DARI JURANG YANG DALAM
Oleh: Sindhunata *
GloriaNet - Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian." Itulah yang dikatakan Yesus dalam kemuliaan-Nya sebagai raja pada pengadilan terakhir kepada orang-orang yang merasa tak pernah menolong Dia ketika mereka hidup di dunia. Karena itu, berkatalah orang-orang itu, "Bilamana kami melihat Engkau telanjang, dan kami memberi Engkau pakaian?" Jawab Yesus, "Sesungguhnya apa yang kaulakukan pada salah seorang saudaramu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku".
Telanjang dalam kemiskinan dan kenistaan, itulah tubuh Yesus sebelum Paskah. Tubuh yang telanjang nista itu kini terserak di mana-mana. Hanya mata kitalah yang buta tak bisa menatapnya. Sesungguhnya, kebutaan itulah yang sedang menimpa kita sekarang ini.
Menjelang Paskah ini, di Kelurahan Buntaran, Kecamatan Tandes, Surabaya, sekelompok wanita penghuni gubuk miskin mengangkat roknya, sebagian menanggalkan kutangnya, diiringi jerit tangis dan teriakan histeris. Wanita-wanita miskin itu menelanjangkan diri di hadapan polisi dan petugas Pamong Praja Pemerintah Kota Surabaya, yang mau membuldoser gubuk-gubuk mereka. (Kompas, 25/3).
Mereka sudah tak mempunyai apa-apa. Satu-satunya harta yang seharusnya tersisa adalah rasa malu dan harga diri. Akan tetapi, kedua hal itu pun mereka serahkan, supaya orang tahu, mereka sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi, kecuali bertelanjang diri.
Bertelanjang macam ini sebenarnya amat mengerikan. Sebab, itu berarti mereka benar-benar sudah ada di jurang keputusasaan. Mereka merasa, tak ada lagi manusia yang mendengarkan dan menolong mereka. Tinggal Tuhan yang mungkin mendengarkan mereka. Maka lebih daripada sekadar protes sosial, ketelanjangan mereka adalah suatu jeritan pemasmur kepada Tuhan: De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam! (Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku!).
Sesungguhnya ratapan de profundis itu bukan hanya ratapan dari wanita-wanita di daerah Tandes, Surabaya. Ratapan itu datang dari mayoritas penduduk Indonesia, yang miskin dan terhina. Celakanya, sekarang tak ada yang mendengarkan mereka. Ekonomi sedang bergulat dengan krisis. Yang dipikirkan hanya recovery, bukan menolong orang miskin. Politik sedang terjerumus ke dalam tetek bengek persoalan. Yang dipikirkan hanya memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, bukan memihak kepentingan kaum miskin. Lalu, apakah yang dapat diperbuat agama, jika ia hanya asyik dengan ritual atau menjadi tameng bagi pelbagai kepentingan?
Betapa pun, kemiskinan sedang atau bahkan makin menjadi realitas kita. Karena itu, kemiskinan mestinya menjadi tanah bagi agama maupun politik (dan ekonomi) dalam menjalankan aktivitasnya. Agama mestinya membantu politik mengatasi soal kemiskinan itu. Sebaliknya bila politik percaya, agama dapat membantunya, ia pun mesti juga yakin, bahwa dengan mengatasi kemiskinan ia justru dapat menjadi bersih bahkan suci seperti dicita-citakan agama baginya. Akan tetapi, bisakah politik itu menjadi suci? Adakah sesungguhnya political holiness itu?
* * *
Sepintas, kesucian dan politik adalah dua hal yang bertentangan. Kesucian itu terletak dalam wilayah doa, askese, kontemplasi, dan kemurahan hati. Sementara politik terletak dalam wilayah kepentingan dan kekuasaan yang saling berebut dan menghancurkan. Politik itu kotor, mana mungkin ia menjadi suci? Menurut seorang teolog pembebasan dari El Salvador, Jon Sobrino, ide kesucian dan politik macam itu adalah a-historis, karenanya harus ditinggalkan, khususnya di negara di mana kemiskinan merajalela.
Kata Sobrino, di dunia ketiga, yang ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti sebagai cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu harus menjadi a political love, cinta yang berpolitik untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri. Sebab sepanjang sejarah penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah dan miskin.
Cinta politis itu tak mengecualikan cinta dalam pengertian tradisional, namun tak dapat dikembalikan pada yang terakhir ini. Cinta politis itu perlu menemukan struktur, yang dapat mengefektifkan perjuangan kaum miskin, menolak penindasan, membela hak asasi dan hak politik kaum miskin, serta mengupayakan perubahan sosial demi kaum miskin.
Untuk menjalankan cinta itu, orang perlu menjalankan metanoia (pertobatan). Namun pertobatan di sini bukan semata-mata pengakuan dosa personal, melainkan niat untuk mengenal dunia apa adanya, dan kemudian mengubahnya. Dan dunia itu adalah dunia, di mana mayoritas penghuninya diancam oleh penindasan dan kematian, di mana kebenaran dipenjarakan oleh ketidakadilan.
Pertobatan macam itu tak mungkin terjadi tanpa kenosis (pengosongan diri). Dalam konteks kemiskinan, pengosongan diri itu dijalankan dengan melebur dalam dunia orang miskin, merasakan nasib dan penderitaannya, mendalami kesabaran dan harapannya. Di Amerika Latin, solidaritas ini membawa risiko: orang akan dikejar dan dianiaya karena memperjuangkan harapan kaum miskin, yakni tegaknya keadilan. Sudah puluhan ribu orang kristen terbunuh karena memperjuangkan keadilan. Di antara mereka adalah para imam Gereja sendiri.
"Saya bersyukur, bahwa Gereja kita dikejar-kejar karena memihak kaum miskin dan karena berusaha menginkarnasikan diri bersama kaum miskin. Betapa sedih kita, jika di negeri di mana pembunuhan kejam terjadi, tiada imam yang menjadi korban. Imam yang terbunuh adalah saksi bahwa Gereja sungguh menginkarnasikan diri dalam problem umatnya," kata Uskup Agung El Salvador Oscar Romero.
Romero adalah uskup yang gigih membela kaum miskin, berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang juga orang kristen seperti dia. "Seorang gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya diancam ketakutan," kata Romero di saat ia diteror habis-habisan. Akhirnya, karena pemihakannya kepada kaum miskin itu, Romero ditembak mati, ketika sedang merayakan misa, 24 Maret 1980.
* * *
Kematian Romero dan puluhan ribu orang kristen karena perjuangan keadilan membuat orang berpikir secara baru tentang kesucian, termasuk kemartiran (kesahidan). Kemartiran dalam pandangan tradisional adalah puncak kesucian karena orang mempertaruhkan nyawanya demi pembelaan iman.
Di Amerika Latin, kemartiran tidak lagi hanya dikaitkan dengan iman, tetapi lebih-lebih dengan keadilan. Ada banyak orang kristen mati dibunuh karena memperjuangkan keadilan, dan itu dikerjakan sesuai imannya. Maka kematian mereka hanya sia-sia, jika Gereja tidak memberikan mahkota tertinggi yang biasa diberikan kepada anggotanya yang telah membuktikan kesuciannya, yakni mahkota kemartiran.
Namun dengan memberi mereka mahkota kemartiran, Gereja mengakui, bukan hanya kematian demi iman tetapi kematian demi keadilanlah mahkota tertinggi bagi kesucian. Konsep kesahidan macam ini kiranya memberi sumbangan berharga bagi kehidupan beragama. Yakni, bukan fundamentalisme dan puritanisme pembelaan agama, tetapi politik kemanusiaan demi keadilan itulah yang mengukur, apakah orang sungguh mencapai derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.
Dari uraian itu tampak, bahwa politik, tepatnya politik yang membela kaum miskin memperjuangkan keadilan, dapat menjadi tanah subur bagi kesucian. Jadi a political holiness itu mungkin. Dan kesucian politik macam itulah yang seharusnya menjadi patokan untuk mengukur jujur tidaknya para politikus. Jadi bukan jas atau dasi, bukan dansa-dansi kenegaraaan, bukan keterampilan diplomasi atau lobi, tetapi kesungguhan dan kejujuran dalam membela dan memperjuangkan hak kaum miskin itulah yang menentukan apakah mereka benar-benar politikus atau hanya sekadar petualang kekuasaan.
Dalam hidup kristiani, menyangkali kesucian politik macam itu sama dengan menyangkali hidup dan pengorbanan Yesus sendiri. Sebab kematian Yesus adalah kematian demi kebenaran dan keadilan. Kalau tidak, kematian-Nya hanyalah kematian seorang penjahat, atau pengkhianat agama, atau provokator yang subversif, seperti dituduhkan lawan-lawan-Nya. Kematian-Nya demi kebenaran dan keadilan itu adalah suci. Karena itu, Allah yang benar dan adil, memahkotai kematian itu dengan kebangkitan.
Kebangkitan itu adalah kebangkitan manusia. Karena itu kebangkitan itu juga masih menyandang kemanusiaan. Yesus bangkit bersama tubuh-Nya. Maka meski sudah mulia, tampak tubuh itu masih tetap telanjang. Dan dalam ketelanjangan-Nya masih terlihat goresan luka, tempat Ia dulu menderita. Karena itu sampai kini luka-Nya tadi masih tetap terasa perih, bila Dia melihat sesama-Nya yang miskin menderita, telanjang tak memiliki apa-apa, ditindas dan dizalimi, tak bisa berbuat apa-apa kecuali menjeritkan ratapan de profundis.
* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta. (Kompas 300302)
Oleh: Sindhunata *
GloriaNet - Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian." Itulah yang dikatakan Yesus dalam kemuliaan-Nya sebagai raja pada pengadilan terakhir kepada orang-orang yang merasa tak pernah menolong Dia ketika mereka hidup di dunia. Karena itu, berkatalah orang-orang itu, "Bilamana kami melihat Engkau telanjang, dan kami memberi Engkau pakaian?" Jawab Yesus, "Sesungguhnya apa yang kaulakukan pada salah seorang saudaramu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku".
Telanjang dalam kemiskinan dan kenistaan, itulah tubuh Yesus sebelum Paskah. Tubuh yang telanjang nista itu kini terserak di mana-mana. Hanya mata kitalah yang buta tak bisa menatapnya. Sesungguhnya, kebutaan itulah yang sedang menimpa kita sekarang ini.
Menjelang Paskah ini, di Kelurahan Buntaran, Kecamatan Tandes, Surabaya, sekelompok wanita penghuni gubuk miskin mengangkat roknya, sebagian menanggalkan kutangnya, diiringi jerit tangis dan teriakan histeris. Wanita-wanita miskin itu menelanjangkan diri di hadapan polisi dan petugas Pamong Praja Pemerintah Kota Surabaya, yang mau membuldoser gubuk-gubuk mereka. (Kompas, 25/3).
Mereka sudah tak mempunyai apa-apa. Satu-satunya harta yang seharusnya tersisa adalah rasa malu dan harga diri. Akan tetapi, kedua hal itu pun mereka serahkan, supaya orang tahu, mereka sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi, kecuali bertelanjang diri.
Bertelanjang macam ini sebenarnya amat mengerikan. Sebab, itu berarti mereka benar-benar sudah ada di jurang keputusasaan. Mereka merasa, tak ada lagi manusia yang mendengarkan dan menolong mereka. Tinggal Tuhan yang mungkin mendengarkan mereka. Maka lebih daripada sekadar protes sosial, ketelanjangan mereka adalah suatu jeritan pemasmur kepada Tuhan: De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam! (Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku!).
Sesungguhnya ratapan de profundis itu bukan hanya ratapan dari wanita-wanita di daerah Tandes, Surabaya. Ratapan itu datang dari mayoritas penduduk Indonesia, yang miskin dan terhina. Celakanya, sekarang tak ada yang mendengarkan mereka. Ekonomi sedang bergulat dengan krisis. Yang dipikirkan hanya recovery, bukan menolong orang miskin. Politik sedang terjerumus ke dalam tetek bengek persoalan. Yang dipikirkan hanya memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, bukan memihak kepentingan kaum miskin. Lalu, apakah yang dapat diperbuat agama, jika ia hanya asyik dengan ritual atau menjadi tameng bagi pelbagai kepentingan?
Betapa pun, kemiskinan sedang atau bahkan makin menjadi realitas kita. Karena itu, kemiskinan mestinya menjadi tanah bagi agama maupun politik (dan ekonomi) dalam menjalankan aktivitasnya. Agama mestinya membantu politik mengatasi soal kemiskinan itu. Sebaliknya bila politik percaya, agama dapat membantunya, ia pun mesti juga yakin, bahwa dengan mengatasi kemiskinan ia justru dapat menjadi bersih bahkan suci seperti dicita-citakan agama baginya. Akan tetapi, bisakah politik itu menjadi suci? Adakah sesungguhnya political holiness itu?
* * *
Sepintas, kesucian dan politik adalah dua hal yang bertentangan. Kesucian itu terletak dalam wilayah doa, askese, kontemplasi, dan kemurahan hati. Sementara politik terletak dalam wilayah kepentingan dan kekuasaan yang saling berebut dan menghancurkan. Politik itu kotor, mana mungkin ia menjadi suci? Menurut seorang teolog pembebasan dari El Salvador, Jon Sobrino, ide kesucian dan politik macam itu adalah a-historis, karenanya harus ditinggalkan, khususnya di negara di mana kemiskinan merajalela.
Kata Sobrino, di dunia ketiga, yang ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti sebagai cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu harus menjadi a political love, cinta yang berpolitik untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri. Sebab sepanjang sejarah penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah dan miskin.
Cinta politis itu tak mengecualikan cinta dalam pengertian tradisional, namun tak dapat dikembalikan pada yang terakhir ini. Cinta politis itu perlu menemukan struktur, yang dapat mengefektifkan perjuangan kaum miskin, menolak penindasan, membela hak asasi dan hak politik kaum miskin, serta mengupayakan perubahan sosial demi kaum miskin.
Untuk menjalankan cinta itu, orang perlu menjalankan metanoia (pertobatan). Namun pertobatan di sini bukan semata-mata pengakuan dosa personal, melainkan niat untuk mengenal dunia apa adanya, dan kemudian mengubahnya. Dan dunia itu adalah dunia, di mana mayoritas penghuninya diancam oleh penindasan dan kematian, di mana kebenaran dipenjarakan oleh ketidakadilan.
Pertobatan macam itu tak mungkin terjadi tanpa kenosis (pengosongan diri). Dalam konteks kemiskinan, pengosongan diri itu dijalankan dengan melebur dalam dunia orang miskin, merasakan nasib dan penderitaannya, mendalami kesabaran dan harapannya. Di Amerika Latin, solidaritas ini membawa risiko: orang akan dikejar dan dianiaya karena memperjuangkan harapan kaum miskin, yakni tegaknya keadilan. Sudah puluhan ribu orang kristen terbunuh karena memperjuangkan keadilan. Di antara mereka adalah para imam Gereja sendiri.
"Saya bersyukur, bahwa Gereja kita dikejar-kejar karena memihak kaum miskin dan karena berusaha menginkarnasikan diri bersama kaum miskin. Betapa sedih kita, jika di negeri di mana pembunuhan kejam terjadi, tiada imam yang menjadi korban. Imam yang terbunuh adalah saksi bahwa Gereja sungguh menginkarnasikan diri dalam problem umatnya," kata Uskup Agung El Salvador Oscar Romero.
Romero adalah uskup yang gigih membela kaum miskin, berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang juga orang kristen seperti dia. "Seorang gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya diancam ketakutan," kata Romero di saat ia diteror habis-habisan. Akhirnya, karena pemihakannya kepada kaum miskin itu, Romero ditembak mati, ketika sedang merayakan misa, 24 Maret 1980.
* * *
Kematian Romero dan puluhan ribu orang kristen karena perjuangan keadilan membuat orang berpikir secara baru tentang kesucian, termasuk kemartiran (kesahidan). Kemartiran dalam pandangan tradisional adalah puncak kesucian karena orang mempertaruhkan nyawanya demi pembelaan iman.
Di Amerika Latin, kemartiran tidak lagi hanya dikaitkan dengan iman, tetapi lebih-lebih dengan keadilan. Ada banyak orang kristen mati dibunuh karena memperjuangkan keadilan, dan itu dikerjakan sesuai imannya. Maka kematian mereka hanya sia-sia, jika Gereja tidak memberikan mahkota tertinggi yang biasa diberikan kepada anggotanya yang telah membuktikan kesuciannya, yakni mahkota kemartiran.
Namun dengan memberi mereka mahkota kemartiran, Gereja mengakui, bukan hanya kematian demi iman tetapi kematian demi keadilanlah mahkota tertinggi bagi kesucian. Konsep kesahidan macam ini kiranya memberi sumbangan berharga bagi kehidupan beragama. Yakni, bukan fundamentalisme dan puritanisme pembelaan agama, tetapi politik kemanusiaan demi keadilan itulah yang mengukur, apakah orang sungguh mencapai derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.
Dari uraian itu tampak, bahwa politik, tepatnya politik yang membela kaum miskin memperjuangkan keadilan, dapat menjadi tanah subur bagi kesucian. Jadi a political holiness itu mungkin. Dan kesucian politik macam itulah yang seharusnya menjadi patokan untuk mengukur jujur tidaknya para politikus. Jadi bukan jas atau dasi, bukan dansa-dansi kenegaraaan, bukan keterampilan diplomasi atau lobi, tetapi kesungguhan dan kejujuran dalam membela dan memperjuangkan hak kaum miskin itulah yang menentukan apakah mereka benar-benar politikus atau hanya sekadar petualang kekuasaan.
Dalam hidup kristiani, menyangkali kesucian politik macam itu sama dengan menyangkali hidup dan pengorbanan Yesus sendiri. Sebab kematian Yesus adalah kematian demi kebenaran dan keadilan. Kalau tidak, kematian-Nya hanyalah kematian seorang penjahat, atau pengkhianat agama, atau provokator yang subversif, seperti dituduhkan lawan-lawan-Nya. Kematian-Nya demi kebenaran dan keadilan itu adalah suci. Karena itu, Allah yang benar dan adil, memahkotai kematian itu dengan kebangkitan.
Kebangkitan itu adalah kebangkitan manusia. Karena itu kebangkitan itu juga masih menyandang kemanusiaan. Yesus bangkit bersama tubuh-Nya. Maka meski sudah mulia, tampak tubuh itu masih tetap telanjang. Dan dalam ketelanjangan-Nya masih terlihat goresan luka, tempat Ia dulu menderita. Karena itu sampai kini luka-Nya tadi masih tetap terasa perih, bila Dia melihat sesama-Nya yang miskin menderita, telanjang tak memiliki apa-apa, ditindas dan dizalimi, tak bisa berbuat apa-apa kecuali menjeritkan ratapan de profundis.
* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta. (Kompas 300302)
No comments:
Post a Comment