Kuasa Kata: Menyapa
Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.
Mutiara Andalas, S.J.
Friday, October 26, 2007
Monolog Rahim
Sumber dokumentasi: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2a/V...
[Tulisan ini merupakan kelanjutan dari proyek penulisan buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis. Tulisan ini akan membedah narasi korban kekerasan seksual sebagai empati terhadap korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara 1998]
A Nation is not conquered until the hearts of women are on the groundThe wisdom of Cheyenne
'Tiadanya' laporan perkosaan kepada instansi pemerintah tak bisa disimpulkan bahwa perkosaan itu tidak terjadi.
(Tim Relawan untuk Kemanusiaan)
Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang diatnara masssa mencegar mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik 2 gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian 2 perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia
(Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998)
"Setelah kedua gadis itu berhasil melepaskan diri dari antara orang-orang biadab itu, saya mendekati mereka dan mendekapnya. Mereka minta saya membantu mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, say ahafal jalan pintas menuju jalan raya. Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutup koran. perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. setelah menolong kedua wanita itu, saya pulang melwati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan itu sudah tidak ada lagi. Kemana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?
(Saksi Mata, Muara Angke, 14 Mei 1998)
"Semenjak menyaksikan kejadian itu, hidup saya sangat gelisah dan terganggu. ketika mata saya terpejam, bayangan mayat-mayat wanita itu nampak di depan mata. saya merasa sangat tertekan. karena saya tidak kuat menghadapi perasaan cemas dan takut, saya putuskan untuk pulang kampung."
"Setelah tanpa sengaja melihat seorang gadis Tionghoa diperkosa beramai-ramai, adik perempuan saya begitu ketakutan dan tertekan. Bicaranya ngacau dan badannya bergetar seitap kali ada yang menghampirinya. dua minggu ia dirawat di Rumah Sakit. Saya jadi sangsi, adik saya itu hanya menyaksikan orang diperkosa atau dia sendiri juga diperkosa. Kok reaksinya seperti itu."
(Pengaduan seorang kakak perempuan, Juni 1998)
"... Pada tanggal 23 Juni (1998), di dalam angkot di sekitar Jakarta Barat itu terdapat 3 orang laki-laki kira-kira berumur antara 25 - 35 tahun, berpakaian bersih. Mereka sedang memperbincangkan berita koran tentang kasus perkosaan yang telah terjadi terhadap anak kkecil dan mayat mutilasi.
"Harusnya memek-nya (vaginanya) dipotong buat kenang-kenangan," kata satu dari ketiganya. Yang lain menimpali: "potongannya itu harus dimasukkan air keras." Kemudian yang ketiga menyahut: "O ya... ada bulunya." Lalu ketiganya tertawa. "Karena tidak tahan mendengar isi dialog itu, saya turun sebelum sampai tempat tujuan."
(Kesaksian saksi mata, Juni 1998)
Satu peristiwa perkosaan sudah cukup untuk disebut sebagai tindakan biadab. Ratusan perkosaan dengan modus operandi brutal yang punya banyak kesamaan adalah kebiadaban masssal yang sistematis dan idorganisir.
Judith Herman (1992) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual meminta mereka yang ada di sekitar lokasi kejadian perkara untuk tak berbuat apa-apa, tak menghiraukan kekerasan itu. Sementara itu korban kekerasan seksual meminta aksi, keterlibatan, dan kenangan.
“In order to escape accountability for his crimes, the perpetrator does everything in his power to promote forgetting. Secrecy and silence are the perpetrator’s first line of defense. If secrecy fails, the perpetrator attacks the credibility of his victim. If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure that no one listens. To this end, he marshals an impressive array of arguments, from the most blatant denial to the most sophisticated… rationalization. After every atrocity one can expect to hear the same predictable apologies: it never happened; the victim lies; the victim exaggerates; the victim brought it upon herself; and in any case it is time to forget the past and move on. The more powerful the perpetrator, the greater is his prerogative to name and define reality, and the more completely his arguments prevail (p. 8).
Judith Herman berpendapat bahwa untuk memutus kekuasaan argumen pelaku membutuhkan suatu konteks sosial yang meneguhkan dan melindungi korban dan menggabungkan korban dan saksi dalam suatu aliansi bersama (p. 9). Bagi korban kekerasan, relasi dengan keluarga, sahabat, dan orang yang mencintainya menciptakan konteks ini. Untuk masyarakat luas (the wider society), konteks sosial itu diciptakan oleh gerakan-gerakan politik yang menyuarakan mereka yang tidak memiliki kuasa (p.9).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment