Izinkan Aku Merengkuhmu
(Surat Terbuka kepada Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Mei 1998)
Oleh Mutiara Andalas, S.J.
Sahabat,
Mei 2008 tinggal dalam hitungan jari. Sepuluh tahun lalu, langit Indonesia berawan kematian. Indonesia bergenang air mata. Air mataku menutup akhir kisahmu. Aku hendak mengirimkannya ke seluruh penjuru mata angin.[1] Aku mengenang Eten, Iwan, Mumung, Stefanus dan ribuan nama lain telah menjadi abu.
Sahabat,
Debu pelupaan mengubur penderitaanmu. Engkau menyimpan kenangan korban dalam air mata. Abjad seolah ribuan kupu-kupu yang berterbangan saat penaku mendekatinya. Air mata korban hanya mungkin ditulis dengan pena harapan.
“Aku Kus, ibu kandung Mis, sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci. Kehidupanku semula bergulir sederhana dari rumah, tempat cuci, dan masjid. Kematian anakku mendorongku naik ke panggung politik yang aku asing bahasanya. Perkenankan aku berbicara dengan bahasa seorang ibu. Kematian anakku sudah berlangsung dalam hitungan tahun, namun air mata keibuanku selalu menyertai setiap kali mengisahkannya.“
Sahabat,
Kenanganmu mulai dari reruntuhan pusat perbelanjaan, rumah sakit, rumah keluarga korban, dan kuburan. Abjad air mata di sana lahir dari rahim penderitaan. Trauma menyerakkan kata korban. Bela rasa merangkai abjad air mata. Rasa kasihan kepada korban hanya seumur jagung, bela rasa berusia pohon zaitun.
Sahabat,
Aku mengirim sekuntum hati saat engkau berbaring di rumah sakit setelah tragedi perkosaan. Trauma menolak perjumpaan. Aku mendengar kisahmu dari relawati kemanusiaan yang menjengukmu. Masyarakat berdesakan mencari nama, foto, dan kisahmu. Aku berharap mereka memahami kondisimu. Kebenaran di negeri ini sering bertaruh dengan kehidupan. Negara tak mengejar pelaku perkosaan, tetapi justru memburu korbannya.
Sahabat,
Penantian seorang ibu mengandung harapan. Maria, engkau tak pernah merengkuh jenazah Stefanus dalam pangkuanmu. Puteramu tak pernah kembali setelah tragedi Mei. Engkau menghantar kepergiannya dengan rosario air mata.
“Tuhan, Aku berserah kepada-Mu. Jika Stefanus masih hidup, semoga Engkau menuntunnya pulang. Jika puteraku telah meninggal dunia, semoga Engkau berkenan mengampuni dosa-dosanya. Amin.”
Sahabat,
Engkau melangkah ke ruang hukum dengan mata buta. Namun, engkau tahu hak menuntut penyelesaian kasus korban. Engkau menolak ganti rugi karena membela kesucian hidup korban. Engkau tak sudi menggadaikan kehidupan korban dengan menjual kasus mereka dengn imbalan uang.
Sahabat,
Kami berkali-kali menyebutmu sebagai penjarah. Kami menyumpalkan Allah sebagai obat penenang saat engkau membela dakwaan. Kami undur diri saat engkau mengundang kami melawan kekerasan dan diskriminasi. Sebagian korban mengembara dengan nama, bahasa, budaya, dan negara baru. Mereka ingin mengakhiri kejaran hantu trauma. Engkau merengkuh kembali kemanusiaanmu saat telingaku peduli dengan kisahmu (the empathic others).[2]
Sahabat,
Engkau menyembuhkan kebutaan hatiku. Engkau mendidik aku bela rasa. Engkau mengulurkan tanganmu kepada korban lain. Engkau memberi banyak dari yang sedikit demi kehidupan yang lain. Sejumput beras berarti karena banyak keluarga korban menyantap dari piring yang sama. Engkau mengetuk pintu tempat-tempat ibadat untuk membantu korban. Aku berharap pintu hati pemeluk agama selalu terbuka untukmu.
“Ketika aku kehilangan tempat tinggal,
engkau memberiku tumpangan.
Ketika aku dihujat sebagai asu,
Engkau menyapaku sebagai saudara.
Ketika aku dibakar hidup-hidup,
Engkau mengkafani jenazahku.
Ketika aku diperkosa,
Engkau merengkuh tubuhku.
Ketika aku dihilangkan paksa,
Engkau mencariku.
Ketika aku berjalan menuju istana Negara,
engkau menguatkan langkahku.
Ketika aku diusir aparat dengan kekerasan,
engkau memapahku ke rumah sakit.
Ketika aku dijegal hukum,
Engkau membela kesaksianku.
Ketika aku lelah memperjuangkan kasusku,
Engkau membuka tempat ibadat untuk istirahat.
Sesungguhnya segala sesuatu yang engkau lakukan
untuk salah seorang dari Saudara-Ku yang paling hina ini,
engkau telah melakukannya untuk Aku.”[3]
Sahabat,
Tragedi kemanusiaan melukis ulang pertautan agama dan politik. Ia mengundang pemeluk agama dan politikus untuk mendengarkan korban. Pemeluk agama merengkuh korban politik. Politikus menjauhi kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemeluk agama dan politikus sering mendangkalkan tragedi kemanusiaan sebagai kecelakaan sejarah. Tragedi kemanusiaan melucuti gagasan mengenai Tuhan dan peradaban yang berpaling dari penderitaan korban. Ia juga mempertemukan agama-agama di ruang kemanusiaan. Agama seringkali gagap dihadapan tragedi sejarah karena menceraikan keselamatan dari transformasi politik, bahkan agama tahkluk di kaki rezim politik.[4]
Sahabat,
Berapa usia sebuah kenangan? Aku pernah mengira sering dapat hidup tanpa berpaling ke tragedi Mei. Aku juga sering mengira kenangan atas tragedi hanya milikmu. Sejujurnya aku takut berjumpa dengan air matamu. Aku takut merengkuhmu karena mengira engkau akan meminta sesuatu dariku. Engkau justru mendekati dan merengkuhku. Engkau menyampaikan pesan kemanusiaan dalam abjad air mata, “Tragedi kemanusiaan ini menyerang kemanusiaan kita. Serangan terhadap tubuh korban adalah serangan terhadap tubuh kemanusiaan kita.” Aku mengenangmu hingga air mata penderitaanmu kering.
[1] Mutiara Andalas, S.J., Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan (
[2] Susan J. Brison, Aftermath: Violence and the Remaking of a Self (
[3] Pembacaan kontemporer atas teks Matius 25, 31 – 46.
[4] Johann Baptist
No comments:
Post a Comment