Judul: Kesucian Politik - Agama dan Politik di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penulis: P. Mutiara Andalas, SJ
Penerbit: Libri 2008
Bulan Mei merupakan bulan yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Sejarah yang “cerah” dan sejarah yang “kelam”. Sejarah yang cerah mengimplikasikan suatu momentum historis yang membawa rakyat Indonesia ke suatu paradigma kebangsaan yang baru - sebuah cara pandang bermartabat terhadap nasionnya sendiri. Itulah yang kemudian kita peringati sebagai momentum kebangkitan nasional setiap 20 Mei. Tahun 2008 momentum kebangkitan nasional diperingati dalam kurun 100 tahun (1908-2008).
Namun, bulan Mei juga mencatat sejarah yang kelam. Mei 1998 menjadi sebuah momentum berdarah yang selalu dikenang oleh setiap rakyat Indonesia - kecuali mereka yang ingin sengaja menutupinya atau melupakannya. Sebuah titik balik politik Indonesia yang sebelumnya dibisukan oleh rezim otoriter, yang pecah dalam perlawanan massal mengusung bendera reformasi. Kebisuan sosial berhasil dipecahkan, penguasa digulingkan, tetapi rezim otoriter itu sendiri tak mampu ditaklukkan. Titik balik atau reformasi 1998 pun menagih nyawa sebagai ongkos politiknya. Ribuan nyawa anak bangsa kehilangan raga dalam kesewenang-wenangan amuk massa, ribuan perempuan dirobek-robek batin dan tubuhnya oleh kebengisan syahwat massal, orangtua-orangtua melepas anak-anaknya dalam jasad tak berwujud - hangus dan hilang. Reformasi 1998 berutang nyawa dan darah anak-anak bangsa ini.
Sejarah kelam Mei 1998 sangat menyakitkan. Apalagi menggeliat selama sepuluh tahun [1998-2008] reformasi itu ternyata masih setengah hati. Rakyat boleh berteriak tetapi faktanya hanya untuk mereka dengar sendiri; rakyat boleh mengkritik tetapi untuk kesalahan mereka sendiri; rakyat boleh menuntut tetapi tidak boleh lebih tinggi harganya dari harga BBM dan kebutuhan pokok yang makin mencakar langit; rakyat boleh marah tetapi hanya kepada nasib mereka sendiri. Sementara kaum punggawa tetap bertahta dalam kenyamanan karena reformasi membuka celah-celah memutarbalik hukum untuk bersembunyi dan cuci tangan. Rakyat tetap adalah “kambing-hitam”; rakyat tetap harus menjadi tumbal dan korban dari perubahan; rakyat tetap keset bagi sepatu lars rezim yang masih otoriter - karena itu semua yang berkaitan dengan derita dan keluh rakyat sah-sah saja untuk dilupakan. Rezim otoriter memutuskan untuk berpolitik lupa (amnesia).
Buku ini merupakan suatu refleksi perlawanan korban Mei 1998 terhadap politik lupa yang sedang dan terus-menerus dirayakan oleh rezim dalam kemasan simbolik “reformasi” dan “peradaban bangsa”. Slogan “bersama kita bisa” mengambang dalam tujuan dan visi politik bangsa yang kabur dan berkabut kepentingan. Faktanya, pergantian penguasa negara makin menumpulkan harapan, dan kita gagal menjadi bangsa yang besar karena tidak menghargai rakyatnya sendiri.
Penulis buku ini mencoba menghimpun kembali energi yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa oleh rezim otoriter negeri ini. Paguyuban korban yang setia pada panggilan nurani kemanusiaan bertekad menentang arus kenyamanan hidup agar tidak terseret dan terhempas untuk lupa bahwa orang-orang yang mereka cintai pernah menjadi tumbal sejarah perubahan bangsa ini. Tidak semua mampu bertahan, hanya segelintir yang memilih tetap mementaskan kelaliman; bukan untuk menggulingkan kekuasaan tetapi untuk selalu mengingatkan bahwa ada martabat kemanusiaan yang diperkosa di dalamnya. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Sekali dibiarkan, maka akan menjadi sebuah kebiasaan.
Toh, kesewenang-wenangan kekuasaan bukan hanya sejarah kelam Indonesia. Itu adalah sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia. Sejarah yang juga melahirkan paguyuban korban yang berjuang melawan pelupaan historis. Mutiara Andalas merajut cerita-cerita korban - yang nyaris tak tercatat dalam buku-buku sejarah resmi - dalam suatu dialog imajiner yang membawa kita - orang-orang yang menolak lupa - terhenyak dalam kesadaran yang bisa jadi makin meredup bahwa kita hampir lupa suara-suara korban itu.
Pelekatan “politik” pada judulnya mengundang kita masuk dalam ruang gelap yang kerap membuat kita meraba-raba tak tentu arah. Tetapi jika kita terbiasa di dalam ruang gelap itu mata-nurani kita akan makin terbiasa untuk berjalan dalam gelap dengan senantiasa waspada terhadap lubang yang mungkin berada di jalan setapak yang kita langkahi. Politik bukan sekadar teori. Politik adalah praksis kekuasaan.
Dalam buku ini, Mutiara Andalas menyajikan politik sebagai praksis kekuasaan, yang dalam proses teorisasinya kerap tercecer cerita-cerita korban, cerita-cerita rakyat. Rakyat bukanlah objek politik, meski dalam teori politik rakyat sering dibendakan dalam alur perakitan sistem politik suatu negara. Rakyat adalah subjek politik. Rakyat berpolitik, tetapi dalam caranya sendiri. Rakyat berpolitik dalam kepolosan hidup, bukan dengan ketrampilan berdiplomasi. Rakyat berpolitik karena merekalah energi yang menggerakkan negara, bukan karena sekadar berafiliasi dalam partai politik.
Kalau bagi penguasa, politik adalah seni menguasai dan berkuasa; bagi rakyat, politik adalah hidup untuk bertahan dalam kerentanan. Kalau karena kesalahkaprahan politik telah membawa kita melihat politik sebagai “najis” dan “kotor”, maka sebenarnya buku ini membentangkan kepada kita bahwa politik rakyat - khususnya mereka yang dikorbankan oleh rezim otoriter - adalah suatu meditasi dan praksis kontemplatif untuk menyucikan politik agar tidak “berbohong” dan “melupakan” para korban.
Penulis: P. Mutiara Andalas, SJ
Penerbit: Libri 2008
Bulan Mei merupakan bulan yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Sejarah yang “cerah” dan sejarah yang “kelam”. Sejarah yang cerah mengimplikasikan suatu momentum historis yang membawa rakyat Indonesia ke suatu paradigma kebangsaan yang baru - sebuah cara pandang bermartabat terhadap nasionnya sendiri. Itulah yang kemudian kita peringati sebagai momentum kebangkitan nasional setiap 20 Mei. Tahun 2008 momentum kebangkitan nasional diperingati dalam kurun 100 tahun (1908-2008).
Namun, bulan Mei juga mencatat sejarah yang kelam. Mei 1998 menjadi sebuah momentum berdarah yang selalu dikenang oleh setiap rakyat Indonesia - kecuali mereka yang ingin sengaja menutupinya atau melupakannya. Sebuah titik balik politik Indonesia yang sebelumnya dibisukan oleh rezim otoriter, yang pecah dalam perlawanan massal mengusung bendera reformasi. Kebisuan sosial berhasil dipecahkan, penguasa digulingkan, tetapi rezim otoriter itu sendiri tak mampu ditaklukkan. Titik balik atau reformasi 1998 pun menagih nyawa sebagai ongkos politiknya. Ribuan nyawa anak bangsa kehilangan raga dalam kesewenang-wenangan amuk massa, ribuan perempuan dirobek-robek batin dan tubuhnya oleh kebengisan syahwat massal, orangtua-orangtua melepas anak-anaknya dalam jasad tak berwujud - hangus dan hilang. Reformasi 1998 berutang nyawa dan darah anak-anak bangsa ini.
Sejarah kelam Mei 1998 sangat menyakitkan. Apalagi menggeliat selama sepuluh tahun [1998-2008] reformasi itu ternyata masih setengah hati. Rakyat boleh berteriak tetapi faktanya hanya untuk mereka dengar sendiri; rakyat boleh mengkritik tetapi untuk kesalahan mereka sendiri; rakyat boleh menuntut tetapi tidak boleh lebih tinggi harganya dari harga BBM dan kebutuhan pokok yang makin mencakar langit; rakyat boleh marah tetapi hanya kepada nasib mereka sendiri. Sementara kaum punggawa tetap bertahta dalam kenyamanan karena reformasi membuka celah-celah memutarbalik hukum untuk bersembunyi dan cuci tangan. Rakyat tetap adalah “kambing-hitam”; rakyat tetap harus menjadi tumbal dan korban dari perubahan; rakyat tetap keset bagi sepatu lars rezim yang masih otoriter - karena itu semua yang berkaitan dengan derita dan keluh rakyat sah-sah saja untuk dilupakan. Rezim otoriter memutuskan untuk berpolitik lupa (amnesia).
Buku ini merupakan suatu refleksi perlawanan korban Mei 1998 terhadap politik lupa yang sedang dan terus-menerus dirayakan oleh rezim dalam kemasan simbolik “reformasi” dan “peradaban bangsa”. Slogan “bersama kita bisa” mengambang dalam tujuan dan visi politik bangsa yang kabur dan berkabut kepentingan. Faktanya, pergantian penguasa negara makin menumpulkan harapan, dan kita gagal menjadi bangsa yang besar karena tidak menghargai rakyatnya sendiri.
Penulis buku ini mencoba menghimpun kembali energi yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa oleh rezim otoriter negeri ini. Paguyuban korban yang setia pada panggilan nurani kemanusiaan bertekad menentang arus kenyamanan hidup agar tidak terseret dan terhempas untuk lupa bahwa orang-orang yang mereka cintai pernah menjadi tumbal sejarah perubahan bangsa ini. Tidak semua mampu bertahan, hanya segelintir yang memilih tetap mementaskan kelaliman; bukan untuk menggulingkan kekuasaan tetapi untuk selalu mengingatkan bahwa ada martabat kemanusiaan yang diperkosa di dalamnya. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Sekali dibiarkan, maka akan menjadi sebuah kebiasaan.
Toh, kesewenang-wenangan kekuasaan bukan hanya sejarah kelam Indonesia. Itu adalah sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia. Sejarah yang juga melahirkan paguyuban korban yang berjuang melawan pelupaan historis. Mutiara Andalas merajut cerita-cerita korban - yang nyaris tak tercatat dalam buku-buku sejarah resmi - dalam suatu dialog imajiner yang membawa kita - orang-orang yang menolak lupa - terhenyak dalam kesadaran yang bisa jadi makin meredup bahwa kita hampir lupa suara-suara korban itu.
Pelekatan “politik” pada judulnya mengundang kita masuk dalam ruang gelap yang kerap membuat kita meraba-raba tak tentu arah. Tetapi jika kita terbiasa di dalam ruang gelap itu mata-nurani kita akan makin terbiasa untuk berjalan dalam gelap dengan senantiasa waspada terhadap lubang yang mungkin berada di jalan setapak yang kita langkahi. Politik bukan sekadar teori. Politik adalah praksis kekuasaan.
Dalam buku ini, Mutiara Andalas menyajikan politik sebagai praksis kekuasaan, yang dalam proses teorisasinya kerap tercecer cerita-cerita korban, cerita-cerita rakyat. Rakyat bukanlah objek politik, meski dalam teori politik rakyat sering dibendakan dalam alur perakitan sistem politik suatu negara. Rakyat adalah subjek politik. Rakyat berpolitik, tetapi dalam caranya sendiri. Rakyat berpolitik dalam kepolosan hidup, bukan dengan ketrampilan berdiplomasi. Rakyat berpolitik karena merekalah energi yang menggerakkan negara, bukan karena sekadar berafiliasi dalam partai politik.
Kalau bagi penguasa, politik adalah seni menguasai dan berkuasa; bagi rakyat, politik adalah hidup untuk bertahan dalam kerentanan. Kalau karena kesalahkaprahan politik telah membawa kita melihat politik sebagai “najis” dan “kotor”, maka sebenarnya buku ini membentangkan kepada kita bahwa politik rakyat - khususnya mereka yang dikorbankan oleh rezim otoriter - adalah suatu meditasi dan praksis kontemplatif untuk menyucikan politik agar tidak “berbohong” dan “melupakan” para korban.
No comments:
Post a Comment