Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, September 7, 2007

Guadalupe



Guadalupe, Con Te Partiro
Oleh Mutiara Andalas, SJ

“13 Maret 2007. Maria Guadalupe. Engkau Ibu bagiku. Dihadapanmu aku tak takut menumpahkan air mataku. Karena kutahu Engkau mau menyeka air mata yang membasahi pipiku. Engkau mendengarkan kata-kata lirih diantara air mataku. Tak banyak kata, lebih banyak air mata. Engkau duduk di dekatku dan tanganmu meraih aku dalam pelukanmu. Engkau mengusap wajahku yang lelah. Engkau bertutur padaku, ‘Jangan takut. Ibu selalu ada di sisimu selalu, anakku.’ Terimakasih, Ibu. Jarum jam berhenti beberapa saat menyaksikan aku dipeluk Maria.”
Allah menjumpai saya melalui figur Maria di Guadalupe. Selama perjalanan menuju tempat ziarah saya merenungkan betapa kita seringkali harus berjalan jauh untuk dapat dekat dengan Tuhan. Kita seringkali jauh dari pengalaman dekat dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering berlari dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Kalender terisi penuh dengan kesibukan. Kamar kehidupan penuh dengan barang-barang yang berserakan. Tanpa sadar kita tidak memiliki ruang kosong lagi untuk bersujud dihadapan Allah. Guadalupe menjadi tempat dimana kita akhirnya dapat bersujud dihadapan Allah dan mendengarkan suara kasih-Nya. Tak heran, kita bertutur demikian saat meninggalkan Guadalupe, “Con Te Partiro.” Guadalupe mengundang kita kembali saat kita beranjak darinya.

Sujud dihadirat Maria
Maria Guadalupe menampakkan dirinya dalam pribadi sederhana Juan Diego. Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai pribadi suci dalam Gereja Katolik karena kerendahan hatinya. Sebagaimana pernah dituturkan Henri Nouwen, pribadi yang rendah hati itu hidup dekat dengan tanah. Ia dapat mendengarkan suara, ratapan, tangisan sesamanya yang jauh terpuruk ke tanah. Nouwen memandang Yesus sebagai pribadi yang hidupnya dekat dengan tanah karena ia mendengarkan suara sesame yang jauh terjerembab di tanah penderitaan. Saat Juan Diego berlutut, ia dapat mendengarkan Bunda Maria yang memberikan pesan kehidupan kepadanya.
Maria menyampaikan pesan kepada Juan Diego agar pejabat Gereja Katolik mendirikan sebuah tempat ibadat. Gereja merupakan tempat Allah menjumpai kita dan kita menjumpai Allah. Perjumpaan dengan Allah itu terjadi kalau kita bersujud dihadapan Allah. Para peziarah ke Guadalupe pada dasarnya adalah pribadi-pribadi yang berlutut dihadapan Allah melalui perantaraan Maria.
Tempat ziarah yang baik senantiasa menyediakan ruang luas bagi kita untuk berlutut dihadirat Allah. Ia mengundang kita untuk meletakkan berkat, permohonan, beban hidup kita kepada Allah. Dari pihak Allah, tempat ziarah seperti Guadalupe menjadi tempat istimewa bagi Allah berjumpa dengan putera-puteri yang dikasihi-Nya melalui Maria.
Guadalupe menjadi tempat ziarah istimewa karena ia memiliki pesona yang mengundang kita untuk kembali. Con Te Partiro. Beberapa peziarah pernah pergi ke Guadalupe dan ingin kembali ke sana. Beberapa peziarah yang meninggalkan Guadalupe pada siang hari kembali lagi ke sana sore harinya dan bahkan esok harinya. Allah hadir di Guadalupe. Maria menjumpai kita di sana. Kita dapat bersujud dihadapan Allah di sana. Mukjizat Guadalupe itu bukan sekedar peristiwa masa lalu. Mukjizat itu tetap berlangsung sampai hari ini. Maria Guadalupe terus-menerus menyentuh para peziarah zaman ini seperti ia pernah menyentuh hidup Juan Diego.
Banyak peziarah membawa permohonan pribadi dan permohonan para sahabat yang dititipkan kepada mereka. Beberapa waktu terakhir ini saya banyak bergumul dengan problem orang tua saya di rumah. Kabar terakhir, Ayah saya kemungkinan akan mendapatkan putusan penjara selama 5-15 tahun dengan dakwaan menggelapkan laporan keuangan. Putusan pengadilan baru diambil akhir bulan ini, tetapi bayang-bayang buram keluarga pasca-pengadilan sudah ada dipelupuk mata. Keluarga seperti berada di tengah-tengah lautan yang sedang dilandai badai. Saya membawa ayah dan ibu saya dihadirat Maria dalam ziarah ke Guadalupe tahun ini.
Saya juga membawa diri saya sendiri dihadapan Maria. Ketika berjalan-jalan ke alun-alun Mexico City, saya mengambil potret seorang muda yang sedang duduk dengan wajah kusut di pojok sebuah bangunan. Saya mengambil potret orang itu dari berbagi sisi. Ia nampak sangat kesepian di tengah ribuan orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Nampak ada beban berat yang ia tak kuasa panggul sendiri. Tiba-tiba saya tersadar. Potret itu bukan sekedar potret dia, tetapi juga potret saya sekarang ini.
Saya juga mengambil potret seorang ibu yang sedang menyuapi putranya di alun-alun itu. Ibu itu sedang membagikan hosti kehidupan kepada putranya. Sebagian peziarah datang ke Guadalupa dalam keadaan lelah, sakit, berbeban, dan kehilangan harapan. Mereka itu seperti seorang anak yang menanti suapan ibunya. Seperti dalam ekaristi, mereka mendambakan Allah yang membagikan tubuh-Nya untuk memberi kita kekuatan dalam hidup. Guadalupe adalah tempat dimana mereka merasakan kehadiran Maria sebagai Ibu yang memberikan kehidupan. Maria mendekati para peziarah yang datang kepadanya. Ia berjanji hadir sebagai ibu yang memberikan nafas kehidupan bagi putera-puterinya yang sedang mengalami kesesakan dalam hidup mereka.

Dipeluk Maria
Salah satu lukisan paling mengesankan selama ziarah ke Guadalupe adalah lukisan Maria merentangkan pakaiannya kepada Juan Diego. Ia waktu itu mengalami banyak hambatan untuk berjumpa dengan para pejabat Gereja dan menyampaikan pesan Maria. Bahkan, para ajudan Uskup waktu ingin membuat Juan Diego kapok menghadap Bapa Uskup. Juan Diego menjumpai Maria keadaan lelah, bimbang, dan berbeban. Maria memeluk Juan Diego dengan merentangkan jubahnya. Pelukan itu memberikan kehangatan, kedamaian, dan keberanian kepada Juan Diego untuk meneruskan pesan Maria.
Sepulang dari Guadalupe, saya menelepon ibu saya dan bertanya tentang oleh-oleh saat saya pulang ke rumah pada musim panas. Ia ingin dibelikan sweater. Ia merindukan kehangatan dalam situasi keluarga yang nampaknya menjadi serba tak menentu setelah pengadilan ayah. Ketika saya berdoa di depan Maria Guadalupe, ia hadir sebagai sosok Ibu yang memeluk saya. Barangkali oleh-oleh terbaik saat saya pulang nanti adalah seperti yang diberikan Maria Guadalupe. Saya ingin merentangkan tangan dan memeluk ibu saya. Mungkin itulah sweater terindah dari seorang anak kepada ibunya yang sedang berbeban dalam hidupnya.

2 comments:

Anonymous said...

“Barangkali oleh-oleh terbaik saat saya pulang nanti adalah seperti yang diberikan Maria Guadalupe. Saya ingin merentangkan tangan dan memeluk ibu saya. Mungkin itulah sweater terindah dari seorang anak kepada ibunya yang sedang berbeban dalam hidupnya”

Nice! Sejujurnya itu yang diinginkan seorang ibu dimanapun tidak harta ataupun lainnya. Trust me , J agnes karyati

Mutiara Andalas said...

Komen :

“Barangkali oleh-oleh terbaik saat saya pulang nanti adalah seperti yang diberikan Maria Guadalupe. Saya ingin merentangkan tangan dan memeluk ibu saya. Mungkin itulah sweater terindah dari seorang anak kepada ibunya yang sedang berbeban dalam hidupnya”

Nice! Sejujurnya itu yang diinginkan seorang ibu dimanapun tidak harta ataupun lainnya. Trust me , J agnes karyati