Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, October 26, 2007

Negara Kriminal: Sebuah Profil


{Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya Martir Politik: Membela Hidup Korban di Negara Kriminal. Indonesia merupakan contoh konkrit negara kriminal yang dibicarakan Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, dalam tulisan sebelumnya]

Negara Kriminal: Sebuah Profil
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.

Kematian prematur menyerang tubuh korban dan pendamping korban. Kematian mereka sebagian besar berakhir dengan tanda tanya. Apakah mereka mengalami kematian prematur karena kriminalitas biasa atau negara? Pertanyaan ini seringkali menghentikan langkah kita untuk karena kita berada di tapal batas wilayah kebenaran. Kutub lain dari kebenaran, bagi mereka yang berbela rasa dengan hidup korban, bukan ketidakbenaran, melainkan kebohongan. Tulisan ini lahir untuk mengisahkan kebenaran realitas yang seringkali mengalami mutilasi kebohongan. Ia mendengarkan penuturan mereka yang berada dekat dengan hidup korban. IMereka yang berada di sisi korban berkeyakinan bahwa negara adalah terdakwa utama kriminalitas terhadap kematian prematur korban.
Tulisan ini berfokus pada kisah korban Ita Martadinata dan Munir. Kematian prematur Ita Martadinata menarik perhatian publik karena terkait dengan kesaksian beberapa korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 yang akan memberikan kesaksian di depan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pihak kepolisian menolak dugaan bahwa kematian prematurnya terkait dengan aktivitas keluarganya dengan para korban kekerasan seksual. Mereka melihat kematian prematurnya sebagai akibat kriminalitas biasa bermotif perampokan. Kematian Munir, aktivis hak asasi manusia yang mengabdikan hidupnya untuk korban penghilangan paksa dan kekerasan negara lain, diyakini karena racun arsenik yang ditaruh di minumannya dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Ámsterdam. Aparat keamanan menolak keterlibatannya dalam kematian militer.
Dalam kasus Ita Martadinata dan Munir, telah terjadi pertarungan antara sahabat korban melawan negara. Dari perspektif korban, yang terjadi bukan kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan.
Kebenaran bahkan dari pihak keluarga korban tidak selalu sampai dalam kondisi lengkap. Situasi internal korban dan situasi eksternal non-korban acapkali membuat kebenaran sampai ke publik dalam keadaan sudah rusak. Rm. Sandyawan Sumardi mengundang publik untuk mendengarkan kebenaran yang tak terucapkan. Publik hanya dapat mendengarkan kesaksian mereka jika mereka memiliki telinga yang berhati kemanusiaan.

Pada desempatan ini kami [Tim Relawan untuk Kemanusiaan] mengajak masyarakat untuk memahami kondisi lelah keluarga, termasuk Evi Suriadinata, kakak almarhum Marthadinata dalam memberikan keterangan kepada pers. Karena itu kami berharap masyarakat bersedia untuk tidak hanya mendengarkan apa yang telah diungkapkan Evi dan keluarga, tetapi juga bersedia mendengarkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan.


Kematian prematur Ita Martadinata menyadarkan kita bahwa kekerasan negara dapat melangsungkan kriminalitasnya dengan mata buta. Kekerasan negara tidak hanya menyerang target korban, tetapi juga mereka yang berada di sekitar target korban. Mereka ingin melumpuhkan target korban dengan melumpuhkan dunia sosial yang berada di sekitarnya. Mereka melihat bahwa lingkaran dekat target korban merupakan titik lemah target korban.

Pembunuhan seperti terhadap Ita adalah sebuah kesaksian tentang bentuk praktek kejahatan terhadap kemanusiaan disamping intimidasi, teror dan provokasi yang terus berlangsung di tengah-tengah kita…. Lebih memprihatinkan lagi karena korban-korban kejahatan itu adalah orang-orang, anggota masyarakat sederhana yang justru memiliki harapan akan berdirinya suatu bangunan peradaban baru yang menghormati kemanusiaan.

Perlindungan terhadap korban dan saksi korban masih absen di negara kita. Dalam situasi demikian, posisi korban dan saksi korban sangat rentan mengalami kekerasan. Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 memiliki tegangan politik sangat tinggi karena menempatkan negara, terutama aparat militer, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atasnya. Masih absennya perlindungan terhadap korban dan saksi korban membuat mereka membuat mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Mekanisme perlindungan diri korban dan saksi korban ini mengandung resiko bahwa kita sulit berjumpa langsung dengan korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negeri Mei 1998.

Peristiwa duka itu [kematian Ita ] adalah gambaran tantangan yang harus kami hadapi selama tidak ada upaya perlindungan dan jaminan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan kami. Persis tantangan ini pula yang membuat Tim Relawan untuk Kemanusiaan tak bergeming sekalipun didesak memperkenalkan saksi dankorban tindak kejahatan kemanusiaan. Kematian Ita adalah kesaksian nyata yang mengundang kita semua untuk membangun pertahanan bersama untuk menjamin keamanan setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan melindungi setiap korban yang mempertaruhkan kepercayaan kepada kita.

Romo Sandyawan Sumardi, yang mewakili Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam siaran persnya menyatakan. Mereka adalah korban kriminalitas negara dan saksi kebenaran.

Kami tidak ingin sekedar menghitung deretan jumlah angka korban. Kami ingin relajar merengkuh para korban sebagai manusia yang telah dipecah, dihilangkan keutuhan haknya sebagai manusia. Mereka adalah para saksi kebenaran yang tak akan pernah berhenti menyerukan suara gugatan pada setiap pelaku kejahatan pada kemanusiaan. Mereka adalah sosok manusia yang menjadi batu penjuru sebuah bangunan peradaban baru. Karena itu kami ingin mencoba menyatukan jeritan pengharapan dari setiap korban.

No comments: