
Buku Ratapan Perempuan, Air Mata Allah menggugat rezim kekuasaan, baik politik, ekonomi, budaya, agama, dan akademik, yang menggagahi kemanusiaan perempuan. Penulisnya bahkan menggugat para feminis yang mendaku memperjuangkan kemanusiaan perempuan. Ia menyentak para teolog feminis dengan menyingkapkan fakta bahwa sebagian feminis ternyata bersekutu dengan rezim kekuasaan yang mengurbankan perempuan di mezbah illah-illah kematian. Ia mengundang perempuan Asia, baik penyair, pekerja seks, lesbian, dan korban kekerasan militer-negara, pekerja perempuan yang tergerus langsung oleh globalisasi, hingga akademisi poskolonial, untuk mengisahkan penderitaan mereka, dan mengundang teolog perempuan Asia untuk menulis ulang teologi.
Ratapan perempuan kepada Allah
Pada sebuah akhir pekan seorang sahabat perempuan yang bekerja di lembaga swadaya perempuan menawari saya untuk menengok komunitas dampingannya. Kami memarkir sepeda motor di kawasan stasiun Tugu Jogjakarta. Ia lalu mengajak saya untuk masuk ke stasiun dan menyusuri rel kereta api. Saya terhenyak melihat hiruk pikuk kehidupan malam sepanjang rel kereta api. Hanya beberapa langkah saya menjumpai puluhan wanita adam yang menawarkan jasa seks kilat kepada pengunjung yang melewati rel kereta api. Beberapa langkah kemudian saya menemukan puluhan perempuan lansia yang menjajakan makanan sederhana, jasa pijat, dan jasa seks.
“Aktivitas seksual seringkali berlangsung di semak-semak dengan alas plastik,“ kata sahabat saya. Beberapa langkah kemudian saya berjumpa dengan perempuan berusia lebih muda. Sebagian mondar-mandir, duduk di rel, dan duduk di warung remang-remang menunggu calon pengguna jasa mereka.
“Mereka biasanya melakukan aktivitas seks di kamar-kamar sewa murah,” tambah sahabat saya. Kami kemudian melewati jembatan dan hanya menjumpai pekerja seks komersial dalam jumlah sedikit.
“Saya tak pernah membayangkan kehidupan lain berlangsung hanya satu blok dari jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan,” komentar saya masih berliput keheranan.
Sahabat itu kemudian mengajak saya untuk mampir ke salah satu warung yang beralas tikar dan bercahayakan lampu minyak. Setelah memesan mie rebus dan estemeje, ia memohon diri sejenak untuk menjumpai seorang dampingannya. Ia kembali dengan seorang perempuan yang lebih lanjut dari usia sesungguhnya. Ia mengenakan kaos ketat putih dan rok pendek coklat. Wajahnya layu oleh penderitaan.
“Nama saya Yuni,” katanya sambil mengulurkan tangannya kepada saya. Saya lalu minta alamat rumahnya agar keesokan harinya saya dapat berbicara lebih lanjut.
Ia tertunduk dalam saat dai yang memberi renungan Ramadhan menyinggung keberadaan pekerja seks komersial yang hanya bersekat pagar masjid.
“Ia pasti Dai tamu. Bagaimana mungkin seorang agamawan justru menertawakan penderitaan ummahnya? Ia mungkin lupa bahwa kami yang duduk di balik pagar masjid juga mendengarkan pesan rohaninya,” kata bapak lansia yang membantu istrinya berjualan di warung.
“Saya mohon maaf karena hendak mohon diri. Malam ini saya harus mendapatkan uang untuk menebus radio yang menjadi jaminan kepada pemilik kamar sewa. Saya belum melunasi tunggakan sewa kamar bulan ini,”sambil menghabiskan makanan dan minuman pesanan kami untuknya. Kami menyelipkan uang ke dalam genggamannya saat bersalaman.
Berbekal alamat yang diberikannya, hari berikutnya saya berhasil menemukan tempat ia tinggal sehari-hari. Kamarnya hanya menyediakan sedikit ruang selain untuk tidur. Ia meletakkan Al-Qur’an saat mengetahui saat ia melihat kedatangan saya.
“Saya kira Mas hanya basa-basi saja mau berkunjung ke tempat saya. Soalnya banyak yang berjanji mau datang tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Sebagian takut tertular jika bergaul dengan perempuan seperti saya,” tuturnya getir.
“Kamu sedang membaca Qur’an?”
“Saya memang sehari-hari menjajakan diri sebagai pekerja seks komersial. Namun saya tetap pemeluk Islam. Saya keluar rumah setelah menyelesaikan sholat maghrib. Saya sejujurnya capek sekali menjalani hidup seperti ini. Apakah Allah sudi mendengarkan doa seorang perempuan pekerja seks?
8 comments:
Terima kasih Romo, sungguh kisah yg menyentuh.
Allah yg saya kenal mendengarkan doa seorang manusia yg menyadari dosanya, bukan seorang manusia yang merasa dirinya suci.
Terima kasih juga atas komentar positif dan ketersentuhannya pada kisah Yuni. Tiba-tiba kisahnya mampir di benak saya ketika akan membuat kata pengantar untuk proyek terbaru saya, "Ratapan Perempuan, Air Mata Allah".
Romo, kisah Yuni dan tema proyek Romo sungguh pas sekali :)
Semoga Yuni dan saudara-saudari yg lain tidak mencoba mencari wajah Allah dlm diri orang-orang yg merasa dirinya benar dan suci.
Namun, semoga mereka boleh selalu melihat wajah Allah yg sesungguhnya, yg ikut tersenyum dan menangis bersama mereka.
Wah gagasan kamu brilian sekali ya! Memang itu salah satu maksud penulisan buku tersebut. Moga benar-benar kelar pada waktunya.
Doa saya selalu beserta proyek ini, Romo.
Semoga para pembaca buku ini boleh melihat wajah Allah sendiri, sama seperti yang saya rasakan saat bertemu muka dg Romo.
Terima kasih banyak (Pipi berubah menjadi merah jambu).
Jambu klutuk atau jambu mente, Romo? Hehehe...
Hmmmmm masih ada jambu ya? bukannya udah ganti jamba juice!
Post a Comment