Cerpen
NATASYA dan IBU
Yang terpenting dalam sebuah hubungan adalah mencari sebuah tempat yang tepat , tidak ada yang disembunyikan, dan disana anda dapat saling mengenal jenifer aniston
Ada dua orang wanita yang sangat kucintai dalam hidupku. Ibuku dan Natasya. Satunya wanita yang melahirkan saya, satunya lagi gadis manis yang menyertai hari-hari saya di kota yang baru ini. Namun mereka berdua sangatlah berbeda bagai langit dan bumi, paling tidak dalam hal kesederhanaan dan kehematan.. Inilah sebagian kisah itu.
Tadi pagi, saya mengantar ibu ke stasiun Tugu. Ibu mau pulang kampung di Banyumas sana, setelah seminggu berada di Yogya ini. Ibu sudah semakin tua dan semakin hitam dibandingkan tahun lalu, itu karena ibu seharian bekerja di sawah. Itu yang menjadikan ibu berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Ibuku bukan orang yang pergi ke salon, ikut arisan ini-itu, atau yang pekerjaannya melihat acara gossip di televisi. Ibu saya wong ndesa, yang kerjaannya hanya ke sawah dan mengurus adik-adik saya,
Kemarin waktu ibu datang pertama kali ke kost saya, ada teman yang meledek. “Yudis, ada tukang sayur mencarimu”, kata Bony teman saya yang dari Jakarta. Ketika saya melangkah ke kamar kost, tampak seorang ibu membawa keranjang berisi beras. “OH, Ibu datang tidak memberitahu kan bisa saya jemput ke stasiun” kataku senang sekaligus kaget.”Tidak usah, nanti ibu menganggu kuliahmu!” Ibu membawa barang-barang hasil kebun, mungkin itu yang membuat ibu disangka Bony tukang sayur.
Selama seminggu ini, ibu banyak menasihati saya . Beliau banyak mengingatkan saya untuk berdoa, ngaji, rajin belajar, bergaul yang benar, pacaran jangan macam-macam. Ibuku pun kuperkenalkan pada Natasya. Ketika dua wanita berbeda generasi dan lingkungan bertemu, ada kelucuan di sana. Natasya yang bercelana jins dan berkaus kutung, maklum orang kota, bertemu dengan ibu yang berkebaya. Ibu hanya terheran-heran melihat Natasya dengan pusernya yang kelihatan. Tapi ibu selalu memandang baik pada orang lain.Dia tak melihat kekurangan Tasya, namu asyik mengagumi cerita tentang kegiatan Tasya yang aktif di gereja, kampus, bahkan sepertiku dia juga memberi les Inggris bagi anak-anak orang kaya itu. Natasya juga heran, masih ada ibu yang datang dari desa membawakan petai untuk putra sulung yang dibanggakannya.
Dan hari ini, ibu akan pulang kampung. Beliau sempat berbicara lagi, menasehati saya di bis kota “Rajin belajar ya. Nak!”saya menganggtuk, menatap ibu dengan haru. Ah, saya tak tahan melihat mata telaganya. Saya ingin sekali memeluknya dengan bangga. Tapi saya sudah besar, sudah duduk di semester tiga. Saya tak boleh melankolis seperti itu.”Ibu selalu berdoa untukmu,”katanya lagi dengan tatapan mata yang teduh. Aku terharu, sambil merasakan tangan ibu yang kasar karena terlalu banyak bekerja di sawah. Tapi wajah ibu selalu cerah dan optimis. Entytahlah ibu selalu nampak begitu di mata saya.
Saya masih menyandarkan tangan ibu pada wajah saya, ketika tiba-tiba kernet bis kota berteriak “Stasiun tugu-stasiun!”Saya terkesiap. Refleks saya angkat tas ibu. Membimbing ibu turun dari bis dan memasuki stasiun dengan selamat. Setelah ibu naik kereta dan pergi. Tiba-tiba saya merasa sepi. Saya kehilangan sosok ibu yang setia menemani hari-hari saya dahulu. Ibu yang tak pernah lelah bekerja untuk keluarganya. Ibu yang sederhana dan lembut.Ia terlalu cepat kembali. Tapi itu mungkin lebih baik, daripada kerjaan sawahnya berantakan. Lagipula, adik saya yang paling kecil mungkin sering menantinya dengan tangis.
Lalu saya menatap stasiun Tugu ini. Saya kembali teringat waktu saya pertama kali datang ke stasiun ini dengan kayakinan besar, meninggalkan kampung halaman, merajut mimpi kuliah di universitas sanata dharma. Teringat cita-cita untuk menjadi guru. Dan mengabdikan ilmu saya di desa lagi.Teringat pula kampung saya yang selalu menyisakan kenangan manis.
Saya tengok jam tangan saya sudah jam 09.30. nanti jam sebelas ada kuliah psikologi pendidikan. Dan sorenya Natasya mengajak saya ke mall, membeli berbagai keperluan. Entah apalagi yang dia beli. Padahal seminggu yang lalu sudah membeli sepatu dan jeans model baru, lalu aksesori. Dan dua hari lalu tshirt warna=-warni dan tas. AH!
Memasuki galleria mall ini, ada kecanggungan yang memasuki benak saya. Biasanya tidak begini persisnya sejak sering menemani Natasya ke mall ini. Bila saya tanya mengapa dia sering sekali membeli ini=itu, jawab gadis manis ini supaya penampilannya di muka saya dan muka publik tak membosankan. Dasar gadis kota. Mungkin perasaan tidak enak ini disebabkan saya teringat kebaya ibu yang lusuh.Ibu yang tidak memperdulikan penampilannya. Ibu yang selalu berhemat untuk mengirimi saya uang bulanan.
“Ini dia, Yudis!”saya agak tersentak. Buru-buru saya tersenyum. “Bagus nggak?”, suaramu merajuk mirip rayuan. Saya mengangguk.”Tapi mahal sekali” saya mengamati label harga yang menempel di krah baju. Dia tiba-tiba cemberut. “Uangku kan lebih . nga apap-apa mahal juga. Tasya kan juga ingin tampil cantik di depan adik-adik kelas. “Ah, Tasya. Kumat lagu manjamu, sahutku dalam hati. Saya coba menatapnya, mencoba mengerti keinginannya. Tasya yang selalu membuat anak desa ini merasa istimewa. “Warna merah saja ya, dis?”Matanya yang bulat menatap saya “soalnya dress code untuk pot luck partynya kan memang women in red.”
Saya menyetujui saja. Tak ada lagi alasan untuk menolaknya, Tasya memang begitu bila dia melihat pakaian yang menarik. Dan gaun merah cantik berpotongan asimetris itu sudah berpindah tangan. Yang membuatku heran lagi, dia masih menarikku ke toko asesoris untuk mencari pita rambut. Ah, Tasya kau sungguh berbeda jauh dengan ibu.
Di potluck party itu memang tasya tampil menonjol. Sebagai mc dia cukup menarik perhatian pada pesta penyambutan murid-murid baru ini. Bahasa inggrisnya lancar, Tasya memang pacar yang bisa dibanggakan. Hanya sayang borosnya itu nga ketulungan
Naik taksi denganmu, seusai pesta potluck itu membuat saya teringat ibu yang bersandal jepit, berkebaya lusuh, dan segurat wajah alaminya yang tak pernah kenal berdandan, paling dia berbandan saat menikah dulu saja. Ah, saya jadi tersipu-sipu sendiri melihatmu yang belepotan bedak, bibir bergincu, dan aksesori yang menarik dipandang mata.
“Kenapa Yudis, apa make up saya belepotan?”, tanyanya ketika melihat saya tersipu-sipu saat memandangnya. “Tidak, saya hanya teringat ibu” “Oh, gitu ya.. ceritakan padaku ibu orangnya seperti apa? Kan aku perlu mengenal calon mertuaku, ha…”kata Tasya sambil tertawa..
Saya memandang keluar, tampak ibu penjual sayur berkebaya lusuh.” Lihat itu, Tasya, wanita seperti itulah ibu. Wanita perkasa yang rajin bekerja dan tidak pernah peduli dengan penampilannya”. “Wah, kamu menyindirku, Yudis”, sahutnya responsive. “Tidak, aku hanya menjawab pertanyaanmu”.. Saya menarik napas dalam-dalam. Bagaimana kuucapkan keinginanku biar kamu sedikit berhemat, teriakku dalam hati. “Sepertinya kamu ingin gadismu ini meniru sikap ibumu yang tidak terlalu memperdulikan penampilan Yudis, jelas saja tidak bisa . sekarang jaman modern, bukan lagi jaman nenek-nenek kita masih jadi gadis remaja.Kita harus tampil bagus agar diterima di pergaulan., debat tasya sengit. Kalau sudah begini, keahliannya berdebat muncul.”Tasya, jangan salah mengerti dong, saya hanya ingin kamu berhemat sedikit… saja”. “Tapi itu kan juga uang hasilku memberi pelajaran inggris pada anak-anak sd”. “Ya, aku tahu, itu uangmu, Karena saya sangat menyayangi kamu, saya mengajarkan kesederhanaan ini padamu. Kita mesti belajar hidup sederhana. Belajar gemi, belajar menabung sejak dini. Sehingga kita siap untuk keadaan darurat, kata saya tenang. Lalu sepi…
“Memang hak kamu untuk bersenang-senang dengan hasil kerjamu, tapi kan tidak setiap minggu kamu harus belanja baju baru. Uang itu bisa ditabung atau untuk beli emas”. Tasya terdiam. Lalu taksi itu berhenti dan tasya turun tanpa kata kata.
Aku pun terdiam.Akhirnya apa yang kupendam selama ini keluar juaga. Aku tahu Tasya akan merenungkan kata-kataku ini. Seminggu sudah Tasya mendiamkanku.lalu segalanya berlangsung seperti biasa. Tanpa pertengkaran, saya tidak ingin menyinggungnya tentang pelajaran kesederhanaan yang kuberikan padanya di taksi itu.
Lalu suatu sore Tasya main ke kostku. Rambut panjangnya tergerai indah, menyisakan kelembutan shampoo di hidungku. Heran kali ini Tasya tidak memakai make-up dan bajunya amat sederhana. “Hoi… ada angin apa nih, gadisku yang biasanya centil berubah jadi sederhana begini?”, tanyaku heran.”Ah, Yudis, bukankah kamu mengajariku tentang sederhana. Ayo temani aku ke galleria mall. “Belanja baju lagi nih , ejekku. “Tentu saya ada baju pink yang bagus banget, ada diskon lagi”, sahutnya manja. Aku merengut. “Ah, Yudis baju itu bukan untukku, tapi utuk ibumu, wanita perkasa yang mengajariku tentang kesederhanaan”. “Aku terbelalak kaget, tak menyangka dia mau membelikan baju untuk ibu saya. Jangan kaget Yudis, aku masih Tasya yang dulu kok, bukan orang lain.karena ini udulnya menghemat maka baju untuk ibumu kita urunan ya, sahutnya lagi riang.”Apa yang mendorongmu berubah, Tasya?”” Ya, saya sadar Yudis, kehidupan tidak bisa selalu mulus, apalagi orangtua Tasya jauh di Jakarta, tasya harus menabung untuk keperluan mendesak, sahutnya bijaksana. Setelah itu kita menabung sama-sama ya Yudis, Hari ini tanggal 12, tanggal biasanya lamu menabung kan?” tanyanya riang.Aku mengangguk.Aku tak perlu berkata-kata lagi. Gadisku itu sudah tahu apa yang perlu dia lakukan. Kami melangkah bersama, terasa ringan dan bahagia Tasya pun biasanya menolak berjalan kaki dengan alasan capek malah menawarkan untuk berjalan kaki. Kutatap langit biru. Masih ada mentari, masih ada kesempatan berbenah diri, pada dua anak manusia yang mencoba saling mencintai dan mengingatkan.
NATASYA dan IBU
Yang terpenting dalam sebuah hubungan adalah mencari sebuah tempat yang tepat , tidak ada yang disembunyikan, dan disana anda dapat saling mengenal jenifer aniston
Ada dua orang wanita yang sangat kucintai dalam hidupku. Ibuku dan Natasya. Satunya wanita yang melahirkan saya, satunya lagi gadis manis yang menyertai hari-hari saya di kota yang baru ini. Namun mereka berdua sangatlah berbeda bagai langit dan bumi, paling tidak dalam hal kesederhanaan dan kehematan.. Inilah sebagian kisah itu.
Tadi pagi, saya mengantar ibu ke stasiun Tugu. Ibu mau pulang kampung di Banyumas sana, setelah seminggu berada di Yogya ini. Ibu sudah semakin tua dan semakin hitam dibandingkan tahun lalu, itu karena ibu seharian bekerja di sawah. Itu yang menjadikan ibu berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Ibuku bukan orang yang pergi ke salon, ikut arisan ini-itu, atau yang pekerjaannya melihat acara gossip di televisi. Ibu saya wong ndesa, yang kerjaannya hanya ke sawah dan mengurus adik-adik saya,
Kemarin waktu ibu datang pertama kali ke kost saya, ada teman yang meledek. “Yudis, ada tukang sayur mencarimu”, kata Bony teman saya yang dari Jakarta. Ketika saya melangkah ke kamar kost, tampak seorang ibu membawa keranjang berisi beras. “OH, Ibu datang tidak memberitahu kan bisa saya jemput ke stasiun” kataku senang sekaligus kaget.”Tidak usah, nanti ibu menganggu kuliahmu!” Ibu membawa barang-barang hasil kebun, mungkin itu yang membuat ibu disangka Bony tukang sayur.
Selama seminggu ini, ibu banyak menasihati saya . Beliau banyak mengingatkan saya untuk berdoa, ngaji, rajin belajar, bergaul yang benar, pacaran jangan macam-macam. Ibuku pun kuperkenalkan pada Natasya. Ketika dua wanita berbeda generasi dan lingkungan bertemu, ada kelucuan di sana. Natasya yang bercelana jins dan berkaus kutung, maklum orang kota, bertemu dengan ibu yang berkebaya. Ibu hanya terheran-heran melihat Natasya dengan pusernya yang kelihatan. Tapi ibu selalu memandang baik pada orang lain.Dia tak melihat kekurangan Tasya, namu asyik mengagumi cerita tentang kegiatan Tasya yang aktif di gereja, kampus, bahkan sepertiku dia juga memberi les Inggris bagi anak-anak orang kaya itu. Natasya juga heran, masih ada ibu yang datang dari desa membawakan petai untuk putra sulung yang dibanggakannya.
Dan hari ini, ibu akan pulang kampung. Beliau sempat berbicara lagi, menasehati saya di bis kota “Rajin belajar ya. Nak!”saya menganggtuk, menatap ibu dengan haru. Ah, saya tak tahan melihat mata telaganya. Saya ingin sekali memeluknya dengan bangga. Tapi saya sudah besar, sudah duduk di semester tiga. Saya tak boleh melankolis seperti itu.”Ibu selalu berdoa untukmu,”katanya lagi dengan tatapan mata yang teduh. Aku terharu, sambil merasakan tangan ibu yang kasar karena terlalu banyak bekerja di sawah. Tapi wajah ibu selalu cerah dan optimis. Entytahlah ibu selalu nampak begitu di mata saya.
Saya masih menyandarkan tangan ibu pada wajah saya, ketika tiba-tiba kernet bis kota berteriak “Stasiun tugu-stasiun!”Saya terkesiap. Refleks saya angkat tas ibu. Membimbing ibu turun dari bis dan memasuki stasiun dengan selamat. Setelah ibu naik kereta dan pergi. Tiba-tiba saya merasa sepi. Saya kehilangan sosok ibu yang setia menemani hari-hari saya dahulu. Ibu yang tak pernah lelah bekerja untuk keluarganya. Ibu yang sederhana dan lembut.Ia terlalu cepat kembali. Tapi itu mungkin lebih baik, daripada kerjaan sawahnya berantakan. Lagipula, adik saya yang paling kecil mungkin sering menantinya dengan tangis.
Lalu saya menatap stasiun Tugu ini. Saya kembali teringat waktu saya pertama kali datang ke stasiun ini dengan kayakinan besar, meninggalkan kampung halaman, merajut mimpi kuliah di universitas sanata dharma. Teringat cita-cita untuk menjadi guru. Dan mengabdikan ilmu saya di desa lagi.Teringat pula kampung saya yang selalu menyisakan kenangan manis.
Saya tengok jam tangan saya sudah jam 09.30. nanti jam sebelas ada kuliah psikologi pendidikan. Dan sorenya Natasya mengajak saya ke mall, membeli berbagai keperluan. Entah apalagi yang dia beli. Padahal seminggu yang lalu sudah membeli sepatu dan jeans model baru, lalu aksesori. Dan dua hari lalu tshirt warna=-warni dan tas. AH!
Memasuki galleria mall ini, ada kecanggungan yang memasuki benak saya. Biasanya tidak begini persisnya sejak sering menemani Natasya ke mall ini. Bila saya tanya mengapa dia sering sekali membeli ini=itu, jawab gadis manis ini supaya penampilannya di muka saya dan muka publik tak membosankan. Dasar gadis kota. Mungkin perasaan tidak enak ini disebabkan saya teringat kebaya ibu yang lusuh.Ibu yang tidak memperdulikan penampilannya. Ibu yang selalu berhemat untuk mengirimi saya uang bulanan.
“Ini dia, Yudis!”saya agak tersentak. Buru-buru saya tersenyum. “Bagus nggak?”, suaramu merajuk mirip rayuan. Saya mengangguk.”Tapi mahal sekali” saya mengamati label harga yang menempel di krah baju. Dia tiba-tiba cemberut. “Uangku kan lebih . nga apap-apa mahal juga. Tasya kan juga ingin tampil cantik di depan adik-adik kelas. “Ah, Tasya. Kumat lagu manjamu, sahutku dalam hati. Saya coba menatapnya, mencoba mengerti keinginannya. Tasya yang selalu membuat anak desa ini merasa istimewa. “Warna merah saja ya, dis?”Matanya yang bulat menatap saya “soalnya dress code untuk pot luck partynya kan memang women in red.”
Saya menyetujui saja. Tak ada lagi alasan untuk menolaknya, Tasya memang begitu bila dia melihat pakaian yang menarik. Dan gaun merah cantik berpotongan asimetris itu sudah berpindah tangan. Yang membuatku heran lagi, dia masih menarikku ke toko asesoris untuk mencari pita rambut. Ah, Tasya kau sungguh berbeda jauh dengan ibu.
Di potluck party itu memang tasya tampil menonjol. Sebagai mc dia cukup menarik perhatian pada pesta penyambutan murid-murid baru ini. Bahasa inggrisnya lancar, Tasya memang pacar yang bisa dibanggakan. Hanya sayang borosnya itu nga ketulungan
Naik taksi denganmu, seusai pesta potluck itu membuat saya teringat ibu yang bersandal jepit, berkebaya lusuh, dan segurat wajah alaminya yang tak pernah kenal berdandan, paling dia berbandan saat menikah dulu saja. Ah, saya jadi tersipu-sipu sendiri melihatmu yang belepotan bedak, bibir bergincu, dan aksesori yang menarik dipandang mata.
“Kenapa Yudis, apa make up saya belepotan?”, tanyanya ketika melihat saya tersipu-sipu saat memandangnya. “Tidak, saya hanya teringat ibu” “Oh, gitu ya.. ceritakan padaku ibu orangnya seperti apa? Kan aku perlu mengenal calon mertuaku, ha…”kata Tasya sambil tertawa..
Saya memandang keluar, tampak ibu penjual sayur berkebaya lusuh.” Lihat itu, Tasya, wanita seperti itulah ibu. Wanita perkasa yang rajin bekerja dan tidak pernah peduli dengan penampilannya”. “Wah, kamu menyindirku, Yudis”, sahutnya responsive. “Tidak, aku hanya menjawab pertanyaanmu”.. Saya menarik napas dalam-dalam. Bagaimana kuucapkan keinginanku biar kamu sedikit berhemat, teriakku dalam hati. “Sepertinya kamu ingin gadismu ini meniru sikap ibumu yang tidak terlalu memperdulikan penampilan Yudis, jelas saja tidak bisa . sekarang jaman modern, bukan lagi jaman nenek-nenek kita masih jadi gadis remaja.Kita harus tampil bagus agar diterima di pergaulan., debat tasya sengit. Kalau sudah begini, keahliannya berdebat muncul.”Tasya, jangan salah mengerti dong, saya hanya ingin kamu berhemat sedikit… saja”. “Tapi itu kan juga uang hasilku memberi pelajaran inggris pada anak-anak sd”. “Ya, aku tahu, itu uangmu, Karena saya sangat menyayangi kamu, saya mengajarkan kesederhanaan ini padamu. Kita mesti belajar hidup sederhana. Belajar gemi, belajar menabung sejak dini. Sehingga kita siap untuk keadaan darurat, kata saya tenang. Lalu sepi…
“Memang hak kamu untuk bersenang-senang dengan hasil kerjamu, tapi kan tidak setiap minggu kamu harus belanja baju baru. Uang itu bisa ditabung atau untuk beli emas”. Tasya terdiam. Lalu taksi itu berhenti dan tasya turun tanpa kata kata.
Aku pun terdiam.Akhirnya apa yang kupendam selama ini keluar juaga. Aku tahu Tasya akan merenungkan kata-kataku ini. Seminggu sudah Tasya mendiamkanku.lalu segalanya berlangsung seperti biasa. Tanpa pertengkaran, saya tidak ingin menyinggungnya tentang pelajaran kesederhanaan yang kuberikan padanya di taksi itu.
Lalu suatu sore Tasya main ke kostku. Rambut panjangnya tergerai indah, menyisakan kelembutan shampoo di hidungku. Heran kali ini Tasya tidak memakai make-up dan bajunya amat sederhana. “Hoi… ada angin apa nih, gadisku yang biasanya centil berubah jadi sederhana begini?”, tanyaku heran.”Ah, Yudis, bukankah kamu mengajariku tentang sederhana. Ayo temani aku ke galleria mall. “Belanja baju lagi nih , ejekku. “Tentu saya ada baju pink yang bagus banget, ada diskon lagi”, sahutnya manja. Aku merengut. “Ah, Yudis baju itu bukan untukku, tapi utuk ibumu, wanita perkasa yang mengajariku tentang kesederhanaan”. “Aku terbelalak kaget, tak menyangka dia mau membelikan baju untuk ibu saya. Jangan kaget Yudis, aku masih Tasya yang dulu kok, bukan orang lain.karena ini udulnya menghemat maka baju untuk ibumu kita urunan ya, sahutnya lagi riang.”Apa yang mendorongmu berubah, Tasya?”” Ya, saya sadar Yudis, kehidupan tidak bisa selalu mulus, apalagi orangtua Tasya jauh di Jakarta, tasya harus menabung untuk keperluan mendesak, sahutnya bijaksana. Setelah itu kita menabung sama-sama ya Yudis, Hari ini tanggal 12, tanggal biasanya lamu menabung kan?” tanyanya riang.Aku mengangguk.Aku tak perlu berkata-kata lagi. Gadisku itu sudah tahu apa yang perlu dia lakukan. Kami melangkah bersama, terasa ringan dan bahagia Tasya pun biasanya menolak berjalan kaki dengan alasan capek malah menawarkan untuk berjalan kaki. Kutatap langit biru. Masih ada mentari, masih ada kesempatan berbenah diri, pada dua anak manusia yang mencoba saling mencintai dan mengingatkan.
No comments:
Post a Comment