
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0510/07/opini/2106175.htm
Barbaritas Kekerasan
Mutiara Andalas
Barbaritas kekerasan kembali meninggalkan jejak kematian di Pulau Dewata. Kekerasan meninggalkan pesan kematian dengan darah kepada seluruh manusia di dunia. Ia akan kembali merenggut hidup korban pada masa depan selama dunia masih mengabaikan korban pada masa lalu dan masa kini.
Di era yang dicemari kekerasan, kita harus mengenang korban. Peradaban dunia yang melupakan korban harus diganti dengan peradaban dunia yang solider dengan hidup korban.
Era pelupaan korban
Elie Wiesel dalam Against Silence (1985) menyatakan, barbaritas kekerasan lahir dari ketidakpedulian sosial terhadap korban. Kekerasan kian menjadi bagian dunia karena dunia tak bergerak saat salah satu anggotanya menjadi target kekerasan. Kekerasan tidak sekadar menyerang tubuh korban, tetapi juga tubuh sosial.
Target kekerasan adalah seluruh manusia. Kini, kita semua mengalami, mungkin menjadi target kekerasan (a possible victim). Sebagai saksi hidup tragedi kemanusiaan Holocaust, ia menggugat sikap umum dunia yang membiarkan pelaku kejahatan menyerang target korbannya. Dengan membiarkan pelaku kekerasan membantai calon korban, dunia sedang membolehkan nasibnya sendiri terancam.
Mayoritas korban kekerasan masa lalu meninggal secara anonim. Mengenang korban berarti memberi nama kepada korban. Mengingat korban juga berarti memberi nama kepada pelaku kekerasan terhadap korban untuk keadilan mereka.
Menyitir Hannah Arendt, tragedi kemanusiaan seperti holocaust terjadi karena pelaku kejahatan berhasil menciptakan atomisasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat dipecah belah, diseparasikan, dan diperlawankan satu sama lain. Mengingat korban berarti menolak tunduk pada kejahatan. Kita menciptakan jejaring solidaritas global untuk melawan kekerasan.
Pesan Wiesel bergema keras saat ledakan bom kembali mengguncang Bali. Bom itu mengguncang seluruh dunia. Dengan mengenang korban, apatisme terhadap korban diganti dengan solidaritas bersama korban. Tetes air mata sebagai ekspresi solidaritas dengan korban akan memberi pesan kepada pelaku kekerasan bahwa korban tidak pernah dilupakan. Barbaritas kekerasan akan dibredel sesegera mungkin dari peradaban kita. Kebencian itu self debasing dan balas dendam itu self defeating. Kebencian dan kekerasan berakhir dengan nihilisme dan anarki.
Apatisme dunia terhadap korban mempermudah pelaku peledakan bom untuk kembali melaksanakan aksi inhumanitasnya. Dengan melupakan korban, tanpa sadar kita telah menjadi kaki tangan pelaku kejahatan. Pelajaran paling vital dari era Holocasut adalah Auschwitz mungkin terjadi karena pelaku kejahatan berhasil menciptakan atomisasi sosial dalam dunia.
Semula pelaku kekerasan membuat langkah kejahatan dan menunggu reaksi kita. Ketika dunia tidak bereaksi, tubuh sosial masyarakat menjadi target kekerasan mereka berikutnya.
Solidaritas korban
Kita dapat belajar dari bangsa Spanyol dalam memutus jejaring atomisasi sosial yang ditebarkan pelaku peledakan bom. Pascapeledakan bom, kurang lebih satu juta warga mengadakan parade solidaritas untuk mengenang korban dan mengutuk pelaku peledakan bom. Saksi hidup peledakan bom membawa pesan kepada masyarakat tentang barbaritas kekerasan pelaku peledak- an bom. Masyarakat Spanyol menorehkan tinta emas dalam sejarah mereka karena memilih solider dengan korban. Solidaritas dengan korban ini merupakan penolakan terbuka terhadap barbaritas kekerasan untuk kembali mengguncang tanah Spanyol.
Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil: Five Warning Signals (2002) menunjukkan tanda-tanda peringatan ketika agama telah menjadi korup. Korupsi agama terjadi saat agama kian terarah pada kejahatan dan kekerasan yang menciptakan penderitaan bagi yang lain.
Sebaliknya, agama yang berdasar sumber sejati berpartisipasi aktif menghancurkan korup dalam dirinya. Kelompok-kelompok yang sering dituduh sebagai pelaku barbaritas kekerasan sering bermain di persimpangan agama dan politik. Mereka mengklaim barbaritas kekerasannya demi Yang Memberi Hidup.
Akibatnya, reaksi kita cenderung mendua. Kita ragu menolak barbaritas kekerasan mereka karena tampaknya motivasi mereka religius.
Di tengah ancaman di panggung global, hidup agama diuji otentisitasnya. Faktanya, agama telah dipelintir menjadi sumber motivasi dan justifikasi untuk tindak kekerasan. Ketika teks agama sudah disitir dan ditafsir sebagai inspirasi untuk eskalasi kejahatan dan kekerasan pada panggung global, hidup beragama perlu melakukan reformasi diri.
Semua agama harus melakukan reformasi diri jika semua komunitas beriman hendak memberi kontribusi demi terciptanya perdamaian global. Semua komunitas beriman dipanggil berada di jajaran depan dalam solidaritas dengan korban.
Melawan barbaritas
Tragedi barbaritas kekerasan di Bali memberi pelajaran dan konsekuensi universal. Kekerasan terus berulang karena dunia cenderung mengabaikan korban dan membiarkan pelaku barbaritas kekerasan menemukan akar hidup.
Dari Pulau Dewata, kita diundang untuk mengingat korban. Dari sana pula kita diundang untuk menggerakkan dunia untuk semakin solider dengan korban. Pelaku kekerasan bekerja dalam jejaring global. Jejaring barbaritas kekerasan harus dilawan dengan jejaring solidaritas global. Atomisasi sosial harus dilawan dengan solidaritas sosial bersama korban. Seperti bangsa Spanyol, bangsa kita diundang untuk menolak secara terbuka barbaritas kekerasan menemukan akar hidup di dunia.
No comments:
Post a Comment