Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, May 12, 2008

Opini KOMPAS Mutiara Andalas "Kesucian Politik"


Kesucian Politik
Selasa, 13 Mei 2008 | 00:18 WIB

Oleh Mutiara Andalas

Kesucian politik lahir dari rahim paguyuban keluarga korban yang menggeluti iman-politik di tengah krisis kemanusiaan. Ia melukis ulang dialog agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan. Ia menggugat praktik agama dan politik yang dehumanitatif terhadap korban. Rezim politik kekerasan menodai kesucian hidup korban, tetapi komunitas agama sering kali buta hati terhadap penderitaan mereka.

Peringatan satu dasawarsa tragedi kemanusiaan Mei 1998 mengundang komunitas-komunitas agama untuk berpaling kembali kepada korban. Komunitas agama dipanggil untuk berbela rasa dengan perjuangan paguyuban keluarga korban demi keadilan korban dan humanisasi Indonesia.

Kesucian yang digagahi

Tragedi Mei 1998 meninggalkan tubuh korban yang rusak karena kekerasan dan diskriminasi. Kita hampir tak mengenali korban bakar sebagai manusia lagi. Pelucutan kemanusiaan juga terjadi pada para perempuan etnis Tionghoa yang menderita kekerasan seksual. Kondisi korban yang mengerikan itu mengingatkan saya pada Pontius Pilatus saat mempertontonkan Yesus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan massa. Ecce homo! Pandanglah manusia yang rusak itu!

Tubuh rusak korban suci di mata keluarganya. Keluarga korban mengorek tubuh serpihan tubuh korban untuk mengenali identitasnya. Mereka mengenakan kembali identitas korban dari bahaya anonimitas. Mereka menuliskan nama dan kisah korban. Setiap nama korban memiliki napas suci kehidupan.

Korban mengalami penderitaan ganda sebagai korban dan terdakwa pascatragedi. Negara melucuti identitas korban di pusat-pusat ekonomi dengan dakwaan perusuh dan penjarah. Ia mengulang refrain lama era kolonial yang menuduh etnis Tionghoa sebagai biang keladi krisis ekonomi nasional. Suara lirih korban pemerkosaan massal terbenam di antara teriakan parau negara yang menyangsikan, bahkan menolak kesaksian korban sebagai kebenaran. Ia juga mendakwa mereka yang menyelamatkan diri keluar Indonesia sebagai pembangkang bangsa.

Rezim politik kekerasan dan diskriminasi menghalangi kesaksian kebenaran dari perspektif paguyuban keluarga korban. Tragedi Mei 1998 menyusut dari persoalan kemanusiaan bersama menjadi persoalan kemanusiaan korban. Kebenaran mengenai tragedi ini mengalami mutasi dari fakta menjadi misteri.

Perjuangan untuk mendaku kembali kemanusiaan korban mulai dengan membersihkan stigma pada tubuh korban. Paguyuban keluarga korban mencari ruang kesaksian publik untuk melawan negara yang mempraktikkan politik pelupaan. Mereka pada awalnya bertumpu pada hukum sebagai instrumen kebenaran. Kejaksaan Agung pernah menyatakan berkas korban tragedi 1998 hilang dan kemudian mengembalikannya kepada paguyuban keluarga korban pada 1 April 2008.

Aparat hukum masih bersimpuh di kaki rezim yang berkuasa di era reformasi. Alih-alih menjadi instrumen kebenaran, hukum justru menjadi alat untuk impunitas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Perangkat hukum di Indonesia juga belum menyediakan jaminan perlindungan terhadap korban dan saksinya.

Merengkuh korban

Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, dalam One Generation After (1982) berbicara mengenai ironi kesaksian korban dan tabu masyarakat. Semakin paguyuban keluarga korban mengungkapkan kebenaran mengenai penderitaan, masyarakat semakin menutup telinganya karena menilai kesaksian korban sebagai kebohongan. Garis pemisah antara perikemanusiaan dan pelanggaran terhadap perikemanusiaan kabur di mata masyarakat.

Elie Wiesel menolak pembicaraan mengenai Tuhan saat mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir bahwa komunitas-komunitas agama berpaling dari korban dengan cara melarikan diri kepada Tuhan. Tuhan adalah jawaban yang salah untuk menjelaskan tragedi kemanusiaan Holocaust. Ia mengundang komunitas agama sebagai saksi kemanusiaan untuk menghentikan atau sekurang-kurangnya menahan laju pelupaan korban.

Jon Sobrino dalam Where is God? (2004) mengusulkan bela rasa sebagai paradigma baru bagi komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan. Bela rasa keluar dari rahim perjumpaan nyata kita dengan penderitaan korban. Kita membuka diri untuk disentuh korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dengan mereka dan mendorong komunitas agama sebagai salah satu pelaku dalam membangun dunia yang lebih humanis. Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas agama keluar dari altar menuju pelataran untuk menjumpai Tuhan dalam diri korban. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban dalam teks kitab suci mengundang komunitas beriman untuk memanggul salib bersama korban dalam sejarah.

Komunitas agama sering kali mencerabut persoalan korban dari wilayah agama karena menganggapnya sebagai aktivitas politik. Kecerobohan komunitas agama ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Komunitas agama, meminjam istilah sosiolog David Held, harus kembali kepada habitat sosialnya sebagai pelaku politik yang memiliki kuasa transformatif untuk memproduksi dan mereproduksi masyarakat. Komunitas agama merengkuh korban dan mendampingi perjuangan gerilya kemanusiaan mereka untuk mengetuk nurani Indonesia.

Saat tragedi Mei 1998, seorang haji menggunakan kepemimpinan agamanya untuk menyelamatkan seorang warga Tionghoa dari amuk massa. Seorang ibu mengenakan pakaian Muslim kepada seorang perempuan Tionghoa untuk melindunginya dari ancaman pemerkosaan massal. Tempat-tempat ibadat membuka pintu sebagai suaka kemanusiaan korban.

Reformasi bersama korban

Refleksi 10 tahun era reformasi cacat jika mengabaikan paguyuban keluarga korban yang masih berjuang demi keadilan bagi korban dan humanisasi bagi Indonesia. Tragedi Mei 1998 membangunkan kesadaran komunitas agama bahwa negara de facto dapat berubah dari pengayom warga menjadi pelaku pembiaran, kekerasan, dan diskriminasi.

Anggota komunitas agama dapat bermetamorfosis menjadi massa anarkis setelah menerima hasutan bernada agama dan ras. Stigma negara terhadap korban telah menghancurkan jembatan solidaritas dengan korban. Kesucian politik menjejakkan kaki komunitas agama kembali pada tanah Indonesia yang rusak karena politik yang melanggar perikemanusiaan.

Mutiara Andalas Rohaniwan Katolik yang Pernah Mendampingi Paguyuban Keluarga Korban Mei Semanggi

No comments: