Menata Kemarahan
Kemarin saya diajak sahabat pergi makan siang di sebuah restoran
Tetapi lama-kelamaan obrolan kami tertutupi suara sangat keras di belakang kami. Saat menoleh kebelakang, saya melihat seorang bapak sambil menenggak bir mengacung-acungkan jarinya ke arah anak muda di depannya. Mulutnya berbusa-busa dengan nada sangat tinggi. Ia sedang memarahi anaknya.
Sementara anaknya tertunduk diam. Entah berapa lama bapak itu memarahi anaknya. Sampai mie goreng di piring saya habis, saya masih mendengarkan kata-kata bernada kemarahan dari ayah itu. Sementara itu, kepulan mie goreng di piring keluarga itu mulai tak terlihat lagi.
“Bapak itu capek sendiri setelah marah-marah pada anaknya. Saya yakin hanya beberapa kata saja yang masuk ke telinga anaknya,” kata sahabat saya lirih.
Setelah beberapa lama, saya melihat ibu anak itu memeluk anaknya. Ia kemudian bicara dengan nada yang sangat lembut. Anaknya tak lagi menyembunyikan wajahnya. Ia menatap ibunya dan kepalanya mengangguk-angguk. Ia seolah tak ingin kehilangan satu kata pun dari kata-kata ibunya.
Menyampaikan rasa amarah pun butuh managemen agar yang dimarahi menangkap pesannya.
No comments:
Post a Comment