Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, September 10, 2008

Kata Pengantar Buku Teologi Perempuan Asia Perspektif Pro-Feminis

Ratapan kepada Allah

Teologi perempuan Asia merupakan seruan, permohonan, dan ratapan kepada Tuhan. Ia lebih terpahat dalam hati banyak perempuan yang didera penderitaan, namun senantiasa memiliki nyala harapan, daripada ditulis dengan pena di atas kertas.

Pembaca barangkali terhenyak karena saya mendekati isu perempuan-kemanusiaan dari bidang teologi yang masih terdengar asing bagi sebagian telinga masyarakat. Saya menanggapi keheranan awal pembaca justru dari keterkejutan saat membaca buku Eyes of the Heart (2000) karya Jean-Bertrand Aristide. Mantan presiden Haiti dan penggiat kemanusiaan orang miskin di Haiti dan di dunia ini menanggapi pertanyaan kemanusiaan secara teologis.

Kita melihat dengan hati pribadi-pribadi di hadapan kita. Kita tidak dapat memandang Allah, namun dapat melihat anak-anak, perempuan, dan laki-laki. Kita mengenal Allah melalui pribadi-pribadi ini. Perjuangan kasih-keadilan mensyaratkan keterpautan kita dengan keillahian. Sebagian barangkali menyebutnya iman, teologi, ataunilai, prinsip, kasih, keadilan. Orang miskin menyampaikan pelajaran kehidupan berharga bahwa tanpa keillahian atau sebutan-sebutan lainnya kehidupan mereka telah mengalami kematian dini.

Hasrat senada berkuncup di kalangan teolog. Robert Banks dalam Redeeming the Routines (1993) mengajak teolog untuk mendengarkan kisah kehidupan sehari-hari dan menebus rutinitas kehidupan pribadi-pribadi tersebut. Ia memandang teologi sekular dan teologi politik sebagai usaha-usaha rintisan pada tahun 1960-an untuk menebus rutinitas kehidupan sehari-hari. Penerjemahan pesan-pesan kristiani dalam istilah-istilah non-kristiani bahkan non-agama akhirnya mengubah arah teologi sekular menjadi etika. Teologi politik berusaha memberi lebih peduli pada pengaruh struktur-struktur sosial dan politik, dan menekankan dimensi politik dari Injil. Usaha untuk menebus rutinitas kehidupan sehari-hari ini melahirkan teologi kontekstual, teologi lokal, teologi praktis, teologi awam dan teologi pembebasan.

Kata teologi menunjuk pada suatu usaha dari pihak pribadi kristiani untuk berpikir tentang kepercayaan mereka dan menyusunnya secara sistematis dengan maksud untuk mendekatkan diri mereka dengan Allah dan lebih merefleksikan karakter Allah dalam kehidupan mereka. Saya kadang-kadang menyebut berpikir secara kristiani, mengembangkan perspektif kristiani, meraih pemahaman kristiani, dan menebus aspek-aspek rutin kehidupan sebagai sinonim dari teologi.

Pembaca mungkin juga akan mengernyitkan dahi karena penulis pada halaman-halaman pembuka sudah menyodori pembaca dengan kata teologi. Menyitir Robert Banks, kata teologi begitu ditangkap mata pembaca di rak pajangan toko buku ibarat ciuman kematian. Percakapan dengan orang lain terputus seketika begitu ia memperkenalkan diri sebagai teolog. Tanggapan sebaliknya terjadi pada mahasiswa teologi atau teolog. Kata teologi langsung menarik perhatian mereka. Saya berusaha mendamaikan keragaman publik masyarakat, akademisi, dan komunitas agama yang menjadi target pembaca buku ini.

Penulis menyusun buku ini dengan maksud sangat bersahaja, yaitu perkenalan awal dengan teologi perempuan Asia dengan beberapa tokohnya. Saya membayangkan teologi perempuan Asia sebagai pohon rindang dengan banyak cabang. Perkenalan terhadapnya berarti mengisahkan pohon tersebut sebagai keseluruhan tanpa harus jatuh pada kedangkalan karena berbicara sekedar di permukaan. Pada saat yang sama, kita menghindari bicara tentang dahan-dahan kecil sehingga melupakan keseluruhan pohon. Buku ini berusaha mempertahankan dialektika pohon-dahan dalam mengupas teolog perempuan Asia.

Sebagian pembaca mungkin mempertanyakan kebaruan gagasan buku dibandingkan buku-buku atau tulisan-tulisan yang telah tersebar mengenai teologi perempuan Asia. Buku Struggle to be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology (1994) oleh teolog perempuan Chung Hyun Kyung dari Korea Selatan merupakan karya rintisan mengenai tema ini. Karya-karya lain menyusul bahkan oleh teolog non-Asia yang berhasrat menduduk mereka dalam lingkaran akademik teologi global. Meskipun kuantitas dan kualitas karya teologi perempuan Asia mengalami peningkatan signifikan, penulis masih melihat celah yang memberi kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadapnya. Penulis masih melihat sedikitnya karya dari teolog laki-laki Asia yang mengupas teologi perempuan Asia. Buku ini memiliki arti penting karena hendak menimbun lubang akademik ini.

Keistimewaan lain buku ini terletak dalam konteks yang dibayangkan penulisnya. Saya mengupas gagasan-gagasan teolog perempuan Asia dengan harapan untuk mengembangkan teologi (perempuan) Indonesia. Saya menjauhkan diri dari ambisi untuk menali, apalagi mengikat pemikiran teolog perempuan Asia. Saya juga menahan diri dari ambisi untuk mengupas gagasan teologis-kemanusiaan mereka secara tuntas. Buku ini lebih merupakan perkenalan awal terhadap satu gagasan menarik dari masing-masing teolog perempuan Asia yang relevan untuk konteks Indonesia. Saya, misalnya, mengangkat Marianne Katoppo sebagai ibu teologi naratif yang membidani lahirnya identitas baru teolog sebagai penyair Allah. Saya juga akan memperkenalkan Kwok Pui-Lan sebagai penggiat teologi perempuan Asia poskolonial.

Saya menulis teologi perempuan Asia dari perspektif pro-feminis. Teologi perempuan Asia lahir dari rahim perempuan yang berjuang bersama para saudara laki-lakinya untuk pembebasan perempuan-manusia Asia. Ia menghargai sekaligus mengajukan kritik atas karya-karya teologis yang dikerjakan saudara laki-lakinya di Asia. Ia menghargai sumbangan para saudara laki-lakinya dalam pencarian perempuan untuk merumuskan teologi perempuan Asia. Saya menyusun buku ini dari perspektif teolog pro-feminis katolik Indonesia. Identitas 'pro-feminis katolik Indonesia' merupakan tanda pengenal penulis di depan publik akademik, masyarakat, dan komunitas agama.

Untuk membantu pembaca mengikuti alur pemikiran penulis, buku ini memiliki struktur sebagai berikut. Bab 1 mengisahkan pengakuan terbuka penulis dalam perjumpaan dengan feminisme dan teologi perempuan Asia. berjumpa dengan feminisme dan teologi perempuan Asia. Bab 2 melukis ulang Asia sebagai konteks berteologi bagi para teolog perempuan Asia. Selain mengajak pembaca untuk memahami lahirnya tulisan para teolog perempuan, penulis mengundang untuk menanggapi fenomena globalisasi dengan tantangan-tantangan kemanusiaan yang menyertainya. Bab 3 menampilkan teolog perempuan Marianne Katoppo yang melukis ulang identitas teolog sebagai penyair Allah. Bab 4 membahas metode berteologi perempuan Asia. Bab 5 mengetengahkan beberapa gagasan teologi perempuan di beberapa negara Asia. Bab 6 merupakan refleksi diri para teolog perempuan Asia. Bab 7 menutup buku dengan teologi politik perempuan di negara kriminal dari perspektif pro-feminis.



No comments: