Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, October 14, 2008

Menebus Tubuh Homoseksual

Mutiara Andalas, S.J.

Menebus tubuh homoseksual


Suatu kali saya hadir sebagai umat dalam perayaan ekaristi di sebuah Gereja Katolik yang dekat dengan kawasan kampus Universitas California di Berkeley. Karena saya datang agak awal, saya membaca beragam berita yang ditempel di papan pengumuman. Pandangan saya berhenti pada sebuah undangan untuk menghadiri perayaan ekaristi untuk saudara-saudari gay dan lesbian. Saya mengarahkan telunjuk saya pada berita pada seorang sahabat Indonesia yang telah menjadi warga negara Amerika.

“Gereja ini dipandang maju karena sikap pastoral mereka yang menyambut ramah kelompok yang dipinggirkan dalam masyarakat dan bahkan Gereja,” katanya.

“Apakah gereja-gereja di Indonesia juga sudah peka terhadap kehadiran umat kristiani yang gay dan lesbian?”

“Saya sekurang-kurang belum pernah melihat berita terbuka seperti ini.”

“Mungkin kamu yang harus memulainya saat kembali ke Indonesia.”

Pembicaraan terputus oleh undangan dari mahasiswa-mahasiswi yang bertugas sebagai resepsionis Gereja yang mempersilakan kami untuk memasuki gereja.

Sebelum masuk Gereja, sebuah suara lamat-lamat mengeras di telinga saya, “Jika bukan kita, siapa? Jika tidak sekarang, kapan? Jika tidak dari komunitas gay dan lesbian, lalu dari siapa?”

Penulis pada awalnya mendalami tema ini untuk lebih memahami queer theology yang menjadi topik perbincangan hangat di kalangan mereka yang mendalami teologi di Amerika Serikat. Saat berburu suara Asia mengenai tema ini, penulis mengalami kesulitan untuk menemuinya. Orientasi penulis kemudian mengalami perubahan arah. Penulis ingin memahami fenomena homoseksualitas, sikap Gereja Katolik terhadap kaum homoseksual, dan kemungkinan membangun teologi penciptaan baru atasnya. Saya mengikuti anjuran Bernard Haring, C.Ss.R untuk mendekati tema yang masih kontroversial ini dengan “menyintesakan refleksi hati-hati, kejujuran akademik, dan sensitivitas pastoral.” Untuk membantu pembaca mengikuti alur tulisan, penulis mulai dengan kisah perjumpaan dengan kaum homoseksual, sikap Gereja Katolik terhadap homoseksualitas, dan inspirasi teologisnya.

Keluar dari Ruang Gelap

Kalau pulang dari menghadiri perayaan ekaristi malam di Gereja Katedral Jakarta, kita sering berjumpa dengan kaum gay di sekeliling lapangan banteng. Mereka berdiri di sudut-sudut gelap menanti pengguna jasa. Kita kadang-kadang beruntung melihat wajah mereka saat mereka beralih tempat mangkal atau lampu kendaraan di jalan yang sangat terang menyingkap wajah mereka. Suara mereka juga hanya dapat didengar oleh mereka yang berada dekat dengan mereka. Sebagian dari mereka belum menampakkan diri secara terbuka kepada masyarakat.

Penulis bersyukur dapat memiliki pengalaman berjumpa langsung dengan mereka yang memiliki ketertarikan homoseksual dan bahkan memiliki orientasi seksualnya. Saat studi filsafat di Jakarta, saya mendapat kunjungan dari seorang imam katolik yang pernah menjadi pendidik di seminari menengah. Dibesarkan di sebuah kota kecil Karanganyar, homoseksualitas merupakan kosa kata baru. Romo itu akhirnya mendapat penugasan baru karena perilaku homoseksualnya telah mengganggu anak didiknya. Saya sendiri tidak pernah mengalami kehadirannya mengancam secara seksual. Saat berjumpa dengannya, saya sangat prihatin terhadap kondisinya. Ia nampak sangat kelelahan bergumul dengan orientasi homoseksualitasnya. Beberapa waktu setelah kunjungan saya mendapat informasi bahwa ia menjalani perawatan psiko-spiritual intensif untuk menyembuhkan homoseksualitasnya.

Perjumpaan kedua berlangsung saat saya mengampu etika seksualitas kristiani di universitas. Seorang mahasiswa menulis surat mengenai sahabatnya yang memiliki kecenderungan homoseksualitas. Sahabatnya memintanya untuk menjadi teman jalan dengan janji mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Saya membacakan surat itu di depan ruang kuliah dengan izin darinya. Rekan-rekannya satu kelas terhenyak karena sama sekali tidak menyangka bahwa sekurang-kurangnya salah satu diantara teman kuliah mereka memiliki ketertarikan homoseksual.

Perjumpaan lain berlangsung dengan seorang mahasiswa yang menjadi korban relasi homoseksual. Ia mengakui memiliki kecenderungan homoseksual namun belum mengambil keputusan mengenai orientasi seksualitasnya. Ia berkenalan dengan seorang mahasiswa lain yang memiliki orientasi homoseksual dan mereka mulai menjalin relasi seksual sebagai pasangan homoseksual. Ia mengalami kebingungan karena ia merasa sungguh mencintainya. Ia ingin meneruskan relasi homoseksual yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Pasangan homoseksualnya berkehendak mengakhiri relasi homoseksual mereka karena ia segera menerima tahbisan imamat. Ia juga menghendaki pacarnya menutupi orientasi homoseksual dari penglihatan pemimpin tarekat religius dan Gereja. Karena pacarnya menggantung jawaban atas kelanjutan relasi mereka, mahasiswa yang datang kepada saya akhirnya membuka kasus relasi homoseksual mereka kepada pemimpin tarekatnya.

Sebab Fisik dan Psikologis

Studi seksualitas belum memadai dan lengkap jika masih menyingkirkan pertanyaan tentang homoseksualitas. Kita menemukan dua teori yang menjelaskan homoseksualitas sebagai penyakit. Homoseksualitas merupakan dikarenakan karena tak berfungsinya dalam beberapa bagian otak (neurophysiological). Aktivitas homoseksual juga dapat disebagkan oleh ketidakseimbangan hormon laki-laki/perempuan (hormonal). Aktivitas homoseksual dapat disebabkan pula oleh cacat bawaan (genetic). Selain sebab fisik, homoseksualitas juga dapat terjadi karena sebab psikologis. Pengaruh ibu yang dominan dan mengekang dan ayah yang pasif dan absen dapat menyebabkan pribadi menjadi homoseksual.

Kesaksian Kitab Suci

Kita seringkali mengajukan pertanyaan mengenai perkataan kitab suci mengenai homoseksualitas. Kitab suci jarang sekali membicarakan perilaku homoseksual. Kata ‘homoseksualitas’ nihil dalam kitab suci. Kitab suci menampilkan keragaman suara mengenai tema ini. Kita juga hendaknya memperluas jangkauan studi baik pada perkataan maupun alasan perkataan kitab suci mengenai homoseksualitas. Kita perlu melihat pula sumbangan kitab suci sebagai teks klasik kristiani dalam menerangi persoalan kontemporer homoseksualitas. Untuk kepentingan tulisan ini, penulis menggantungkan diri sepenuhnya pada penafsiran biblis dari Richard B. Hays dan Victor Paul Furnish.

Kita biasanya merujuk kisah warga Sodom (Kejadian 19 – 1 – 25) sebagai salah satu teks kitab suci yang berbicara tentang homoseksualitas. Ahli kitab suci berkeberatan dengan klaim biblis ini. Teks ini tidak berbicara mengenai homoseksualitas secara umum dan bukan kisah tentang orang dewasa yang saling menyetujui untuk melakukan tindakan homoseksual. Teks ini bicara mengenai maksud untuk melakukan kekerasan kepada orang asing dan kekerasannya secara insidental berupa perkosaan terhadap dua pengunjung laki-laki dari Lot. Kita juga tidak menemukan referensi biblis kisah ini sebagai kisah perkosaan homoseksualitas dalam teks-teks biblis lain yang merujuk peristiwa Sodom. Dalam kitab Yehezkiel 16,49 kerakusan dan pengabaian terhadap orang miskin menjadi dosa warga Sodom. Allah menjatuhkan hukuman kepada Sodom karena kehilangan keramahtamahan, bukan karena kehilangan kontrol atas perilaku seksualitasnya (Matius 10, 12 – 25). Kerusakan kota menjadi pengingat bagi umat yang membangkang dari Allah (Matius 11, 23 – 24). Tanggapan terhadap perilaku warga Sodom dan Gomora yang melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan di luar kewajaran (Surat Yudas 1, 7) jauh dari memberi rujukan mengenai perilaku homoseksual.

Kitab Imamat (18, 22 dan 20, 13) menempatkan larangan perilaku homoseksualitas dalam rangka menjaga kemurnian dari ancaman polutif. Dalam relasi homoseksual salah salah seorang dari mereka mengambil alih peran perempuan. Ia kehilangan kemurniannya sebagai laki-laki karena menggadaikan seksualitasnya dalam relasi homoseksual.

Kita seringkali salah baca kisah penciptaan. Kita sering menafsirkan Kejadian 1 sebagai justifikasi relasi heteroseksual dan relasi heteroseksual sebagai yang memantulkan citra Allah. Padahal teks ini berbicara tentang tatanan alam dan kondisi manusia dalam ciptaan. Kejadian 2 – 3 sama sekali jauh dari maksud untuk berbicara mengenai perkawinan yang bersifat monogam, hereseksual, dan perjanjian. Teks berbicara tentang ketertarikan seksual laki-laki terhadap perempuan dan kesatuan seksual mereka. Ia juga berbicara tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

Yesus diam terhadap relasi sejenis bukan karena menolak untuk menanggapinya. Ia menanggapi kasus perceraian yang merusak tata ciptaan dan berlawanan dengan kehendak Allah. Ia juga berbicara mengenai orang-orang yang tidak memiliki organ seksual atau cacat organ seksualnya. Hidup sendirian merupakan pilihan memadai bagi pribadi-pribadi demikian. Homoseksualitas bukan perkara dalam komunitas yang meminta tanggapan Yesus pada saat itu (Matius 19, 7 – 12).

St. Paulus menyebut jenis orang yang akan dikecualikan untuk memasuki persaudaraan putera-puteri Allah (the kindom of God). Ia menyebut laki-laki yang berperan pasif dalam relasi sejenis dan terutama laki-laki yang menjual seksualitasnya kepada laki-laki dewasa (1 Korintus 6, 9). Roma 1, 26 – 27 berbicara tentang relasi sejenis, termasuk relasi antarperempuan.


Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.

Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.

No comments: