Negara Kriminal: Sebuah Profil
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.
Teror bukan penghalang penegakan hak asasi manusia
Munir Said Thalib (1965 – 2004)
Kematian prematur menyerang tubuh korban dan pendamping korban. Kematian mereka sebagian besar berakhir dengan tanda tanya. Apakah mereka mengalami kematian prematur karena kriminalitas biasa atau negara? Pertanyaan ini seringkali menghentikan langkah kita untuk karena kita berada di tapal batas wilayah kebenaran. Kutub lain dari kebenaran, bagi mereka yang berbela rasa dengan hidup korban, bukan ketidakbenaran, melainkan kebohongan. Tulisan ini lahir untuk mengisahkan kebenaran realitas yang seringkali mengalami mutilasi kebohongan. Ia mendengarkan penuturan mereka yang berada dekat dengan hidup korban. IMereka yang berada di sisi korban berkeyakinan bahwa negara adalah terdakwa utama kriminalitas terhadap kematian prematur korban.
Tulisan ini berfokus pada kisah almarhumah Ita Martadinata (1980 – 1998) dan almarhum Munir Said Thalib (1965 – 2004). Kematian prematur Ita Martadinata menarik perhatian publik karena terkait dengan kesaksian beberapa korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 yang akan memberikan kesaksian di depan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pihak kepolisian menolak dugaan bahwa kematian prematurnya terkait dengan aktivitas keluarganya dengan para korban kekerasan seksual. Mereka melihat kematian prematurnya sebagai akibat kriminalitas biasa bermotif perampokan. Kematian Munir, aktivis hak asasi manusia yang mengabdikan hidupnya untuk korban penghilangan paksa dan kekerasan negara lain, diyakini karena racun arsenik yang ditaruh di minumannya dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Ámsterdam. Aparat keamanan menolak keterlibatannya dalam kematian militer.
Kebenaran yang Rusak
Dalam kasus Ita Martadinata dan Munir, telah terjadi pertarungan antara sahabat korban melawan negara. Dari perspektif korban, yang terjadi bukan kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Kebenaran bahkan dari pihak keluarga korban tidak selalu sampai dalam kondisi lengkap. Situasi internal korban dan situasi eksternal non-korban acapkali membuat kebenaran sampai ke publik dalam keadaan sudah rusak. Rm. Sandyawan Sumardi mengundang publik untuk mendengarkan kebenaran yang tak terucapkan. Publik hanya dapat mendengarkan kesaksian mereka jika mereka memiliki telinga yang berhati kemanusiaan.
Pada desempatan ini kami [Tim Relawan untuk Kemanusiaan] mengajak masyarakat untuk memahami kondisi lelah keluarga, termasuk Evi Suriadinata, kakak almarhum Marthadinata dalam memberikan keterangan kepada pers. Karena itu kami berharap masyarakat bersedia untuk tidak hanya mendengarkan apa yang telah diungkapkan Evi dan keluarga, tetapi juga bersedia mendengarkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan.
Kematian prematur Ita Martadinata menyadarkan kita bahwa kekerasan negara dapat melangsungkan kriminalitasnya dengan mata buta. Kekerasan negara tidak hanya menyerang target korban, tetapi juga mereka yang berada di sekitar target korban. Mereka ingin melumpuhkan target korban dengan melumpuhkan dunia sosial yang berada di sekitarnya. Mereka melihat bahwa lingkaran dekat target korban merupakan titik lemah target korban. Ibunda Ita, Wiwin Haryono, adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang melayani konseling dari korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998. Ia sedang mempersiapkan diri untuk memberikan kesaksian mengenai fakta kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara itu dihadapan sebuah lembaga hak asasi manusia di Amerika Serikat.
Pembunuhan seperti terhadap Ita adalah sebuah kesaksian tentang bentuk praktek kejahatan terhadap kemanusiaan disamping intimidasi, teror dan provokasi yang terus berlangsung di tengah-tengah kita…. Lebih memprihatinkan lagi karena korban-korban kejahatan itu adalah orang-orang, anggota masyarakat sederhana yang justru memiliki harapan akan berdirinya suatu bangunan peradaban baru yang menghormati kemanusiaan.
Perlindungan terhadap korban dan saksi korban masih absen di negara kita. Dalam situasi demikian, posisi korban dan saksi korban sangat rentan mengalami kekerasan. Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 memiliki tegangan politik sangat tinggi karena menempatkan negara, terutama aparat militer, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atasnya. Masih absennya perlindungan terhadap korban dan saksi korban membuat mereka membuat mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Mekanisme perlindungan diri korban dan saksi korban ini mengandung resiko bahwa kita sulit berjumpa langsung dengan korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negeri Mei 1998.
Peristiwa duka itu [kematian Ita ] adalah gambaran tantangan yang harus kami hadapi selama tidak ada upaya perlindungan dan jaminan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan kami. Persis tantangan ini pula yang membuat Tim Relawan untuk Kemanusiaan tak bergeming sekalipun didesak memperkenalkan saksi dankorban tindak kejahatan kemanusiaan. Kematian Ita adalah kesaksian nyata yang mengundang kita semua untuk membangun pertahanan bersama untuk menjamin keamanan setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap korban yang mempertaruhkan kepercayaan kepada kita.
Aparat kepolisian menyangkal dugaan keterkaitan pembunuhan Ita dengan keterlibatan ibunya dan Ita sebagai relawan kemanusiaan. Temuan ahli forensik kepolisian justru menyelidiki perilaku seksual korban. Mereka menyatakan bahwa korban telah melakukan aktivitas seksual selama berkali-kali sebelum tragedi Mei 1998. Aktivitas kepolisian ini menghancurkan kredibilitas korban dihadapan publik. Relawan Kemanusiaan juga mengungkap fakta adanya ancaman terhadap keluarga tenaga medis yang hendak memberikan kesaksian mengenai kekerasan seksual Mei. Mereka melihat Romo Sandyawan Sumardi, yang mewakili Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam siaran persnya menyatakan. Mereka adalah korban kriminalitas negara dan saksi kebenaran.
Kami tidak ingin sekedar menghitung deretan jumlah angka korban. Kami ingin relajar merengkuh para korban sebagai manusia yang telah dipecah, dihilangkan keutuhan haknya sebagai manusia. Mereka adalah para saksi kebenaran yang tak akan pernah berhenti menyerukan suara gugatan pada setiap pelaku kejahatan pada kemanusiaan. Mereka adalah sosok manusia yang menjadi batu penjuru sebuah bangunan peradaban baru. Karena itu kami ingin mencoba menyatukan jeritan pengharapan dari setiap korban.
Kebenaran Bertaruh Nyawa
Munir (8 Desember 1965 – 7 September 2004) sangat kritis terhadap perilaku aparat keamanan dihadapan hukum. Mereka dapat melakukan kekerasan dan mendapatkan kekebalan hukum. Fakta tak hanya merugikan masyarakat yang menjadi korban kekerasan aparat keaaman, tetapi juga memperburuk citra aparat keamanan itu. Mereka sulit mendatkan kepercayaan dari masyarakat. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mampu menjangkau kejahatan-kejahatan yang dilakukan aparat secara langsung.
Munir menyatakan bahwa Allah dalam agama Islam membela hidup mereka yang miskin dan tertindas. Islam menegakkan keadilan. Allah memanggil setiap orang yang mengaku dirinya muslim untuk berada di sisi mereka yang miskin dan tertindas. Panggilan Allah ini menuntut jawaban radikal dari seorang muslim. Ia membela korban saat ia memalingkan wajahnya kepada kebenaran. Ia akhirnya menemukan bahwa berada di sisi mereka merupakan panggilan dan kepercayaan hidupnya. Perjuangan religius seorang Muslim adalah membangun masyarakat yang adil. Ia akan meninggalkan Islam seandainya Islam tidak mengerjakan keadilan.
Keberaniaannya terutama datang karena dukungan isterinya. Ia mendeskripsikan aktivitasnya sebagai pekerjaan yang bertaruh dengan nyawa dan tanpa imbalan finansial. Teror bukan penghalang penegakan hak asasi manusia. Saat aparat polisi memberikan pengamanan lingkungan, Munir meminta mereka untuk memperlakukan dia sebagai warga biasa. Ia meminta polisi untuk mengerjakan tugas-tugas lain mereka yang lebih penting daripada memberkan perlindungan keamanan kepada dirinya. Ia sudah biasa menerima encaman dari orang-orang tak dikenal dengan beragam cara. Ia lama-lama menerima teror itu sebagai peristiwa biasa.
Aung San Suu Kyi, aktivis hak asasi manusia dari Myanmar, juga menemukan keberanian dari konfrontasi terus-menerus dengan realitas kekerasan. Keberanian dapat merupakan rahmat. Namun, Suu Kyi lebih melihat bahwa kebenaran lahir dari habitus melawan teror. Ia menolak ketakutan mendikte hidupnya. Keberaniannya terus-menerus diperbaharui berhadapan dengan kekerasan militer. Setiap orang harus memiliki keberanian dan tidak menggantungkan diri pada keberanian orang lain. Rezim otoriter berusaha membakukan ketakutan sebagai tatanan perilaku warganya. Mereka memproduksi habitat ketakutan dengan target melumpuhkan peziarahan aktivis kemanusiaan akan kebenaran.
Pembunuhan Munir menyisakan tanda tanya mengenai pelakunya. Suciwati, isteri Munir, melihat kematian suaminya sebagai tindakan kejahatan konspiratif. Ia berhadapan dengan apatisme elite negara terhadap kasusnya. Dalam suratnya, Suciwati menanyakan komitmen negara melalui presiden mengenai keadilan hukum di Indonesia.
“Bapak Presiden, hari ini dua tahun yang lalu saya mengingatkan kembali pada Bapak akan sebuah tragedi, sebuah kematian yang sangat konspiratif, yaitu pembunuhan Munir, suami saya. Kematian yang menyisakan tanda tanya besar tentang siapa pelaku utamanya, yang sampai saat ini belum terungkap. Menutupkan kedukaan yang lebih dalam, bukan hanya karena kejadian jahat itu, tetapi juga karena ketidakpedulian segelintir elite di negeri ini terhadap tragedi ini. Saya berharap segelintir elite itu tidak termasuk Bapak [Presiden] yang terhormat…
Meskipun Bapak [Presiden] telah menyerukan agar semua pihak terbuka terhadap investigasi kasus ini, seruan ini tak lebih skedar imabuan. Kalau Bapak sebagai seorang presiden saja tidak digubris, bagaiman masyarakat sipil yang tidak punya kuasa apa pun?
Kasus Munir mengundang pesimisme di bidang hukum karena pengadilan jelas-jelas memutuskan bahwa Munir dibunuh, tetapi tidak ada pembunuhnya. Putusan pengadilan memenangkan tersangka. Hakim memenangkan impunitas. Keputusan itu membongkar wajah rusak hukum di Indonesia. Keputusan pengadilan itu bermaksud mematahkan harapan Suciwati. Namur ia tak akan mundur mencari keadilan. Kita tidak akan pernah gentar dengan putusan yang terus-menerus mematahkan harapan kami. Mematahkan terus-menerus para pencari keadilan ini. Tetapi kita akan terus-menerus memeinta perubahan terhadap sistem hukum kita yang memang pada saat ini kita tahu secara bersama, betapa rusaknya sistem hukum kita.
Saya ini selalu mempunyai harapan, karena ini persoalannya bukan kasus Munir saja tetapi persoalan kredibilitas bangsa kita. Apkah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak? Ini persoalan kredibilitas bangsa kita. Apakah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak?
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.
Teror bukan penghalang penegakan hak asasi manusia
Munir Said Thalib (1965 – 2004)
Kematian prematur menyerang tubuh korban dan pendamping korban. Kematian mereka sebagian besar berakhir dengan tanda tanya. Apakah mereka mengalami kematian prematur karena kriminalitas biasa atau negara? Pertanyaan ini seringkali menghentikan langkah kita untuk karena kita berada di tapal batas wilayah kebenaran. Kutub lain dari kebenaran, bagi mereka yang berbela rasa dengan hidup korban, bukan ketidakbenaran, melainkan kebohongan. Tulisan ini lahir untuk mengisahkan kebenaran realitas yang seringkali mengalami mutilasi kebohongan. Ia mendengarkan penuturan mereka yang berada dekat dengan hidup korban. IMereka yang berada di sisi korban berkeyakinan bahwa negara adalah terdakwa utama kriminalitas terhadap kematian prematur korban.
Tulisan ini berfokus pada kisah almarhumah Ita Martadinata (1980 – 1998) dan almarhum Munir Said Thalib (1965 – 2004). Kematian prematur Ita Martadinata menarik perhatian publik karena terkait dengan kesaksian beberapa korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 yang akan memberikan kesaksian di depan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pihak kepolisian menolak dugaan bahwa kematian prematurnya terkait dengan aktivitas keluarganya dengan para korban kekerasan seksual. Mereka melihat kematian prematurnya sebagai akibat kriminalitas biasa bermotif perampokan. Kematian Munir, aktivis hak asasi manusia yang mengabdikan hidupnya untuk korban penghilangan paksa dan kekerasan negara lain, diyakini karena racun arsenik yang ditaruh di minumannya dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Ámsterdam. Aparat keamanan menolak keterlibatannya dalam kematian militer.
Kebenaran yang Rusak
Dalam kasus Ita Martadinata dan Munir, telah terjadi pertarungan antara sahabat korban melawan negara. Dari perspektif korban, yang terjadi bukan kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Kebenaran bahkan dari pihak keluarga korban tidak selalu sampai dalam kondisi lengkap. Situasi internal korban dan situasi eksternal non-korban acapkali membuat kebenaran sampai ke publik dalam keadaan sudah rusak. Rm. Sandyawan Sumardi mengundang publik untuk mendengarkan kebenaran yang tak terucapkan. Publik hanya dapat mendengarkan kesaksian mereka jika mereka memiliki telinga yang berhati kemanusiaan.
Pada desempatan ini kami [Tim Relawan untuk Kemanusiaan] mengajak masyarakat untuk memahami kondisi lelah keluarga, termasuk Evi Suriadinata, kakak almarhum Marthadinata dalam memberikan keterangan kepada pers. Karena itu kami berharap masyarakat bersedia untuk tidak hanya mendengarkan apa yang telah diungkapkan Evi dan keluarga, tetapi juga bersedia mendengarkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan.
Kematian prematur Ita Martadinata menyadarkan kita bahwa kekerasan negara dapat melangsungkan kriminalitasnya dengan mata buta. Kekerasan negara tidak hanya menyerang target korban, tetapi juga mereka yang berada di sekitar target korban. Mereka ingin melumpuhkan target korban dengan melumpuhkan dunia sosial yang berada di sekitarnya. Mereka melihat bahwa lingkaran dekat target korban merupakan titik lemah target korban. Ibunda Ita, Wiwin Haryono, adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang melayani konseling dari korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998. Ia sedang mempersiapkan diri untuk memberikan kesaksian mengenai fakta kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara itu dihadapan sebuah lembaga hak asasi manusia di Amerika Serikat.
Pembunuhan seperti terhadap Ita adalah sebuah kesaksian tentang bentuk praktek kejahatan terhadap kemanusiaan disamping intimidasi, teror dan provokasi yang terus berlangsung di tengah-tengah kita…. Lebih memprihatinkan lagi karena korban-korban kejahatan itu adalah orang-orang, anggota masyarakat sederhana yang justru memiliki harapan akan berdirinya suatu bangunan peradaban baru yang menghormati kemanusiaan.
Perlindungan terhadap korban dan saksi korban masih absen di negara kita. Dalam situasi demikian, posisi korban dan saksi korban sangat rentan mengalami kekerasan. Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 memiliki tegangan politik sangat tinggi karena menempatkan negara, terutama aparat militer, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atasnya. Masih absennya perlindungan terhadap korban dan saksi korban membuat mereka membuat mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Mekanisme perlindungan diri korban dan saksi korban ini mengandung resiko bahwa kita sulit berjumpa langsung dengan korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negeri Mei 1998.
Peristiwa duka itu [kematian Ita ] adalah gambaran tantangan yang harus kami hadapi selama tidak ada upaya perlindungan dan jaminan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan kami. Persis tantangan ini pula yang membuat Tim Relawan untuk Kemanusiaan tak bergeming sekalipun didesak memperkenalkan saksi dankorban tindak kejahatan kemanusiaan. Kematian Ita adalah kesaksian nyata yang mengundang kita semua untuk membangun pertahanan bersama untuk menjamin keamanan setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap korban yang mempertaruhkan kepercayaan kepada kita.
Aparat kepolisian menyangkal dugaan keterkaitan pembunuhan Ita dengan keterlibatan ibunya dan Ita sebagai relawan kemanusiaan. Temuan ahli forensik kepolisian justru menyelidiki perilaku seksual korban. Mereka menyatakan bahwa korban telah melakukan aktivitas seksual selama berkali-kali sebelum tragedi Mei 1998. Aktivitas kepolisian ini menghancurkan kredibilitas korban dihadapan publik. Relawan Kemanusiaan juga mengungkap fakta adanya ancaman terhadap keluarga tenaga medis yang hendak memberikan kesaksian mengenai kekerasan seksual Mei. Mereka melihat Romo Sandyawan Sumardi, yang mewakili Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam siaran persnya menyatakan. Mereka adalah korban kriminalitas negara dan saksi kebenaran.
Kami tidak ingin sekedar menghitung deretan jumlah angka korban. Kami ingin relajar merengkuh para korban sebagai manusia yang telah dipecah, dihilangkan keutuhan haknya sebagai manusia. Mereka adalah para saksi kebenaran yang tak akan pernah berhenti menyerukan suara gugatan pada setiap pelaku kejahatan pada kemanusiaan. Mereka adalah sosok manusia yang menjadi batu penjuru sebuah bangunan peradaban baru. Karena itu kami ingin mencoba menyatukan jeritan pengharapan dari setiap korban.
Kebenaran Bertaruh Nyawa
Munir (8 Desember 1965 – 7 September 2004) sangat kritis terhadap perilaku aparat keamanan dihadapan hukum. Mereka dapat melakukan kekerasan dan mendapatkan kekebalan hukum. Fakta tak hanya merugikan masyarakat yang menjadi korban kekerasan aparat keaaman, tetapi juga memperburuk citra aparat keamanan itu. Mereka sulit mendatkan kepercayaan dari masyarakat. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mampu menjangkau kejahatan-kejahatan yang dilakukan aparat secara langsung.
Munir menyatakan bahwa Allah dalam agama Islam membela hidup mereka yang miskin dan tertindas. Islam menegakkan keadilan. Allah memanggil setiap orang yang mengaku dirinya muslim untuk berada di sisi mereka yang miskin dan tertindas. Panggilan Allah ini menuntut jawaban radikal dari seorang muslim. Ia membela korban saat ia memalingkan wajahnya kepada kebenaran. Ia akhirnya menemukan bahwa berada di sisi mereka merupakan panggilan dan kepercayaan hidupnya. Perjuangan religius seorang Muslim adalah membangun masyarakat yang adil. Ia akan meninggalkan Islam seandainya Islam tidak mengerjakan keadilan.
Keberaniaannya terutama datang karena dukungan isterinya. Ia mendeskripsikan aktivitasnya sebagai pekerjaan yang bertaruh dengan nyawa dan tanpa imbalan finansial. Teror bukan penghalang penegakan hak asasi manusia. Saat aparat polisi memberikan pengamanan lingkungan, Munir meminta mereka untuk memperlakukan dia sebagai warga biasa. Ia meminta polisi untuk mengerjakan tugas-tugas lain mereka yang lebih penting daripada memberkan perlindungan keamanan kepada dirinya. Ia sudah biasa menerima encaman dari orang-orang tak dikenal dengan beragam cara. Ia lama-lama menerima teror itu sebagai peristiwa biasa.
Aung San Suu Kyi, aktivis hak asasi manusia dari Myanmar, juga menemukan keberanian dari konfrontasi terus-menerus dengan realitas kekerasan. Keberanian dapat merupakan rahmat. Namun, Suu Kyi lebih melihat bahwa kebenaran lahir dari habitus melawan teror. Ia menolak ketakutan mendikte hidupnya. Keberaniannya terus-menerus diperbaharui berhadapan dengan kekerasan militer. Setiap orang harus memiliki keberanian dan tidak menggantungkan diri pada keberanian orang lain. Rezim otoriter berusaha membakukan ketakutan sebagai tatanan perilaku warganya. Mereka memproduksi habitat ketakutan dengan target melumpuhkan peziarahan aktivis kemanusiaan akan kebenaran.
Pembunuhan Munir menyisakan tanda tanya mengenai pelakunya. Suciwati, isteri Munir, melihat kematian suaminya sebagai tindakan kejahatan konspiratif. Ia berhadapan dengan apatisme elite negara terhadap kasusnya. Dalam suratnya, Suciwati menanyakan komitmen negara melalui presiden mengenai keadilan hukum di Indonesia.
“Bapak Presiden, hari ini dua tahun yang lalu saya mengingatkan kembali pada Bapak akan sebuah tragedi, sebuah kematian yang sangat konspiratif, yaitu pembunuhan Munir, suami saya. Kematian yang menyisakan tanda tanya besar tentang siapa pelaku utamanya, yang sampai saat ini belum terungkap. Menutupkan kedukaan yang lebih dalam, bukan hanya karena kejadian jahat itu, tetapi juga karena ketidakpedulian segelintir elite di negeri ini terhadap tragedi ini. Saya berharap segelintir elite itu tidak termasuk Bapak [Presiden] yang terhormat…
Meskipun Bapak [Presiden] telah menyerukan agar semua pihak terbuka terhadap investigasi kasus ini, seruan ini tak lebih skedar imabuan. Kalau Bapak sebagai seorang presiden saja tidak digubris, bagaiman masyarakat sipil yang tidak punya kuasa apa pun?
Kasus Munir mengundang pesimisme di bidang hukum karena pengadilan jelas-jelas memutuskan bahwa Munir dibunuh, tetapi tidak ada pembunuhnya. Putusan pengadilan memenangkan tersangka. Hakim memenangkan impunitas. Keputusan itu membongkar wajah rusak hukum di Indonesia. Keputusan pengadilan itu bermaksud mematahkan harapan Suciwati. Namur ia tak akan mundur mencari keadilan. Kita tidak akan pernah gentar dengan putusan yang terus-menerus mematahkan harapan kami. Mematahkan terus-menerus para pencari keadilan ini. Tetapi kita akan terus-menerus memeinta perubahan terhadap sistem hukum kita yang memang pada saat ini kita tahu secara bersama, betapa rusaknya sistem hukum kita.
Saya ini selalu mempunyai harapan, karena ini persoalannya bukan kasus Munir saja tetapi persoalan kredibilitas bangsa kita. Apkah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak? Ini persoalan kredibilitas bangsa kita. Apakah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak?
No comments:
Post a Comment