Kuasa Kata: Menyapa
Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.
Mutiara Andalas, S.J.
Thursday, October 25, 2007
Martir Politik: Membela Hidup di Negara Kriminal (Final Version)
Martir Politik:
Membela Hidup Korban di Negara Kriminal
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.
Gloria Dei, vivens homo; vanitas Dei, moriens homo
Jon Sobrino, Jesus in Latin America (1987), 99
Realitas korban di satu sisi massif, namun di sisi lain anonim sampai saat ini. Ia menghilang dari teks kitab suci karena kita mengingkari keberadaannya sebagai skandal subversif. Ia juga menghilang dari ingatan sosial karena para pelaku kekerasan terhadap korban menghapus jejak mereka dari panggung sejarah. Komunitas beriman perlu membaca ulang kisah suci untuk menemukan kisah Allah kehidupan yang membebaskan hidup korban dari ancaman kematian prematur. Allah kehidupan (God of life) berkonfrontasi dalam duel hidup mati dengan illah-illah kematian (idols of death). Perjuangan melawan illah-illah kematian kontemporer yang melakukan tindak kriminal terhadap kemanusaian itu berlangsung sepanjang sejarah. Komunitas beriman terus-menerus digugat dengan pertanyaan dasar: Allah kehidupan atau illah kematian?
Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, hendak menjawab pertanyaan dasar itu dari tempat kejadian perkara pembantaian aktivis kemanusiaan karena kekerasan militer, dan dari lokasi rakyat miskin karena ketidakadilan struktural. Sobrino menggugat minimnya, bahkan absennya solidaritas komunitas beriman yang hidup di tengah-tengah realitas rakyat tersalib. Ia membangun spiritualitas pembebasan yang membela hidup korban di dunia kriminal. Spiritualitas pembebasan mengembalikan kata kasih dalam arti subversifnya. Salib bukan kata akhir dari Allah kehidupan. Spiritualitas dibangun di atas tiga pillar, yaitu kejujuran terhadap kebenaran realitas, kesetiaan kepada korban, dan keterbukaan terhadap realitas yang membimbing peziarahan sejarah.
Allah Kehidupan pada Salib Sejarah
Jon Sobrino memandang penderitaan sebagai situasi de facto Dunia Ketiga dalam era globalisasi dan situasi de jure dalam kitab suci. Sobrino menghubungkan situasi penderitaan itu dengan harapan rakyat yang mengalami penderitaan akan kehidupan dan harapan Allah kehidupan akan keselamatan. Ia menghindari diskursus mengenai penderitaan yang terjebak di ruang-ruang buntu dolorisme dan asketisme. Ia juga menghindari diskursus mengenai pembebasan yang diceraikan dari realitas penderitaan. Ia menampilkan hidup beriman kepada Allah yang berangkat dari titik awal penderitaan konkrit dan bermuara pada praksis kasih yang liberatif terhadap rakya tersalib.
Tema penderitaan tersebar dalam kitab suci. Penderitaan karena tindak kriminal manusia lain mengabaikan Allah kehidupan dan mencederai kemanusiaan korban. Yesus dalam kitab suci agama kristiani menangkap realitas penderitaan korban dan mencari jalan untuk membebaskan mereka. Penguasa politik, agama, dan intelektual saat itu cenderung menggelapkan realitas penderitaan. Solidaritas dengan korban absen dari hidup publik. Yesus berada di sisi individu dan komunitas yang mengalami penderitaan. Dosa mengakibatkan individu dan komunitas duduk terpisah karena minoritas penghuni dunia yang rakus menendang keluar mayoritas warga demi menguasai meja perjamuan. Mereka bermetamorfose dari manusia menjadi serigala yang haus memburu domba.
Yesus mengembalikan kasih dalam arti subversifnya. Ia mewartakan pesan kasih kepada warga dunia yang digusur paksa dari meja perjamuan dan yang hidupnya berada dalam cengkeraman mulut serigala. Mayoritas warga dunia hidup dalam penderitaan karena dirampok paksa kekayaannya di tengah jalan kehidupan oleh mereka yang memeluk illah kematian. Mereka yang ditinggal di tepian jalan kehidupan dalam keadaan keadaan luka parah itu mengajukan pertanyaan mengenai cinta. Yesus membuka mata dan hatinya saat berjumpa dengan mereka. Ia tidak berlalu dari hadapan mereka. Sebaliknya ia berhenti, mendekati, mengobati luka-luka mereka, dan membawa mereka ke rumah penginapan terdekat untuk perawatan lebih lanjut dari tabib. Ia menampilkan Allah sebagai Pribadi yang mengasihi hidup korban.
Berbeda dengan para teolog dari Dunia Pertama yang membedah pembebasan (liberation) dalam relasi dengan kebebasan (freedom), Jon Sobrino mengembalikan pembebasan (liberation) dalam relasi primordialnya dengan kehidupan (life). Sobrino prihatin dengan rutinitas kita melafalkan kredo Allah kehidupan, namun mengingkari verifikasi historisnya. Pengingkaran terhadap Alllah kehidupan mengambil bentuk penciptaan illah-illah kematian kontemporer dan ritual penyembahannya. dan ritual Sobrino menarik diskusi mengenai berhala (idolatry) yang semula terbatas sebagai konsep teologi menjadi realitas antropologis. Ia menyingkap wajah Allah kehidupan dengan membongkar topeng illah-illah palsu ciptaan manusia yang mengingkari kehidupan dan memproduksi kematian (the divinities of death).
Yesus menampilkan realitas Allah kehidupan yang menumbuhkan kehidupan manusia. Ia berkonfrontasi dengan illah-illah kematian yang mengingkari Allah kehidupan dan mengangkangi kehidupan rakyat tersalib (the crucified people). Representasi illah-illah kematian itu tak sekedar hidup dalam habitat politik tetapi membiak dalam habitat agama. Yesus mengalami ekskomunikasi pertama dari hirarki agama. Mereka memaksa Yesus keluar dari sinagoga dan bait Allah, lokasi simbolik kehadiran Allah. Pengucilan terhadap Yesus memuncak dengan peristiwa Golgotha. Mereka menyalib Yesus dengan dakwaan utama menyebut diri sebagai Anak Allah. Yesus menanggalkan rasa aman, martabat, dan bahkan kehidupannya. Solidaritas dengan rakyat tersalib, bukan asketisme religius, mendorong Yesus untuk mengalami realitas salib sejarah. Ia menjadi korban kekerasan dalam bentuknya yang paling brutal, yaitu hidupnya dilucuti secara total di atas salib oleh representasi pemeluk berhala-berhala kematian.
Yesus wafat sebagai saksi setia dari kasih Allah kepada umat manusia yang mengalami salib-salib sejarah. Ia disalib bukan karena melawan ateisme dalam arti literal, melainkan berhala kematian. Salib Yesus mengimplikasikan konsep baru dan revolusioner mengenai Allah baik pada level teoritis maupun pada level praksis. Salib Yesus mengalami pendangkalan dan kehilangan unsur skandal subversifnya karena komunitas beriman menempatkannya dalam ruang isolasi dari sejarah konkrit Yesus dan Allah. Yesus memanggul salib karena ia memeluk Allah kehidupan dan berkonflik melawan para penguasa politik dan agama yang memeluk illah-illah kematian. Allah kehidupan hadir dalam kematian Yesus di salib. Allah menunjukkan solidaritas dengan mereka yang memanggul salib-salib sejarah dengan salib Yesus. Allah menyingkapkan wajah kasih-Nya melalui salib penderitaan. Kita diundang untuk menemukan kehadiran Allah dalam manusia zaman ini yang memanggul salib-salib sejarah.
Kebangkitan Yesus menjadi idealistik tanpa salib. Kebangkitan-Nya menjadi real karena kita menghiraukan salib. Salib bukan kata akhir dari Allah kehidupan. Allah menanggapi tindakan kriminal manusia dengan membangkitkan Yesus. Peristiwa kebangkitan menggugat kita dengan pertanyaan mengenai apakah kita berpihak pada Allah kehidupan atau illah kematian. Kebangkitan Yesus menyodorkan pilihan solidaritas dengan komunitas korban atau apatisme terhadap gerombolan yang memproduksi kematian korban. Kebangkitan Yesus memberikan harapan kepada para korban yang disalib sejarah (the crucified of history) sebelum dan sesudah diri-Nya. Laki-laki dan perempuan mengalami kematian prematur melalui penghilangan, siksaan, pembakaran, atau penembakan paksa. Lebih banyak orang lagi mengalami kematian prematur perlahan karena struktur ketidakadilan. Pertanyaan yang senantiasa relevan diajukan kepada komunitas beriman Gereja menyangkut ke(tidak)sediaan mereka menyatukan diri dengan salib Yesus dan salib-salib sejarah kontemporer. Penyaliban terhadap rakyat tersalib berganti wajah, namun penyaliban terus-menerus berlangsung menghilangkan wajah korban.
Kesucian Korban Kriminalitas Negara
Kisah Allah yang membela hidup korban yang memanggul salib sejarah merupakan inspirasi utama dalam membangun spiritualitas pembebasan. Berpangkal dari kisah para korban dalam teks Kitab Suci dan dalam konteks Amerika Latin, Sobrino mengajukan tiga pilar spiritualitas pembebasan. Pertama, kita jujur dengan kebenaran realitas. Ketidakadilan struktural mengunci kebenaran dengan kebohongan institusional. Belas kasih terhadap korban merupakan tanggapan jujur terhadap realitas penderitaan. Kedua, kesetiaan memperjuangkan hidup korban merupakan tanggapan positif terhadap kejujuran kita terhadap kebenaran realitas. Kasih kita tersalib karena ia terus-menerus berkonfrontasi dengan kekuasaan anti-kasih. Ketiga, kebenaran realitas membimbing kita dalam peziarahan sejarah. Kebenaran realitas menumbuhkan harapan dan memfasilitasi kasih.
Perjumpaan dengan realitas korban mendorong Jon Sobrino untuk berbicara mengenai kesucian hidup mereka. Sobrino menelurkan istilah kesucian primordial (the primordial saintliness) dalam diri komunitas korban. Kesucian primordial berbeda dengan kesucian keutamaan (the saintliness of virtue) yang dimiliki orang-orang kudus dalam Gereja Katolik. Kesucian primordial pertama-tama tampak dalam kehendak komunitas korban untuk (membela) hidup. Ia berbeda dengan kesucian keutamaan karena kesucian mereka tidak terarah pada keinginan agar orang lain meneladan mereka. Meskipun kita jarang sekali menjadikan mereka sebagai sosok teladan dalam kesucian, hidup mereka menghadirkan Allah dalam sejarah.
Jon Sobrino tak bermaksud mengecilkan orang-orang kudus yang telah mendapat kanonisasi dalam Gereja karena keteladanan hidup mereka. Ia menghindari elitisme kesucian dalam hidup Gereja. Ia berpaling kepada pribadi-pribadi biasa, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang tua, korban penyiksaan dan pembunuhan biadab, dengan kesucian primordial mereka karena sebagian besar dari mereka anonim baik dalam Gereja Katolik maupun masyarakat. Gereja Katolik menyebut pribadi-pribadi yang memiliki teladan keutamaan itu sebagai orang kudus. Ia belum memiliki nama yang memadai untuk mengekspresikan martabat kematian mayoritas rakyat biasa yang mengalami kematian prematur karena melawan kekerasan negara atau rezim otoriter. Memberiikan nama kepada para korban merupakan titik awal mengenali martabat kehidupan mereka. Sobrino mengusulkan sebutan “martir politik” sebagai usaha melawan pelupaan sosial dan eklesial.
Realitas penderitaan korban, baik dalam kitab suci maupun dalam sejarah, mendorong Sobrino untuk berpikir ulang mengenai pemahaman tradisional kita tentang kemartiran. Gereja Katolik menggunakan sebutan martir untuk laki-laki dan perempuan yang mengalami penganiayaan dan kemudian kematian prematur demi membela iman. Pemahaman kemartiran tradisional itu masih mengesampingkan mereka yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur bukan pertama-tama karena membela iman. Sobrino mengingat pribadi-pribadi sederhana, kebanyakan di luar hirarki Gereja, yang mengalami kematian prematur karena mereka solider dengan mereka yang miskin dan mengalami ketidakadilan.
Martir politik adalah sebutan kontemporer yang sejatinya meneruskan tradisi kemartiran Yesus dalam kitab suci. Hirarki politik dan religius yang memeluk illah kematian membunuh Yesus karena Ia memeluk Allah kehidupan dan rakyat tersalib. Yesus menampilkan pribadi Allah yang mengutuk kedosaan dunia yang menyebabkan kematian prematur putera-puteri terkasih-Nya. Martir kontemporer berpartisipasi dalam realitas Allah secara aktif atau pasif. Mereka mengalami penderitaan bahkan kematian prematur di dunia kriminal. Penderitaan dan kematian prematur mereka mengekspresikan penderitaan dunia kita saat ini.
Martir Politik di Negara Kriminal
Jon Sobrino mendorong diskusi hidup beriman dalam dunia yang menderita selangkah lebih maju dengan tema kemartiran politik di negara kriminal. Ia menyodorkan fakta realitas korban yang di satu sisi massif dan anonim di sisi yang lain. Ia memberi nama pada fakta massif korban yang anonim. Kisah korban, betapapun massif, akan melesap dari perhatian masyarakat jika idenitas mereka anonim. Sobrino mengundang masyarakat, terutama hirarki agama, untuk membuka mata dan hati terhadap panggilan tak pernah kunjung henti dari rakyat tersalib. Beriman kepada Allah zaman ini berarti berkolaborasi dengan Allah kehidupan melawan kriminalitas negara.
Konfrontasi dengan negara yang melakukan tindak kriminal terhadap warganya berlangsung di ruang politik. Berdiri jujur dihadapan realitas merupakan langkah pertama humanisasi korban. Negara kriminal senantiasa berusaha menggelapkan kebenaran dari dari publik. Jika gagal menutupi kriminalitasnya, ia akan melakukan kejahatan mutilasi terhadap kebenaran. Kebenaran disunat dan bagian kebenaran yang potensial membongkar wajah kriminal negara dihilangkan secara paksa. Negara sering mengeluarkan pernyataan resmi yang menganulir setiap kesaksian korban. Penjegalan terhadap realitas korban juga terjadi secara sistematis di ruang hukum.
Konfrontasi sering memasuki periode kritis karena negara cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk membungkam suara korban dan mereka yang mendampingi korban. menanggapi konfrontasi para aktivis hak asasi manusia dengan cara kekerasan. Besarnya solidaritas dengan korban berbanding lurus dengan penderitaan mereka. Kita akan menjadi lebih manusiawi jika kita solider dengan penderitaan mereka. Sebaliknya negara semakin cenderung memakai cara-cara tak manusiawi untuk menghadang solidaritas kita dengan penderitaan korban. Membela hidup korban itu lebih dari sekedar menghindarkan korban dari kematian. Pembelaan terhadap hidup korban seringkali membawa kita pada situasi dimana kita harus bergumul sendiri dengan ancaman kematian prematur.
Perjuangan membela hidup korban mensyaratkan kesetiaan. Para pembela kehidupan korban secara otomatis berkonfrontasi dengan pemeluk illah kematian. Illah kematian membutuhkan korban manusia untuk mempertahankan hidupnya. Perjuangan membela hidup korban itu mempertaruhkan hidup pembelanya. Kehidupan korban itu suci dan tindakan membela hidup mereka itu mengandung kesucian. Pembelaan terhadap hidup korban mengundang kita untuk memahami realitas Allah. Ia bukan sekedar prakis etis yang dituntut Allah, melainkan juga prakis yang menghantar kita kepada realitas Allah. Perjuangan membela hidup korban merupakan tindakan konkret iman kita kepada Allah. Pengalaman akan kesucian terjadi ketika mereka yang menyadari bahaya kehidupan kematian prematur terhadap hidup mereka tidak mundur membela hidup korban.
Bibliografi:
Sobrino, Jon. Jesus in Latin America. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1987.
________. Spirituality of Liberation: Toward Political Holiness. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1989.
________. Where is God? Earthquake, Terrorism, Barbarity, and Hope. Maryknoll, NY: Orbis Books, 2004.
Sobrino, Jon and Ignacio Ellacuria. Eds. Systematic Theology: Perspectivas from Liberation Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books, 2001.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment