
Menemukan Tuhan dalam Wajah Korban
Judul : Kesucian Politik: Agama dan Politik di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penulis : Patrisius Mutiara Andalas, S.J.
Penerbit : Libri Jakarta 2008
Tebal : 254 halaman
Tragedi Mei 1998 meninggalkan tubuh korban yang rusak. Wajah beberapa korban hampir tak dikenali lagi. Tragedi itu meninggalkan luka dan penderitaan. Peristiwa yang memberikan jejak pelucutan atas kemanusiaan. Melihat korban yang mengerikan itu, mengingatkan kita pada sosok Pontius
Menolak Lupa
Mei 1998 adalah sejarah berdarah yang seharusnya selalu dikenang rakyat
Penulis buku ini mencoba menghimpun kembali daya yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa. Pastor Patrisius Mutiara Andalas SJ pernah mendampingi Paguyuban keluarga Korban Mei-Semanggi. Paguyuban ini terus setia dalam panggilan nurani kemanusiaan. Mereka berjuang bagi orang-orang yang mereka cintai. Mereka terus melawan pelupaan pada korban sejarah perubahan bangsa ini. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, namun untuk mengingatkan bahwa martabat kemanusiaan pernah dilecehkan di negara ini.
Merangkul Korban
Kesewenang kekuasaan tidak hanya terjadi di
Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, menolak berbicara mengenai Tuhan saat mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir, komunitas agama akan memberi kiat agar para korban melarikan diri pada Tuhan dan melupakan semua. Namun, Wiesel mengundang komunitas agama sebagai saksi kemanusiaan, agar ikut menghentikan atau menahan laju pelupaan pada korban.
Sementara Jon Sobrino mengusulkan agar bela rasa menjadi paradigma baru bagi komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan. Bela rasa muncul dari rahim perjumpaan dengan penderitaan korban. Agama membuka diri untuk disentuh korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dan mendorong komunitas agama menjadi pelaku dalam membangun dunia yang lebih humanis.
Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas agama keluar dari altar menuju pelataran. Menjumpai Tuhan dalam diri korban. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban. Seperti teks Kitab Suci yang mengundang komunitas beriman agar berani memanggul salib bersama Yesus yang juga telah menjadi korban.
Namun, komunitas agama seringkali mencerabut persoalan ini dari wilayah agama, karena menganggap sebagai aktivitas politik. Kecerobohan komunitas agama ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Komunitas agama perlu kembali kepada habitat sosialnya, yakni menjadi pelaku politik. Komunitas agama perlu merangkul korban dan mendampingi perjuangan kemanusiaan mereka, untuk mengetuk nurani bangsa Indonesia.
Tragedi Mei 1998 telah berlalu sepuluh tahun lalu. Paguyuban keluarga korban masih terus berjuang demi keadilan dan humanisasi di Indonesia. Tragedi Mei 1998 seharusnya membangunkan kesadaran komunitas agama, bahwa perilaku negara dapat berubah. Dari pengayom dan pelindung warga, menjadi pelaku pembiaran, kekerasan, dan diskriminasi. Stigma negara terhadap korban telah menghancurkan jembatan solidaritas dengan korban.
Peresensi: Y. Prayoga
Resensi dimuat dalam Majalah HIDUP 24 Agustus 2008
Diketik ulang oleh P. Mutiara Andalas, S.J.
No comments:
Post a Comment