Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, December 19, 2008

Resensi Buku


Silakan beli edisi terbaru Jurnal BASIS untuk tulisan lengkapnya


Politik Berparas Kemanusiaan

Oleh Mutiara Andalas

Politik memiliki mitos berparas laki-laki. Libido kekuasaan menjalari tubuhnya. Ruang politik merupakan gelanggang pertarungan berdarah. Laki-laki menjadi kontestan utama pertarungan politik menundukkan lawannya. Perempuan berdiri di tepian gelanggang untuk menyoraki gladiator pilihannya. Mereka terlalu ringkih untuk berperan sebagai gladiator politik. Mereka berlenggak-lenggok sebentar ke arena pertarungan sambil membawa papan ronde atau menghibur penonton saat jeda pertarungan. Kalaupun akhirnya memasuki gelanggang sebagai petarung, perempuan memompa otot tubuhnya sehingga menyerupai laki-laki. Air mata merupakan aib bagi gladiator politik karena menyingkapkan kelemahan mereka. Gerakan feminis politik menggugat mitos yang menyingkirkan kehadiran dan keterlibatan perempuan. Ilmu politik perlu imajinasi baru mengenai definisi, subyek, dan perwakilan politik.

Paras Politik

Panggung politik dunia kembali menyuguhi kita dengan drama. Di penghujung tahun 2007 Benazir Bhutto menjadi korban pembunuhan politik. Keterlibatannya dalam politik Pakistan dihentikan secara paksa dua minggu menjelang pemilu. Benazir Bhutto (1953 – 2007) pernah menjabat perdana menteri Pakistan selama dua periode, dan mengalami penurunan paksa dua kali atas tuduhan korupsi dan salah urus negara. Lawan politiknya menganggap Benazir Bhutto salah tempat saat menjejakkan kakinya di ruang politik yang didaku sebagai ruang laki-laki. Mendekati penghujung tahun 2008, Barrack Obama yang membawa harapan perubahan memikat massa pemilih Amerika Serikat. Ia berhasil melepaskan diri dari jerat rasisme yang masih melekat dalam alam pikir sebagian warga AS. Prasangka rasial Afrika – Amerika dan agama Islam yang diasosiasikan dengan terorisme gagal membelokkan arah massa pemilih. Hillary Clinton, lawan politik Obama sebelum konvensi partai Demokrat, dikarikaturkan sebagai perempuan beremosi histeris dan naik ke panggung politik di bawah bayang-bayang suaminya. Sarah Palin menjadi olok-olok media massa sebagai badut politik yang sibuk dengan kostum panggungnya.

Kedua peristiwa politik terkini mengekalkan sekaligus melucuti paras politik. Politik mengkerut sebagai ajang rebutan kursi nomor satu. Politik identik dengan panggung kampanye, adu telikung, dan dana besar. Di mata Jannet A. Flammang, politik perlu pemetaan ulang secara radikal agar dapat menangkap geliat perempuan....


Subyek Marginal

Konstruksi jender yang dibalut dengan teks agama seringkali menjadi senjata ampuh untuk meminggirkan perempuan dari ruang politik....

Sebagian orang berpikir bahwa aku lemah karena berparas perempuan. Butakah mata mereka bahwa aku seorang muslimah? Aku memiliki kesabaran bibi Khadija... ketabahan bibi Zeinab... dan keberanian Bibi Aisha... Aku puteri martir Zulkifar Ali Bhutto, saudara perempuan martir Shah Nawaz Khan Bhutto, dan aku juga saudarimu. Aku menantang lawan politik untuk pemilu demokratis (Daughter of Destiny, 332 – 333; Reconciliation, 18 – 20).

Setelah gagal menghadangnya dengan justifikasi jender tradisional dan teks Qur’an, mereka menghancurkan kepribadiannya dihadapan public (politics of personal destruction)….Penjegalan berpuncak dengan pembunuhan politik.

Representasi Politik

….Ketimpangan representasi politik tersingkap dalam perilaku bawah sadar wakil perempuan yang menyesuaikan diri dengan penguasa yang lebih dominan. Wakil perempuan menyesuaikan perilaku yang mencerminkan ketersisihan politik mereka. Bahasa politik pun banyak memungut metafor militer dan olahraga yang secara tradisional dilekatkan pada tubuh laki-laki….

Joni Luvenduski dalam Feminizing Politics (2005) melukis paras perwakilan politik perempuan di Inggris. Ketimpangan relasi antarjender menjadi salah satu pilar bangunan politik Inggris….Perempuan memiliki tugas ganda menerobos ke dalam institusi politik dan membangun institusi politik baru yang berpilar keadilan jender. Kebijakan kuota politik diletakkan dalam bingkai menjamin representasi kepentingan perempuan (Politik Berparas Perempuan, 24 – 25. 169 – 189).

Luvenduski prihatin dengan penganut politik seksis yang menciutkan wakil perempuan pada ruang domestik atau seksualitas tubuhnya. Identitas wakil politik perempuan sekedar turunan dari subyek atau institusi politik seksis. Identitas mereka menciut di sekitar pangkal paha dan celana dalam....(ibid, 110. 275 – 316).


Dosa Politik

...Menyongsong perhelatan pemilu 2009, masyarakat Indonesia hendaknya menggunakan kecerdasan politik dalam memilih representasi politiknya. Mereka hendaknya memilih kandidat atau partai politik yang membela perikemanusiaan, terutama rakyat miskin, perempuan, dan minoritas rasial. Kita turut jatuh dalam dosa politik jika meloloskan kandidat yang tersangkut kasus pelanggaran HAM.



No comments: