
Aruna Gnanadason
MAZMUR PEMBEBASAN DAN PEMBEBASAN TEOLOGI
Kekerasan terhadap perempuan merupakan
dosa, kejahatan, dan perkara sosial.
Konferensi Para Uskup Katolik Kanada (1991)
|
Seorang perempuan rupawan suatu kali pulang malam dari tempat kerja. Tanpa sepengetahuannya segerombolan berandal mengikutinya. Saat melewati daerah gelap, berandal menyergapnya, mengambil barang berharga, dan berusaha memperkosanya.
Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri mereka. Ia meronta sambil berteriak sekuat tenaga,
“Tolong! Hansip!”
Setelah berhasil melolosi semua pakaian calon korbannya, mereka bergantian menggagahinya. Setelah beberapa saat, teriakan minta tolong kepada aparat keamanan itu berubah menjadi desahan erotis berulang-ulang.
Humor senada seringkali terlontar dalam saat ngobrol santai. Pendengar biasanya menyambut dengan tawa karena penceritanya mengejutkan mereka dengan perubahan reaksi korban dari menolak ke menikmati perkosaan. Kisah kekerasan terhadap perempuan lain acapkali mendapatkan tanggapan senada. Alih-alih berbela rasa dengan korbannya, sebagian mengabaikannya dengan menolak, menyunting, meremehkan(trivialization) atau memperlakukan kekerasan terhadap perempuan sebagai peristiwa rutinitas sehari-hari (banalization). Aruna Gnanadason memetakan beragam kekerasan terhadap perempuan di Asia dan menilik ulang asumsi-asumsi teologis yang seringkali dipakai untuk membenarkannya.
Tanpa Wajah dan Suara
Saat membaca karya teologis Aruna Gnanadason, penulis merasakan hasrat meluap dalam dirinya untuk menampilkan wajah dan suara penderitaan perempuan di India dan negara-negara Asia lainnya. Penulis bahkan menangkap ungkapan kemarahan dalam kata-katanya. Ia memanfaatkan setiap jengkal kata untuk menampilkan wajah dan suara perempuan yang pembaca jarang sekali mengetahuinya. Penulis mengakui kadang-kadang kehilangan kesabaran untuk mengikuti jalur pemikirannya. Setelah menyelami pemikirannya, penulis baru memahami alasannya. Di mata Gnanadason, perempuan dipaksa tampil dalam sejarah tanpa wajah dan suara selama berabad-abad. Dalam beberapa periode terakhir perempuan Asia menyeruakkan wajah dan suara mereka, dan mendaraskan mazmur pembebasan.
Penulis pada awalnya terkejut karena Aruna Gnanadason memberondong pembacanya dengan rentetan penderitaan perempuan. Gnanadason menulis seperti pribadi yang terserang penyakit masuk angin dan segera mengobatinya dengan memuntahkan isi perutnya.
Perempuan di India mengisahkan penderitaan dan amarah mereka karena diinjak-injak kehidupannya di bawah kaki pemeluk budaya militeristik. Mereka berkisah tentang frustasi hidup di bawah sistem ekonomi yang membebani punggung mereka. Mereka mendapat upah di bawah standar dan timpang dibandingkan saudara laki-laki, harga kebutuhan sehari-hari melonjak, bekerja di atas jam normal dalam situasi kerja yang jauh dari manusiawi. Mereka berbicara tentang kekerasan struktural dalam masyarakat yang menyebabkan pengguguran janin dan pembunuhan bayi perempuan. Posisi mereka lemah dihadapan kekuasaan hukum dan politik. Partisipasi mereka dalam teologi dan pelayanan Gereja rendah. Mereka berbicara tentang transformasi dalam relasi antara perempuan dan laki-laki, gereja, politik, sosial, ekonomi India.
Aruna Gnanadason meraba dalam kegelapan untuk menemukan akar persoalan penderitaan perempuan. Gnanadason mendeteksi lemahnya daya negara miskin dan berkembang untuk keluar dari krisis ekonomi. Perempuan sulit beranjak dari tepian bawah ekonomi kapitalis betapa pun ekonom mengubah-ubah kriteria kemiskinan. Ia mensinyalir sebagian persoalan disebabkan oleh rezim ekonomi Utara yang disokong oleh elit ekonomi Selatan. Saat memiliki daya protes, rakyat berhadapan dengan represi militer. Ia memandang kekerasan struktural sebagai ekspresi dari penetrasi militarisasi dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Institusi politik dan sosial seperti mesin negara, sistem hukum, media, pendidikan dan keluarga merefleksikan pertautan sistem ekonomi yang labil dengan patriarki.
Gnanadason melihat keterbatasan, bahkan dalam beberapa kasus ketiadaan, dokumentasi atas kekerasan terhadap perempuan. Dokumentasi yang tersedia masih berserakan. Meskipun demikian, perempuan menampakkan wajah dan suaranya melawan pembungkaman sejarah. Cacah statistik seringkali masih meminggirkan nilai kehidupan perempuan. Pengalaman perempun membeku dalam dalam data statistik. Ia melihat patriarki sebagai akar kekerasan terhadap perempuan. Perempuan sebagai korban utama dalam krisis ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sayangnya kekerasan patriarkal masih jarang diperhitungkan sebagai kerangka analisis ketidakadilan struktural dalam masyarakat.
Terbuka dan Terselubung
Aruna Gnanadason memilah kekerasan terhadap perempuan menjadi kekerasan terbuka dan terselubung. Kekerasan terhadap perempuan disebut terbuka karena indera statistik dapat menangkapnya meskipun seringkali terbatas rengkuhannya. Kekerasan terhadap perempuan seringkali terselubung karena ia sulit dicacah dengan statistik. Kekerasan terselubung berlangsung pada jutaan perempuan baik secara verbal, mental, maupun fisik. terjadi pada jutaan perempuan. Masyarakat seringkali memandang kekerasan terhadap perempuan sebagai aktivitas normal dan meminta perempuan untuk menghentikan reaksi berlebihan atasnya. Gnanadason mengingatkan bahwa di belakang data statistik maupun kisah tanpa dokumentasi adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ia berbicara berturut-turut mengenai kekerasan domestik, pelecehan seksual, perkosaan, pelacuran, dan pengiriman paket pengantin (mail-bride). Setelah itu, kita akan melihat praktek pembunuhan bayi, perempuan, dan istri di India.
Kekerasan dalam ruang domestik semula tersembunyi, namun kemudian terungkap karena perempuan mengisahkan penderitaan mereka. Statistik kejahatan di ruang publik lebih menarik perhatian daripada di ruang domestik. Sebagian rumah ternyata bukan ruang yang memberikan jaminan keamanan bagi perempuan dan anak. Laki-laki di beberapa masyarakat melakukan kekerasan terhadap istrinya dan menganggapnya sebagai perilaku normal. Jika melakukan perlawanan balik, perempuan mendapat tuduhan mengidap abnormalitas. Sebagian pelaku kekerasan domestik dapat mengontrol diri di luar rumah, dan mencari target aman di dalam rumah.
Pelecehan seksual seakan sudah menjadi bagian integral dan yang harus dialami perempuan dalam dunia kerja. Ia kemudian dipandang sebagai bentuk kekerasan karena penolakan korban untuk menyetujui pelecehan seksual. Sebagian perempuan memilih untuk mendiamkan kasusnya karena protes terhadapnya acapkali berakibat hilangnya pekerjaan atau harga diri dihadapan masyarakat. Mereka melakukan perlawanan dengan membatasi waktu, ruang, dan gerakan mereka sehingga kemungkinan mengalami bahaya pelecehan seksual relatif kecil.
Perkosaan belakangan lebih mendapatkan perhatian dengan insiden perang dan konflik. Ia merupakan serangan fisik dan simbolik agresif yang tumbuh dari relasi kekuasaan timpang yang bertujuan untuk merendahkan dan merusak harkat perempuan. Rezim politik seringkali memakai perkosaan terhadap perempuan sebagai senjata untuk melumpuhkan gerakan perlawanan. Mereka memakai perkosaan terhadap perempuan sebagai pembangkit gairah tentara dalam perang. Masyarakat meremehkan bahkan menolak keseriusannya dengan menyebut perkosaan sebagai peristiwa rutin atau dengan menuduh perempuan menghendaki menjadi target perkosaan. Mereka memandang perkosaan terhadap perempuan sebagai akibat normal dari perang selain kematian dan kerusakan.
Pelacuran, terutama terkait dengan industri pariwisata, menyerang perempuan miskin sebagai target utamanya. Anak-anak bahkan sekarang menjadi target baru dari persetubuhan terlarang antara pelacuran, ekonomi global, dan ekonomi pasar. Perempuan dan anak-anak menjadi komoditas ekonomi negara-negara miskin. Industri seks bergerak cepat pada tingkat internasional dengan mengeruk keuntungan dari posisi lemah perempuan dan anak di negara-negara miskin. Para perempuan dan anak akhirnya menggunakan seksualitasnya sebagai strategi pertahanan terakhir untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka sebagai orang miskin. Perempuan di negara miskin menyeberang ke negara kaya untuk bekerja sebagai pelacur. Turis dari negara kaya juga melancong ke negara miskin untuk wisata seks.
Pengiriman paket pengantin (mail-order brides) belakangan dipandang sebagai kekerasan terhadap perempuan. Para penyalurnya mengiklankan mereka dalam katalog, menjualnya sebagai komoditas, dan menerima mereka kembali jika penggunanya gagal menemukan kepuasaan atas komoditas yang dibelinya. Para perempuan digambarkan sebagai komoditas eksotik yang memenuhi kebutuhan laki-laki di negara maju. Mereka memiliki masa ujicoba terhadap calon pengantin untuk menentukan ke(tidak)cocokan. Kekerasan fisik dan seksual seringkali menyertai kepulangan ke tanah airnya.
Aruna Gnanadason berbicara secara singkat mengenai industri militer, pariwisata, dan media. Dunia Ketiga menjadi tempat uji coba pertama peralatan militer dan tempat pembuangan akhirnya. Tempat peristirahatan dan rekreasi (Rest and Recreation industry) di Asia merupakan fenomena abad 20. Industri media menciutkan perempuan sekedar sebagai obyek erotik-seksual. Gnanadason berbicara sepintas mengenai beragam kekerasan terhadap perempuan lain, seperti penyiksaan seksual terhadap tahanan perempuan, incest, sati, sunat perempuan, pornografi, dan perkosaan dalam perkawinan.
Anshu Malhotra mendeteksi kemiskinan dan harga diri sebagai alasan-alasan utama praktek pembunuhan bayi dan anak perempuan di India. Keluarga mempelai perempuan merasakan desakan dari masyarakat untuk merayakan pernikahan secara besar-besaran. Mereka juga harus memberikan uang pengikat pernikahan kepada keluarga mempelai laki-laki. Untuk menghindari jatuh miskin, sebagian keluarga kemudian membunuh bayi atau anak gadisnya. Sebagian keluarga mengharapkan anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki dengan status yang lebih tinggi darinya (hispergammy). Mereka akan menanggung malu jika anak perempuannya tidak dapat menemukan jodoh. Praktek ini juga menyebabkan surplus anak perempuan dari kalangan kasta atas yang tidak mendapatkan jodoh. Keluarga kemudian mengambil jalan pintas pembunuhan bayi atau anak perempuan untuk menjaga reputasi mereka dalam masyarakat.
Dalam konteks India, kita juga perlu berbicara tentang partisipasi negatif dari beberapa organisasi perempuan Hindu yang melakukan kekerasan terhadap perempuan Muslim. Mereka tidak terobsesi dengan seksualitas dan kesuburan perempuan Hindu, tetapi dengan kesuburan perempuan Islam. Mereka tidak melawan aborsi, kontrol kelahiran atau pembatasan jumlah dan jarak umur anak. Mereka cenderung menyamakan diri dengan partai-partai politik berkaitan seksualitas pra-nikah, perzinahan, dan pernikahan janda. Mereka mendukung praktek sati dengan mencari teks pembenarnya dalam kitab suci, dan mencita-citakan perempuan sebagai istri yang menjalankan kewajibannya terhadap suami. Mereka menolak aborsi karena anak yang gagal lahir kehilangan kemungkinan untuk mengalami pembebasan melalui kelahiran kembali (mokshã). Aborsi merupakan tindakan dosa yang besarnya dua kali lipat dari membunuh seorang brahman. Mereka mendakwa gerakan feminisme di India sebagai gerombolan perempuan kebarat-baratan yang longgar dalam perkara seksualitas.
Gerakan Bersama
Penyingkapan beragam kekerasan terhadap perempuan merupakan penolakan perempuan untuk menerima kekerasan secara pasif. Mereka mengakhiri masa-masa pembungkaman dengan mengangkat kasus mereka dihadapan publik. Kekerasan terhadap perempuan merupakan perkara hak asasi manusia dan perempuan hendaknya berjalan di barisan depan untuk mengalamatkan persoalan ini. Sebagaimana diungkapkan Gabriele Dietrich, feminisme di Asia unik karena persoalan kemiskinan mendahului isu kekerasan terhadap perempuan. Aruna Gnanadason melihat keperluan gerakan perempuan untuk mempertautkan isu mereka dengan gerakan sosial politik. Gerakan perempuan hendaknya menunjukkan bela rasa lebih besar dengan gerakan perdamaian, hak-hak sipil, buruh, suku, dalit, dan rakyat tertindas lainnya.
Gerakan perempuan hendaknya juga mengikutsertakan gereja. Aruna Gnanadason mengakui kelantangan gereja untuk menanggapi persoalan ekonomi, sosial, dan politik. Dalam penglihatannya, gereja masih cenderung bungkam untuk berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan. Gereja masih menempatkan kekerasan terhadap perempuan sebagai perkara pinggiran. Ia menempatkannya sebagai perhatian perempuan di gereja dan belum memandangnya sebagai perhatian komunitas gereja. Gereja perlu mendengarkan ratapan perempuan yang diperkosa dalam perang dan konflik, termasuk perempuan yang menanggung bayi dalam rahimnya (unwanted babies). Ia hendaknya membuka mata terhadap perempuan yang mengalami pelecehan dalam relasi pastoral dan pertemuan ekumenis. Ia perlu pasang telinga terhadap perempuan yang menyelamatkan diri dari rumah neraka (unsafe homes) dan perempuan yang menjual anaknya ke industri pelacuran setelah mereka menjalani pekerjaan tersebut sebelumnya. Gereja hendaknya mendengarkan ratapan mereka dan mendukung gerakan mereka untuk mengatasi penderitaannya.
Tambal Sulam Teologi
Aruna Gnanadason memandang teologi feminis di India sebagai teologi dari perspektif perempuan dalam perjuangan menuju pembebasan. Teologi feminis merupakan tanggapan perempuan kristiani terhadap struktur-struktur yang menindas dalam masyarakat yang merupakan akar gerakan perempuan dalam gereja. Ia merupakan tanggapan perempuan kristiani terhadap dosa sistemik dari patriarki yang merupakan akar dari semua penindasan. Gerakan teologis baru ini muncul bukan karena desakan pembaharuan dalam struktur gereja, melainkan dari gerakan sekular perempuan dalam masyarakat yang mengajukan pertanyaan baru dan menyusun paradigma baru dalam riset dan penafsiran. Perempuan kristiani kemudian melihat ulang imannya. Ia bukan proyek tambal sulam sehingga perempuan dapat menerimanya. Teologi feminis mengajukan perubahan paradigma teologi. Titik berangkatnya adalah perjuangan perempuan untuk pembebasan. Dalam arti ini teologi feminis menjadi teologi pembebasan.
Di mata Aruna Gnanadason, teolog kristiani yang banyak dikerjakan oleh laki-laki belum melihat problem kekerasan terhadap perempuan secara serius. Mereka mendukung perjuangan untuk pembebasan petani, dalit, suku, dan kelompok tertindas lain. Namun mereka masih mengabaikan kekerasan struktural terhadap perempuan, insitusi-institusi patriarkal, dan perilaku negatif terhadap perempuan. Padahal kekerasan terhadap perempuan yang menimpa setengah penduduk India itu dosa. Teolog feminis India berfokus pada kekerasan pada perempuan karena mereka menghendaki kita menyadari keseriusan kasusnya.
Teolog feminis tidak dapat langsung membaca kitab suci untuk pembebasan perempuan. Kitab suci harus dibebaskan terlebih dahulu sebagai teks androsentrik yang ditulis laki-laki dalam konteks patriarkal. Kitab suci sebagai teks androsentrik menampilkan Allah yang bungkam terhadap kekerasan terhadap perempuan. Teolog feminis perlu mendaku kembali kitab suci sebagai sumber teologi yang membebaskan perempuan. Ia ingin membawa semua perempuan dan gereja kepada komunitas baru dan hidup dalam Kristus. Aruna Gnanadason menghormati Gereja berkaitan dengan sakramen perkawinan dan hidup berkeluarga, namun menyayangkan sikapnya yang sering tutup mata terhadap realitas perkawinan. Ia juga menyangkan kelambanannya dalam membongkar kekerasan seksual yang dilakukan pejabat gereja. Perempuan kristiani seringkali kesulitan untuk keluar dari relasi perkawinan yang merusak kehidupannya. Mereka takut menerima tuduhan menghancurkan keluarga. Gereja seringkali lumpuh berhadapan dengan persoalan kekerasan domestik karena menolak untuk melanggar sakramen perkawinan dan cita-cita keluarga kristiani.
Aruna Gnanadason, meminjam istilah Mary Hunt, mensinyalir kecenderungan untuk menyucikan penderitaan (sanctification of suffering). Gnanadason menangkap gereja melakukan identifikasi keliru dengan menghubungkan penderitaan Kristus dengan penderitaan perempuan. Menurutnya, Yesus memilih secara bebas untuk menderita hingga wafat bagi yang lain. Sementara itu, penderitaan perempuan dipaksa untuk menderita bagi yang lain. Penderitaan yang dipaksakan rezim penindas berakibat pada kematian dini perempuan. Kristus menderita di salib untuk kehidupan mereka yang ditebusnya. Gnanadason menolak penafsiran sempit dari teologi korban dan penderitaan karena menempatkan perempuan sebagai kambing hitam. Teologi ini telah diselewengkan untuk meminta perempuan menanggung penderitaan sebagai partisipasi dalam penderitaan Kristus.
Senada dengan Gnanadason, Stella Baltazar mensinyalir kemiskinan teologi tradisional dalam mengalamatkan isu kekerasan terhadap perempuan. Teologi salib dan penderitaan menempatkan Allah sebagai yang mengirimkan penderitaan kepada perempuan demi kesucian mereka. Perempuan harus menanggung penderitaan dan memandangnya sebagai berkat. Mentalitas korban berfokus pada perbaikan pribadi (di masa depan) dan penyucian yang lain. Menurut Baltazar, teologi demikian membungkam perempuan untuk menyuarakan kekerasan domestik yang berlangsung selama berabad-abad. Stella Baltazar menolak model Allah patriarkal. Allah demikian bukan Allah Bapa dan Ibu bagi perempuan. Baltazar merefleksikan sistem sosial-budaya yang tidak adil dari masyarakat patriarkal. Citra Allah menjadi proyeksi citra laki-laki. Pada akhirnya, laki-laki menyandang status Allah.
Gnanadason dan Baltazar memandang gereja kurang terbuka dalam membicarakan seksualitas. Kalaupun dibicarakan, seksualitas sering dipandang sebagai tema yang berlumur dosa. Gnanadason menangkap Gereja mencitrakan perempuan sebagai perawat anak dan penggoda untuk berbuat kejahatan. Asal usul dosa dan kejahatan ditimpakan pada karakter Hawa. Perempuan kemudian menanggung malu dihadapan gereja karena telah berelasi secara seksual sebelum pernikahan. Sebagian perempuan melihat relasi seksual dengan suaminya sebagai kewajiban semata. Mereka merasa dirinya hilang dalam relasi seksual perkawinan. Mereka merasa gereja mempersulit untuk meluluskan permohonan perceraian dari yang dilayangkan pihak istri. Akibatnya mereka harus bertahan hidup dalam rumah yang telah berubah menjadi neraka.
Gnanadason dan Baltazar juga mempertanyakan sikap gereja terhadap aborsi. Baltazar merasa Gereja kurang melibatkan perempuan dalam mendiskusikan perkara aborsi dan kontrasepsi. Perempuan diminta membuat keputusan sendiri dan seringkali terjepit diantara di tengah-tengah kepentingan keluarga, masyarakat, dan Gereja yang seringkali bertentangan satu terhadap yang lain. Menurut Gnanadason, gereja terlalu dini menolak aborsi dalam kasus perkosaan perang, dan mengabaikan masa depan perempuan yang dirusak perkosaan dan anak yang dikandung dari perkosaan brutal.
Gnanadason mengundang gereja untuk melihat ulang konsep mengampuni dan melupakan dosa. Ia merujuk pada kisah Yesus di salib yang mengampuni mereka yang melakukan kekerasan terhadap-Nya. Teks ini seringkali diselewengkan untuk mengekalkan kekerasan terhadap perempuan tanpa proses keadilan bagi pelakunya. Ia mengingatkan gereja terhadap kemungkinan penyalahgunaan pengampunan dan pelupaan dosa untuk mengubur penindasan terhadap perempuan. Gnanadason menolak gagasan pengampunan tanpa keadilan bagi perempuan. Pengampunan tanpa keadilan gagal memperbaiki relasi antara pelaku dan korban kekerasan. Belas kasih, keterbukaan akan kesalahan, ganti rugi, dan janji untuk tidak mengulangi kekerasan menjadi norma pengampunan sejati. Pengampunan berlangsung pada tahap akhir setelah perempuan mendaku kembali kemanusiaannya.
Gnanadason juga menggugat dualisme hirarkis dalam gereja. Ia melihat kekerasan yang terjadi dalam struktur gereja dan kesulitan untuk membongkarnya. Pemimpin dan pelayan hirarkis acapkali menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Mereka kemudian bersembunyi di balik jabatannya untuk melepaskan diri dari tuntutan dari korban. Dalam iklim gereja demikian, perempuan senantiasa berselimut kekhawatiran dan ketakutan. Yesus meruntuhkan dualisme hirarkis dan gereja harapannya juga bertindak demikian. Perempuan menyingkap wajah penuh luka kekerasan dan menyuarakan mazmur pembebasan. Mereka mengundang teolog untuk terlibat dalam pembebasan perempuan dengan membebaskan teologi dari bias ideologi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
No comments:
Post a Comment