Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sahabat lama yang merantau di negeri seberang. Dalam perjumpaan terakhir, ia berkisah tentang karir kerjanya yang menanjak.
"Saya mulai kerja di restoran dan sekarang sudah menjadi manajer sebuah bank internasional."
Kami janjian untuk berjumpa di tempat kerja siang itu. Dengan berbekal alamat di tangan, taksi menuju tempat kerja. Saya sempat ragu-ragu karena taksi berhenti di tempat asing.
"Benar ini alamat yang dituju?" tanya saya ragu.
"Benar saudara," kata sopir taksi sambil mencocokkan alamat dengan nomor bangunan.
Dengan ragu-ragu saya memasuki bangunan mungil itu. Saya mendengar langkah-langkah mendekat dan wajah sahabat saya muncul.
"Kamu?" kata saya gelagapan.
"Ya," jawabnya pendek sambil mempertontonkan pakaian kerjanya.
"Silakan duduk. Kamu mau makan dan minum apa?" katanya sambil menunjukkan daftar menu makanan.
Sambil menyantap makanan, saya memulai pembicaraan.
"Engkau kembali ke pekerjaan semula?"
"Aku dulu mengira saat jabatanku tinggi kedamaian juga akan mengikuti. Dua tahun terakhir ini aku mencoba memperbaiki relasi kerjaku dengan atasan. Namun kami menemukan terlalu banyak ketidakcocokan. Tenagaku habis hanya untuk menata hatiku agar tidak emosional."
"Bagaimana dengan gaji?"
"Aku ingin kedamaian dalam hidup. Aku memilih pekerjaan tangan begini karena ia memberiku kedamaian setiap saat," katanya dengan ekspresi wajah berbinar-binar.
"Saya mulai kerja di restoran dan sekarang sudah menjadi manajer sebuah bank internasional."
Kami janjian untuk berjumpa di tempat kerja siang itu. Dengan berbekal alamat di tangan, taksi menuju tempat kerja. Saya sempat ragu-ragu karena taksi berhenti di tempat asing.
"Benar ini alamat yang dituju?" tanya saya ragu.
"Benar saudara," kata sopir taksi sambil mencocokkan alamat dengan nomor bangunan.
Dengan ragu-ragu saya memasuki bangunan mungil itu. Saya mendengar langkah-langkah mendekat dan wajah sahabat saya muncul.
"Kamu?" kata saya gelagapan.
"Ya," jawabnya pendek sambil mempertontonkan pakaian kerjanya.
"Silakan duduk. Kamu mau makan dan minum apa?" katanya sambil menunjukkan daftar menu makanan.
Sambil menyantap makanan, saya memulai pembicaraan.
"Engkau kembali ke pekerjaan semula?"
"Aku dulu mengira saat jabatanku tinggi kedamaian juga akan mengikuti. Dua tahun terakhir ini aku mencoba memperbaiki relasi kerjaku dengan atasan. Namun kami menemukan terlalu banyak ketidakcocokan. Tenagaku habis hanya untuk menata hatiku agar tidak emosional."
"Bagaimana dengan gaji?"
"Aku ingin kedamaian dalam hidup. Aku memilih pekerjaan tangan begini karena ia memberiku kedamaian setiap saat," katanya dengan ekspresi wajah berbinar-binar.
No comments:
Post a Comment