
Cermin Kehidupan
Seorang mahasiswi mengejar saya di lorong kampus. Begitu tahu saya menghentikan langkah untuknya, ia sejenak mengeluarkan cermin kecil untuk memoles kembali bibirnya dan membetulkan dandanan wajahnya. Sylvia tersipu-sipu mendapati saya memperhatikannya.
Kami mengambil tempat duduk di pendopo universitas yang letaknya di lantai dua sehingga dapat melihat beragam aktivitas mahasiswa.
“Apakah Allah menciptakan sebagian manusia secara lebih dibandingkan dengan manusia yang lain?”
Ia kemudian mengeluarkan buku catatan dan penanya siap menyalin ucapan bibir saya.
“Bulan depan mahasiswa-mahasiswi akan bekerja sebagai sukarelawan-sukarelawi di panti asuhan bagi penderita cacat. Sylvia berminat?”
Lebih dari sebulan kemudian saya mengunjungi mahasiswa-mahasiswi di panti asuhan. Sylvia berlari-lari kecil menyongsong saya. Ia menggandeng seorang pasien penderita tuna ganda.
Ia lalu menggandeng tangan saya untuk masuk ruangan pasien tempat ia menjadi sukarelawati.
“Mengapa pasien di sini justru memiliki kegembiraan dalam hidup?” kata Sylvia membaca buku catatan hariannya.
“Cacat fisik bukan alasan untuk menyumpahi hidup. Kata seorang penderita cacat, Tuhan mengaruniakan hidup dan itu kado kehidupan yang tiada tara. Mereka di sini menjadi cermin kehidupan saya.”
No comments:
Post a Comment