Sabtu, 21 Juli 2007
Habitus Damai
Mutiara Andalas
Perhatian aparat keamanan Indonesia beberapa waktu terakhir ini berfokus kepada penangkapan anggota jaringan terorisme global dan penciptaan atmosfer damai dalam masyarakat.
Abu Dujana dan Mbah ditengarai sebagai anggota terorisme global yang bertanggung jawab atas teror-teror inhumanitas di panggung dunia. Wajah pelaku teror disebar dengan harapan masyarakat memberi informasi tentang mereka.
Terorisme pasca-11 September memiliki sayap global dengan kemungkinan aktivitas teror di setiap sisi dunia. Wajah baru terorisme global ini mengundang komunitas dunia untuk mempraktikkan habitus damai sebagai resistensi aktif terhadap kultur kekerasan.
Terorisme global
Jurgen Habermas, penggiat etika diskursus dalam Philosophy in a Time of Terror (2003), mengundang komunitas dunia untuk merekonstruksi wajah terorisme pascatragedi 11 September. Habermas melihat sketsa wajah baru terorisme yang berlainan dari terorisme konvensional. Ia meletakkan persoalan kekerasan terorisme dalam figura rasionalitas komunikatif.
Kekerasan terorisme mengingkari rasionalitas komunikatif karena mereduksi dialog antarsubyek menjadi monolog antara subyek dan obyek. Komunikasi mensyaratkan relasi dialogis antarsubyek. Rasionalitas komunikatif tercipta ketika subyek-subyek yang terlibat dalam dialog memahami lawan diskursusnya.
Kekerasan terorisme memaksa lawan diskursus melakukan kehendak para teroris. Relasi antara teroris dan korban terorisme adalah monologis. Teroris mendominasi lawan diskursus melalui kekerasan. Habermas mengingatkan, komunikasi yang rasional itu kebal kekuasaan. Komunikasi dialogis antarsubyek hanya tercipta jika para pelaku dialog berelasi satu sama lain secara bebas dan setara.
Habermas melihat perbedaan mencolok antara terorisme konvensional dan global. Terorisme konvensional lahir dalam lokalitas tertentu sebagai resistensi agresif terhadap rezim politik yang duduk di kursi kekuasaan.
Sasaran teroris konvensional kurang lebih dapat diprediksi aparat. Aksi terornya untuk menciptakan ketakutan, kekacauan, dan mendelegitimasi suatu rezim politik. Organisasi teroris konvensional itu independen, tidak di bawah organisasi teroris sentral.
Habermas memandang peristiwa 11 September sebagai titik baru dalam memahami terorisme global. Para pelaku teror global mampu menciptakan ketakutan dan kekacauan tidak hanya di sekitar lokasi teror, tetapi meluas ke panggung global. Ketakutan dan kekacauan di lokasi teror menular ke sisi-sisi dunia yang tidak langsung terkena aksi teror. Saat mereka menghancurkan World Trade Center, seluruh dunia menjadi saksi. Mereka tak hanya memorakporandakan bangunan fisik, tetapi, dan terutama, citra simbolisnya. Identitas mereka cenderung anonim. Identitas mereka mengambil nama alias.
Rekonstruksi terorisme
Identitas teroris global itu cenderung kabur. Kita mengenali sketsa wajah mereka dari serpihan kerusakan teror. Habermas mengingatkan komunitas dunia, Osama bin Laden mungkin lebih berfungsi sebagai pemeran pengganti daripada pemeran utama dalam tragedi 11 September. Identitas anonim teroris global mempersulit aparat antiterorisme untuk mengidentifikasi pelaku teror sebenarnya.
Aparat antiterorisme global juga mengalami kesulitan untuk meraba bahaya teroris global. Ketidakpastian mengenai bahaya teror merupakan karakter lain terorisme global. Kita tidak pernah tahu hal-hal yang mencurigakan. Pascatragedi 11 september disadari, kita tidak dapat membatasi risiko bahaya terorisme. Aparat antiterorisme bertugas ekstra keras karena mereka tidak tahu anonimitas pelaku dan ketidakpastian lokasi teror. Kita sulit menaksir jenis, besar, atau probabilitas risiko. Kita belum memiliki cara untuk mempersempit wilayah yang secara potensial telah dijangkiti teroris global.
Koalisi global untuk melawan terorisme, kontrol atas arus uang dan asosiasi perbankan internasional, dan jaringan arus informasi intelijen internasional merupakan langkah jangka panjang untuk mengenali identitas jaringan teroris global.
Seruan perang terhadap terorisme sejatinya merupakan terminologi yang kedaluwarsa karena masih menggunakan bingkai terorisme konvensional. Seruan itu, menurut Habermas, keliru secara normatif karena mengangkat pelaku teror ke dalam status musuh perang. Seruan itu juga keliru secara pragmatis karena kita tidak dapat melancarkan perang melawan sebuah jaringan.
Habitus damai
Habitus damai merupakan resistensi aktif terhadap terorisme global. Ia menolak berhala-berhala kejahatan yang merusak komunitas dunia dengan kekerasan. Ia melawan berbagai perilaku jaringan terorisme yang menggunakan sentimen-sentimen massa sebagai justifikasi kekerasan. Meneruskan para pendahulunya, Paus Benedictus XVI melihat kekerasan sebagai kompromi, bahkan perlawanan agresif terhadap terciptanya perdamaian antarciptaan di bumi (pacem in terris). Habitus damai memiliki empat pilar penyangga, yaitu kebenaran, keadilan, cinta, dan kemerdekaan. Saat berdialog dengan George W Bush, Paus Benediktus XVI berbicara lantang mengenai irasionalitas, nihilisme kekerasan. Resolusi konflik melalui cara-cara kekerasan hanya menyisakan negativitas.
Dunia global ada dalam atmosfer ketakutan dan kekacauan karena manusia, perawat kehidupan, merusak harmoni yang diciptakan Allah dengan kekerasan. Teroris global adalah penyembah utama berhala kematian. Kultur kekerasan dan habitus damai merupakan dua tata kelola dunia yang berlawanan. Habitus damai mengundang setiap insan yang berkehendak baik untuk menciptakan tata dunia yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, cinta, dan kemerdekaan.
Mutiara Andalas Rohaniwan; Mahasiswa Licensiat di Jesuit School of Theology, Berkeley, California, Amerika Serikat
No comments:
Post a Comment