sebagian keluarga berhasil menemukan identitas korban dan membawa pulang jenazah untuk pemakaman. Pondok Rangon, tempat sebagian besar korban tanpa identitas, menjadi saksi keluarga korban yang memberi nama pada korban tanpa identitas. Tubuh rusak korban suci di mata keluarganya.
Perjumpaan dengan korban lain terjadi saat saya bersama rekan-rekan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) menengok jenazah Ita Martadinata. Kematian dini Ita menyadarkan kami akan rezim kekerasan dan diskriminasi yang menghalangi kesaksian akan tragedi kekerasan seksual terhadap para perempuan etnis Tionghoa. Rezim kekerasan menyerang target korbannya dan bahkan pendamping korban. Kematian Ita merupakan contoh lain penodaan terhadap kehidupan korban. Identitasnya sebagai korban rezim kekerasan digelapkan dengan penyebaran berita sekitar aktivitas seksual korban. Para pelaku hendak menyampaikan terapi kejut, bahkan teror kepada para pekerja kemanusiaan yang mendampingi korbannya. Perjuangan untuk mendaku kembali kemanusiaan korban mulai dengan membersihkan stigma pada tubuh korban.
Panggilan untuk melukis ulang hubungan agama dan politik di bertumbuh saat menemukan tanggapan mendua, bahkan seringkali cenderung negatif dari komunitas agama dihadapan persoalan kemanusiaan. Saya menangkap kegagapan di banyak komunitas beriman dalam menanggapi persoalan korban. Komunitas agama menghabiskan banyak energi untuk menjadi juru bicara Tuhan berhadapan dengan masalah teodice. Mereka membela kebaikan Tuhan di tengah-tengah tragedi yang menyerakkan kehidupan korban. Mereka menyibak rencana suci Tuhan di balik tragedi kemanusiaan.[4] Saya juga menangkap geliat komunitas beriman bersama komunitas-komunitas lain untuk membela kasus korban. Mereka mencari spiritualitas keterlibatan politik dari teks-teks agama. Pertautan agama dan politik yang ada terbukti hanya sedikit mendorong, bahkan menarik diri dari keterlibatan menyelamatkan kemanusiaan korban.
Kesaksian Tanpa Pendengar
Tragedi kemanusiaan Mei 1998 menyentuh kemanusiaan kita. Ungkapan bela sungkawa dan bantuan kemanusiaan kepada korban merupakan tanggapan awal masyarakat non-korban. Rasa kasihan terhadap penderitaan korban berlangsung karena penderitaan berlangsung dalam jarak pandang mata masyarakat. Bantuan kemanusiaan biasanya berdurasi pendek.[5] Rasa kasihan tak cukup untuk menanggapi tragedi kemanusiaan 1998 secara memadai karena penderitaan korban berdurasi panjang. Bela rasa adalah paradigma baru dihadapan penderitaan korban. Ia keluar dari rahim perjumpaan nyata kita dengan (penderitaan) korban. Kita membuka diri untuk disentuh (penderitaan) korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dengan mereka, dan mendorong kita untuk membangun dunia yang lebih bersaudara.[6]
Stigma negara terhadap korban menghancurkan jembatan solidaritas yang menghubungkan masyarakat dengan korban. Negara melucuti identitas korban di pusat-pusat ekonomi dengan dakwaan “perusuh” dan “penjarah.” Ia mengulang refrain lama era kolonial yang menuduh etnis Tionghoa sebagai biang keladi krisis ekonomi nasional. Ia juga mendakwa mereka yang menyelamatkan diri keluar Indonesia sebagai pelanggar patriotisme “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang.” Suara lirih korban perkosaan massal terbenam diantara teriakan parau negara yang menyangsikan, bahkan menolak kesaksian korban sebagai kebenaran. Mereka mengalami penderitaan ganda sebagai korban dan terdakwa sekaligus. Masyarakat cenderung menjauhkan diri, bahkan menarik garis pemisah dari paguyuban keluarga korban. Mereka mencondongkan diri kepada negara sebagai pembawa kisah kebenaran mengenai tragedi ini. Tragedi Mei 1998 menyusut dari persoalan kemanusiaan bersama menjadi persoalan kemanusiaan korban. Pada akhirnya, tragedi kemanusiaan 1998 mengalami mutasi dari fakta menjadi misteri.
Paguyuban keluarga korban terus-menerus mencari ruang kesaksian untuk melawan negara yang mempraktekkan politik pelupaan. Mereka pada awalnya bertumpu pada hukum sebagai instrumen kebenaran. Berkas kemanusiaan korban yang berserakan cacat dalam proses hukum. Kejaksaan Agung bahkan pernah menyatakan berkas korban tragedi 1998 hilang dan kemudian mengembalikannya kepada paguyuban keluarga korban. Aparat hukum masih bersimpuh di kaki rezim yang berkuasa di era reformasi. Alih-alih menjadi instrumen kebenaran, hukum justru menjadi alat untuk impunitas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Perangkat hukum di Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan terhadap korban dan saksinya.
Peringatan 10 tahun tragedi kemanusiaan merupakan saat istimewa bagi masyarakat untuk berpaling kembali kepada paguyuban keluarga korban. Paguyuban keluarga korban semakin berjalan sendirian dalam memperjuangkan kasusnya. Politik amnesia sangat berbahaya karena ia meniadakan pendengar saat paguyuban keluarga korban memberikan kesaksiannya. Ketiadaan pendengar berpotensi menyurutkan langkah paguyuban keluarga korban untuk bersaksi kembali di ruang publik.[7] Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, berbicara mengenai hubungan terbalik antara kesaksian korban dan taboo masyarakat. Semakin paguyuban keluarga korban mengungkapkan kebenaran, masyarakat semakin menutup telinganya karena menganggapnya sebagai kebohongan. Garis pemisah antara perikemanusiaan dan pelanggaran terhadap perikemanusiaan luntur di mata masyarakat. [8] Kesaksian menyusut menjadi monolog bisu saat kesaksian berlangsung tanpa pendengar. Kenangan korban menderita kematian prematur di rezim yang memeluk politik amnesia. Kamisan, aktivitas paguyuban keluarga korban untuk hening di depan Istana Presiden, dan aktivitas-aktivitas simbolis lainnya barangkali merupakan gerilya kemanusiaan terakhir untuk mengetuk kemanusiaan Indonesia.[9]
Agama di Sisi Korban
Paguyuban keluarga korban mengundang komunitas-komunitas agama pasca-tragedi kemanusiaan 1998 untuk merengkuh kembali korban.[10] Saya melihat beberapa sketsa wajah komunitas agama berdasarkan tanggapannya terhadap peristiwa kemanusiaan Mei 1998. Dengan menyebut beberapa sketsa dominan, saya menyadari godaan menyederhanakan keragaman sketsa yang timbul dari dialog nyata agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan. Diskusi-diskusi agama dan politik seringkali pincang sejak awal karena persoalan korban dicerabut dari wilayah agama atau dikunci mati sebagai aktivitas politik. Kecerobohan ganda ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Korban disingkirkan dari hidup agama dan politik. Gagasan kesucian politik mempertautkan kembali agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan. Saya mengembalikan komunitas agama, meminjam istilah Sosiolog David Held, pada habitat sosialnya sebagai salah satu agensi yang memiliki “kuasa transformatif untuk memproduksi dan mereproduksi masyarakat.”[11]
Sketsa pertama, komunitas agama menempatkan diri sebagai abdi negara. Negara berdiri sebagai pengayom masyarakat, termasuk masyarakat agama. Komunitas agama mendukung setiap usaha negara sebagai yang bertujuan untuk kepentingan umum. Mereka selalu menyetujui kebijakan-kebijakan negara karena mengandaikan negara mengetahui kepentingan rakyatnya. Negara melalui aparat militernya berhasil mengurangi jumlah korban tragedi karena segera bertindak saat tragedi itu meletus. Pasca-tragedi Mei, negara mengundang para pemimpin agama dan paguyuban keluarga korban untuk menyelenggarakan ritual keagamaan di lokasi tragedi untuk mendoakan korban dan mengajak keluarga korban untuk melangkah ke masa depan. Negara meminta para pemimpin agama untuk menyelenggarakan ibadat requiem bagi keluarga korban. Pemimpin agama berbicara kepada keluarga korban mengenai rencana Tuhan yang penuh misteri di balik tragedi kemanusiaan. Komunitas beriman mengambil keputusan mengenai korban dengan memperhitungkan efek negatifnya terhadap relasi selanjutnya dengan negara. Aktivitas-aktivitas kemanusiaan yang berpotensi mengganggu relasi mereka dengan negara harus diselenggarakan di luar tempat ibadat.
Sketsa kedua, komunitas agama memandang dirinya sebagai pasangan sempurna untuk negara. Tragedi kemanusiaan terjadi karena negara mengabaikan nilai-nilai agama. Komunitas agama memandang nilai-nilai agama sebagai hati kehidupan bernegara. Mereka melihat kegagalan ideologi-ideologi lain untuk mengatur negara. Partai-partai berbasis agama saling sikut dan menawarkan diri sebagai pasangan negara untuk menjalankan kekuasaan. Negara agama merupakan persetubuhan sempurna antara politik dan agama. Mereka menunggangi negara untuk kepentingan agamanya. Mereka terlibat dengan kehidupan bernegara demi melindungi kepentingan-kepentingan keagamaannya. Mereka mengerahkan massa dengan persetujuan negara untuk melindungi kepentingannya. Persoalan kemanusiaan berangsur-angsur tersingkir dari wilayah agama dan dilemparkan ke negara untuk mengurusinya. Dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998, atribut-atribut keagamaan memberikan jaminan aman kepada pemiliknya dari amuk massa. Bantuan kemanusiaan cenderung diberikan kepada mereka yang memeluk agama yang sama.
Sketsa ketiga, komunitas agama melihat dirinya sebagai yang dipanggil Tuhan untuk berada di sisi korban. Mereka berusaha membuka pintu-pintu rumah ibadat mereka yang memeluk sketsa abdi negara atau negara agama. Pada awalnya mereka mencari celah masuk dalam komunitasnya dan mempengaruhi komunitasnya untuk lebih peduli dengan korban. Mereka seringkali mendapatkan kritik keras atas tindakan yang dianggap subversif terhadap negara. Karena kecewa dengan sikap komunitas beriman, sebagian dari aktivis memilih menanggalkan identitas keagamaan mereka dan menggunakan bendera kemanusiaan dalam aktivitasnya. Kisah seorang Haji yang menggunakan kepemimpinan agamanya untuk menyelamatkan seorang warga Tionghoa dari amuk massa yang hendak membakarnya, seorang ibu yang mengenakan pakaian muslim pada seorang perempuan Tionghoa untuk melindunginya dari ancaman perkosaan massal, dan tempat-tempat ibadat untuk pengungsian sementara korban adalah praksis nyata agama yang berada di sisi korban.
Tragedi kemanusiaan 1998 merupakan tamparan keras terhadap sketsa komunitas agama pertama dan kedua. Negara de facto dapat menjadi pelaku kekerasan dan diskriminasi yang menyebabkan kematian prematur terhadap warganya. Ia dapat menyalib putera-puteri Tuhan dengan stigma “perusuh”, “penjarah”, “biang keladi krisis ekonomi”, “penyebar kabar bohong perkosaan,” “pencoreng muka bangsa sendiri”, dan sebagainya. Anggota komunitas agama dalam kenyataannya dapat bermetamorfose menjadi massa anarkis setelah menerima hasutan bernada agama dan ras. Tragedi kemanusiaan ini mengundang kita untuk melukiskan hidup politik dan agama secara baru pasca-tragedi kemanusiaan. Kekerasan dan diskriminasi berlawanan dengan Tuhan kehidupan dalam agama-agama. Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas-komunitas agama keluar dari altar menuju pe-latar-an. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban dalam teks kitab suci mengundang komunitas beriman untuk memanggul salib bersama korban dalam sejarah.
Agama Pembela Kemanusiaan
Saya mengakhiri gagasan baru kesucian politik dengan mengundang komunitas-komunitas agama untuk melihat kondisi terakhir perjuangan paguyuban keluarga korban untuk keadilan korban dan humanisasi Indonesia. Pada tanggal 1 April 2008 yang lalu, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas tragedi kemanusiaan Mei 1998. Pengembalian berkas kasus Mei ini di mata paguyuban keluarga korban merupakan penjegalan negara terhadap kasus mereka secara hukum. Jalan menuju keadilan korban secara hukum semakin gelap ke depan. Anggota paguyuban keluarga korban yang aktif terlibat untuk penuntasan kasus mereka juga mengalami penyusutan. Sebagian memilih undur diri karena berkonsentasi untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca-tragedi dan sebagian lain karena capai dengan capaian perjuangan mereka. Kondisi serupa terjadi terhadap para pendampingnya. Sebagian masyarakat umum melihat tragedi kemanusiaan Mei 1998 sebagai peristiwa masa lalu yang mulai dilupakan. Masyarakat cenderung peduli dengan kasus-kasus kemanusiaan yang berlangsung dalam jarak pandang mereka dan berakibat langsung kepada kehidupan mereka.
Paguyuban keluarga korban mengundang komunitas-komunitas agama untuk mendampingi perjuangan mereka. Teks-teks suci agama menyingkap sosok Tuhan kehidupan dan mengundang para pemeluknya untuk menjadi saksi Tuhan kehidupan di tengah krisis kemanusiaan. Dalam tradisi komunitas kristiani, Yesus mengungkapkan solidaritasnya dengan mereka yang disalib penderitaan dengan memanggul salib bersama korban. Ia tidak berpaling dari penderitaan korban, melainkan berpaling kepada korban. Apatisme dengan korban tak sekedar menjadikan komunitas-komunitas agama kurang beriman, melainkan menjadi tidak beriman. Gagasan kesucian politik hendak menjejakkan kaki komunitas agama kembali ke tanah Indonesia yang rusak karena praktek politik negara yang melanggar perikemanusiaan. Refleksi 10 tahun era reformasi cacat jika mengabaikan paguyuban keluarga korban yang masih berjuang demi keadilan bagi korban dan humanisasi bagi Indoensia.
[1] Rohaniwan Katolik yang menulis buku Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan, Kata Pengantar Christianto Wibisono (
[2] Elie Wiesel, One Generation After (New York: Schocken Books, 1982), 3 – 4. 11. 44. 171.
[3] Pandanglah manusia itu!
[4] Elie Wiesel sangat konsisten untuk menolak pembicaraan mengenai Tuhan saat sedang mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir bahwa komunitas-komunitas agama berpaling dari korban dengan cara melarikan diri kepada Tuhan. Ia mengungkapkan kekhawatiran itu dalam pernyataan getirnya, “Jika Tuhan merupakan jawaban untuk menjelaskan Holocaust, jawaban kita keliru.” Elie Wiesel, One Generation After (New York: Schocken Books, 1982), 166 – 167.
[5] Kita berhadapan dengan peran ambivalen media
[6] Jon Sobrino, Where is God? Earthquake, Terrorism, Barbarity and Hope, Translated by Margareth Wilde (
[7] Kesaksian korban kekerasan seksual hampir semuanya berlangsung dengan menyembunyikan identitas korban demi keselamatannya. Seorang perempuan Tionghoa dalam wawancara tertutup dengan CNN berkisah, “Apa kesalahan saya? Saya lahir dan tumbuh di Indonesia . Saya tidak dapat berbicara bahasa Cina. Namun, mengapa massa dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998 bertindak sedemikian kejam? Saya sekarang ketakutan setiap berjumpa dengan orang.” Lihat lebih lanjut di www.cnn.com dalam artikel Reports allege organized raping during Indonesian riots yang dimuat pada tanggal June 28, 1998 pukul 11:51 a.m. EDT (15.51 GMT).
[8] Elie Wiesel, One Generation After (New York: Schocken Books, 1982), 7 – 8.
[9] Paguyuban keluarga korban menyelenggarakan acara Kamisan sejak tanggal 18 Januari 2007. Aksi Kamisan merupakan perlawanan terhadap pelupaan sosial. Ia juga diselenggarakan dalam rangka menunggu proses hukum atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sampai negara menyelenggarakan pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
[10] Johann Baptist-Metz, teolog politik katolik dari Jerman, dalam sebuah diskusi panel bersama filsuf Milan Machovec dari Czech dan Karl Rahner menerima pertanyaan dari Machovec mengenai kemungkinan Gereja untuk dapat berdoa pasca-Auschwitz.
[11] David Held, Political Theory and
No comments:
Post a Comment