Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, August 8, 2007

Genealogi Kekerasan

Genealogi Kekerasan

Peristiwa 27 Juli 1996 belum lama berselang. Namun, kekerasan itu tak berumur panjang dalam ingatan sosial kita. Jejak darah korban seolah tak terbaui lagi anyirnya.

Padahal, mereka memiliki nama, wajah, dan identitas. Tubuh korban meninggal dan luka mengantar kita berhadapan dengan wajah buas kejahatan.
Dari luka-luka korban, kita mengenali brutalitas pelaku kekerasan. Di negara ini, korban menjadi subyek tanpa abjad. Mengapa kita harus mengingat sejarah korban? Mengapa kekerasan tidak boleh diberi ruang hidup?
Genealogi korban
Kita dapat menyingkapkan fenomena kekerasan di Tanah Air dan dunia dengan pisau analisis genealogi korban. Titik pijak untuk mempelajari genealogi kekerasan adalah mendengarkan tangisan dan penderitaan korban.
Menurut filsuf Michel Foucoult (1926–1984), genealogi adalah sejarah yang ditulis sesuai komitmen terhadap masalah-masalah masa kini dan akan menerobos masa kini. Singkatnya, genealogi—dalam bahasa Nietzsche—sejarah efektif yang ditulis sebagai intervensi masa kini.
Barbaritas kekuasaan kembali memproduksi kematian. Luka dunia kembali berdarah akibat ledakan yang menewaskan dan melukai korban di London dan Mesir. Lokasi kekerasan adalah tempat-tempat publik, seperti gedung pemerintah, alat transportasi umum, pasar, bahkan dekat tempat ibadah. Kekerasan massal di tempat publik menciptakan aura ketakutan. Efek utama kekerasan adalah kematian prematur. Kekerasan menggagahi martabat kita sebagai manusia sehingga kita menjadi anonim.
Berpijak tragedi WTC 11 September, Jon Sobrino berusaha memetakan genealogi kekerasan. Ia mengundang kita untuk mendengar protes korban. Cara pandang kekuasaan atas masalah korban terbukti tidak membawa kemajuan dalam peradaban.
Kekerasan akan berakhir jika korban mendapat reparasi. Reparasi korban dimulai dengan menempatkan diri kita pada sisi mereka dan mendengarkan narasi penderitaannya. Sejarah kita yang berdarah hanya dapat ditebus oleh korban. Sejarah kita hanya dapat berjalan bersama korban. Kekerasan justru selalu meninggalkan korban terkapar di tepi sejarah dan berusaha meninggalkan jejak darah mereka.
Rekonsiliasi menjembatani perjumpaan di antara pihak-pihak yang mengalami konflik horizontal. Pelaku peledakan bom ingin memutus jembatan rekonsiliasi ini. Kekuasaan yang dibangun di atas dasar kekerasan tak pernah membantu rekonsiliasi. Kekerasan memproduksi inhumanitas. Sebaliknya, perjumpaan antarkorban mengundang kita untuk mengembalikan wajah kita sebagai homo homini socius. Jalan rekonsiliasi adalah non-violent coexistence, sedangkan jalan konflik adalah violent co-annihilation.
Bangsa kita memiliki tugas berat membongkar wajah kekuasaan yang menciptakan kematian prematur korban. Terlalu lama kekerasan opresif dibiarkan melucuti kemanusiaan bangsa. Kekerasan telah menjadi peristiwa sehari-sehari. Wajah pelaku kekerasan kian anonim. Kita belum melihat usaha serius untuk menyeret pelaku kekerasan mempertanggungjawabkan kejahatannya di depan hukum. Tiadanya penegakan hukum dari negara terhadap pelaku kekerasan berarti memberi ruang bagi mereka.
Kekerasan selalu berulang karena kita tidak memiliki ingatan sosial akan korban. Kebanyakan dari kita masih terlelap dalam tidur inhumanitas. Kesaksian korban mendekatkan kita dengan ingatan akan kekerasan. Dokumentasi kekerasan merupakan transposisi ingatan dan kesaksian korban dalam tulisan. Dokumentasi korban memperpanjang kehadiran kesaksian mereka mengenai barbaritas kekerasan.
Ingatan sosial
Ingatan sosial bertugas menagih utang atas kekerasan yang terjadi. Melupakan persoalan korban berarti menggagahi ingatan, memerkosa manusia dari hak korban akan ingatan.
Kekerasan selalu merupakan perendahan martabat karena bermuara pada kematian rakyat sipil yang tak bersalah. Sebaliknya, rekonsiliasi menenun kembali wajah kemanusiaan yang telah dirusak kekerasan.
Target kekerasan adalah membunuh harapan masyarakat akan kemungkinan rekonsiliasi dan perdamaian. Rekonsiliasi menempatkan kembali korban konflik sebagai subyek yang memiliki martabat sebagai manusia. Rekonsiliasi membuka horizon bahwa another world is possible, yaitu perdamaian. Harapan akan rekonsiliasi dan perdamaian itu subversif bagi pelaku kekerasan. Pelaku kekerasan yang telah dilucuti kemanusiaannya berperilaku sebagai serigala yang haus darah terhadap calon korbannya. Rekonsiliasi membuka selubung wajah destruktif kejahatan. Wajah kejahatan adalah kematian.
Kejahatan (mysterium iniquitatis) belum beranjak pergi dari Tanah Air dan dunia. Rekonsiliasi dan perdamaian masih pada tahap embrional. Teror bom dan kekerasan amat mudah menggugurkan janin rekonsiliasi dan perdamaian yang masih lemah. Embrio rekonsiliasi dan perdamaian akan tumbuh dewasa jika kita merawat kehidupannya dari ancaman kematian prematur.
Melupakan korban berarti menempatkan mereka dalam kotak sampah prasejarah. Sebaliknya, mengingat korban menempatkan mereka dalam panggung sejarah bangsa. Dengan mengingat korban, kita mengingat pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian prematur korban. Masa depan humanitas tergantung keberpihakan pada humanisasi korban. Peziarahan humanisasi untuk korban adalah peziarahan untuk liberasi sejarah kita.

No comments: