Siang tadi saya berteduh di halte bus. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Di sebelah saya duduk seorang perempuan Afrika Amerika yang nampak sibuk bicara dengan teman di telponnya. Lama kelamaan suara perempuan itu bertambah tinggi disertai sumpah serapah. Orang-orang yang lewat di depan halte bus itu hampir semua menoleh dan kemudian menggeleng-gelengkah kepala. Sumpah serapahnya tak mengenal tanda titik.
Sejenak ia menoleh ke belakang dan melihat seorang laki-laki seusianya sedang berbincang dengan seorang perempuan yang membopong bayi. Perempuan itu spontan menarik krah laki-laki itu dan mencecarnya habis-habisan.
"Kamu ini emang siapa? Kamu nggak punya hak menyentuh anakku. Jangan sok akrab dech. Pasti ada maunya kamu pura-pura akrab dengan anakku!"
Laki-laki itu menanggapi kemarahan perempuan itu dengan sangat tenang.
"Saya minta maaf kalau tindakan saya mengagumi bayi yang ternyata puteri anda ini sama sakali tidak berkenan. Maafkan saya."
Perempuan itu seolah tak mendengar permohonan maafnya. Matanya mendakwa laki-laki itu dan rentetan umpatan keluar tanpa henti dari bibirnya.
"Sekali lagi maafkan kelancangan saya," mohon laki-laki itu.
Seorang perempuan yang tadinya diam saja di samping saya, berbisik kepada saya.
"Suaminya meninggalkan perempuan itu saat perempuan itu mengandung bayi kembarnya. Ia jatuh ke dua titik ekstrem: membenci atau mengingini mati-matian laki-laki."
"Suit-suit!" Perempuan yang hampir tak berhenti mengumpat itu memberi siulan nakal pada seorang laki-laki tampan yang lewat di seberang jalan.
Sejenak ia menoleh ke belakang dan melihat seorang laki-laki seusianya sedang berbincang dengan seorang perempuan yang membopong bayi. Perempuan itu spontan menarik krah laki-laki itu dan mencecarnya habis-habisan.
"Kamu ini emang siapa? Kamu nggak punya hak menyentuh anakku. Jangan sok akrab dech. Pasti ada maunya kamu pura-pura akrab dengan anakku!"
Laki-laki itu menanggapi kemarahan perempuan itu dengan sangat tenang.
"Saya minta maaf kalau tindakan saya mengagumi bayi yang ternyata puteri anda ini sama sakali tidak berkenan. Maafkan saya."
Perempuan itu seolah tak mendengar permohonan maafnya. Matanya mendakwa laki-laki itu dan rentetan umpatan keluar tanpa henti dari bibirnya.
"Sekali lagi maafkan kelancangan saya," mohon laki-laki itu.
Seorang perempuan yang tadinya diam saja di samping saya, berbisik kepada saya.
"Suaminya meninggalkan perempuan itu saat perempuan itu mengandung bayi kembarnya. Ia jatuh ke dua titik ekstrem: membenci atau mengingini mati-matian laki-laki."
"Suit-suit!" Perempuan yang hampir tak berhenti mengumpat itu memberi siulan nakal pada seorang laki-laki tampan yang lewat di seberang jalan.
No comments:
Post a Comment