Kuasa Kata: Menyapa
Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.
Mutiara Andalas, S.J.
Friday, October 12, 2007
Melawan Politik Senapan: Dialog Imajiner Aung San Suu Kyi dan Menhamkam RI
[Tulisan ini melanjutkan proses penulisan buku "Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis." Pada bagian ini saya menuliskan dialog imajiner tokoh pro-demokrasi perempuan Myanmar bernama Aung San Suu Kyi dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia dalam rangka 10 tahun peringatan tragedi Mei - Semanggi 1998. Tulisan ini, jika tidak ada halangan, akan diterbitkan di jurnal mahasiswa teologi wedabhakti FENOMENA.]
Dokumentasi: http://www.ncgub.net/mediagallery/mediaobjects/orig/3/3_daw_aung_san_suu_kyi.jpg
Aung San Suu Kyi:
Pagi ini aku berdiri di belakang jendela kamarku menatap ke arah Indonesia. Hari ini aku mendengar dari radio BBC atau Voice of America (VOA) peringatan korban Mei - Semanggi 1998..
Menhankam RI:
Apa yang saudari liat di Indonesia?
Aung San Suu Kyi:
Kekerasan. jeritan korban. Pelupaan.
Menhamkam RI:
Mataku terasa buta melihat masa lalu. Engkau melihat apa?
Aung San Suu Kyi:
Tahun 1965. Ratusan ribu dan bahkan jutaan jenazah berceceran di tanah Indonesia. Jeritan mereka menggubah ulang ratapan requiem. Mereka mengerang kesakitan, tapi moncong senapan memutus suara mereka dalam jeritan-jeritan panjang yang memilukan. Namun, darah mereka tak tertera dalam buku sejarah.
Menhamkam RI:
Mereka anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Para senior kami mendapat perintah langsung secara tertulis untuk membantai mereka sampai tuntas. Bahkan, kami membangun banyak monumen untuk mengabadikan tugas suci itu.
Aung San Suu Kyi:
Aku pernah mendapat surat dari beberapa korban hidup tragedi kemanusiaan itu. Mereka bercerita tentang jeritan korban di berbagai kuburan massal. Mereka ingin mengumpulkan serpihan tubuh korban. Mereka ingin membongkar wajah pelaku kekerasan itu.
Menhankam RI:
Mikul dhuwur mendhem jero. Jangan mengingat masa lalu yang penuh luka. Kita jangan menambahi persoalan bangsa dengan persoalan masa lalu. Lupakan saja.
Aung San Suu Kyi:
Bangsa kalian berjalan dengan meninggalkan banyak jejak darah. Para korban hidup hendak berkisah tentang jejak darah itu. Tak sadarkah engkau bahwa rezim militer dibangun di atas tulang-tulang warga sipil?
Menhankam RI:
Sejarah bangsa kami dibangun dengan kudeta berdarah. Kami tak menghendakinya tapi terus-menerus terjadi. Kami tak mengiginkan ada korban, tetapi banyak korban tak terelakkan jatuh.
Aung San Suu Kyi:
Kalian menganut politik senapan.
Menhankam RI:
Apakah itu?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan memiliki kredo: siapa memiliki senjata ia memegang kekuasaan.
Menhankam RI:
Engkau nampak tak setuju dengan politik senapan. Apakah ada yang salah dengan politik ini?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan meniscayakan pergantian kekuasaan melalui kudeta berdarah. Di Myanmar ada gerakan yang mencoba mengangkat senjata untuk melawan pemerintah yang memegang politik senjata. Kalaupun mereka berhasil menggulingkan rezim otoriter sekarang ini, mereka tak akan membawa negara ini ke arah demokrasi. Kekerasan itu berlawanan dengan demokrasi. Politik kekerasan senantiasa harus menyerahkan rakyat sebagai kurban persembahan di altar untuk berhala kematian.
Menhankam RI:
Aku ingat penuturan pendahuluku pasca kerusuhan Mei 1998. Saat membela diri dihadapan masyarakat yang menggugat ketidakberadaannya saat terjadi peristiwa itu. Ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah masyarkat melihatnya sebagai iblis.
Aung San Suu Kyi:
Sebuatan iblis itu sekarang ini melekat dalam rezim otoriter Myanmar. Saat engkau memasuki rumah tahananku, engkau harus melewati ritual melaporkan diri. Engkau berjumpa dengan para pengikutku yang menyambutmu dengan tangan tanpa senjata. Sementara itu di pos keamanan, Engkau harus melewati barisan militer yang siap dengan senjata di tangan mereka.
Menhankam RI:
Sebagai pemimpin gerakan pro-demokrasi di Myanmar sejauh mana engkau mengenal rakyatmu?
Aung San Suu Kyi:
Rakyat Myanmar selalu dekat di hatiku. Mayoritas warga Myanmar mengalami pemiskinan di bawah rezim otoriter. Engkau tak perlu pergi terlalu jauh dari ibu kota Rangoon untuk melihat potret kemiskinan. Sempatkanlah berkunjung ke wargaku di Hlaingtayar. Sebagian warga di sanasudah beruntung dapat makan dua kali sehari. Bahkan, ada yang hanya dapat makan nasi sehari sekali dan harus minum tajin, kuah air beras yang dimasak, untuk menahan laparnya. Banyak petani terpaksa beralih dari nasi ke pisang rebus untuk bertahan hidup.Potret itu kontras dengan yang terlihat di beberapa restoran dan hotel mewah tak jauh dari situ. Mereka dapat menghamburkan ribuan kyat dalam semalam.
Menhankam RI:
Hatimu benar-benar terarah pada hidup rakyatmu. Engkau membawa hidup mereka dalam kata-katamu. Lidahku terasa sangat kering karena aku sadar betapa jauh hidupku sebagai politikus dari rakyatku sendiri. Aku sering pura-pura buta terhadap penderitaan rakyatku di Indonesia. Bagaimana para politikus Myanmar melihat realitas kemiskinan ini?
Aung San Suu Kyi:
Aku berhutang hidup pada rakyatku. Kalau aku sekarang dapat berbicang-bincang denganmu, nafas ini merupakan pemberian rakyatku. Mereka membela hidupku bahkan dengan darah mereka. Darah mereka tak akan pernah kulupakan.
Banyak politikus negeri ini tak memiliki hati lagi terhadap rakyat. Aku pernah mendengar seorang politikus membuat lelucon yang sangat melecehkan hati rakyat Myanmar. Ia bisa membeli suara rakyat, bahkan yang sudah berada di kubur, dengan selembar uang dollar. Tangan rakyat Myanmar akan menjulur dari kubur kalau ia melambaikan selembar 20 dollar dari sakunya. Seluruh tubuh rakyat yang sudah meninggalkan bahkan dapat bangkit dari kubur kalau ia mengeluarkan selembar 100 dollar dari kantongnya.
Menhamkam RI:
Mereka keterlaluan sekali. Tak pernah sekali-kali aku akan berkata-kata demikian mengenai rakyatku. Seorang lawan politik pernah bicara secara pribadi denganku, "Pemerintah periode ini berjanji setinggi langit, tetapi realisasi janjinya serendah kaki bukit."
Aung San Suu Kyi:
Aku sering mendengar rakyatku dipaksa menghadiri ceramah-ceramah politik yang diselenggarakan rezim otoriter Myanmar. Kalau mereka menolak datang, mereka dipaksa membayar uang ketidakhadiran. Aku prihatin dengan cara-cara rezim ini memperlakukan rakyatnya. Aku mendengar harapan rakyatku akan perubahan. Mereka memintaku untuk menyuarakan penderitaan mereka kepada dunia. Hidup rakyat di Myanmar diatur dengan mentalitas penyiksaan.
Menhamkam RI:
Engkau menerapkan kekerasan rezim otoriter dalam mengurus ekonomi rakyat.
Aung San Suu Kyi:
Penyiksaan terjadi menyeluruh di Myanmar. Penyiksaan politik itu terus berlanjut sampai saat ini. “Kami akan memukul setiap kepala yang berani beroposisi politik melawan kami,” demikian refrain politiik mereka. Mereka menahanku karena telingaku mendengarkan suara penderitaan rakyat Myanmar. Mereka hendak memutus hidupku dari hidup rakyatku. Mereka melihatku sebagai cermin yang membongkar wajah buruk politikus yang telah lama meninggalkan hidup rakyatnya.
Menhankam RI:
Apakah engkau menyimpan dendam dengan rezim otoriter di sanubarimu?
Aung San Suu Kyi:
Aku tak pernah ingin mulai membenci mereka yang melakukan penyiksaan politik terhadapku. Jika aku mulai membenci mereka, aku sedang mengalahkan diriku sendiri. Aku tidak membenci mereka karena aku tidak pernah takut terhadap mereka. Kebencian dan ketakutan saling berlipat tangan.
Rezim militer Myanmar hendak memasung aku dengan status tahanan rumah. Mereka tak pernah bisa menahanku karena aku senantiasa menjadi pribadi yang bebas. Aku belajar banyak dari para sahabat gerakan pro-demokrasi yang dibui karena menjadi suara hati nurani rakyat. Aku ingin dunia mendengar bahwa kami masih terpenjara di negeri sendiri.
Menhamkam RI:
Engkau melihat penjajahan militer di negerimu.
Aung San Suu Kyi:
Seorang sahabat dari Indonesia belum lama mengirimkan sebuah dokumentasi kekerasan militer Indonesia Mass Grave. Seorang ibu lansia, yang pernah ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas selama 20 tahun, memegang tulang suaminya yang menjadi korban kekerasan militer 1965. Ia menuturkan pengalaman sambil menyeka air matanya. Aku tak kuasa menitikkan air mataku saat ia berkata, "Banyak tulang seperti ini terkubur di tanah Indonesia di bawah rezim Soeharto."
Menhankam RI:
Perubahan politik seringkali harus dilalui dengan pertumpahan darah. Peristiwa kekerasan 1965 adalah potret gelap, bahkan bagi bangsa kami. Aku tak tahu yang sebenarnya terjadi.
Aung San Suu Kyi:
Air mata ibu itu seperti rahim yang mengandung kebenaran. Kalau Engkau melihat wajah perempuan itu, engkau akan melihat penderitaan akibat kekerasan militer itu meninggalkan jejak pada kerut-kerut wajahnya. Ia hampir kehbaisan air mata karena penderitaan. Ibu itu sampai berkata bahwa ia dendam kalau mengingat peristiwa itu. Ia dendam karena para pelaku tidak mengenali kejahatan yang telah meremukkan hidupnya.
Menhamkam RI:
Kami jarang memperhatikan bahasa air mata. Kami biasa menggunakan bahasa senapan.
Aung San Suu Kyi:
(besambung)
Negara menjadi penjajah militer daripada pemerintahan sipil. Perkenankan aku menyampaikan kepadamu bahwa negara bertugas menjalankan dharma dan abhaya. Semoga situasi yang sedemikian parah tidak terjadi di negaramu.
Saudara Menhamkan,
aku prihatin terhadap peristiwa Mei 1998. Ribuan orang mengalami kematian prematur. Saat melihat mereka, tak urung aku teringat pada militer. Bolehkah aku bertanya, "Dimanakah engkau berada saat itu?" Begitu banyak korban jatuh, dan berita-berita menyebutkan militer tidak berada di tempat. Aku melihat kalian sebagai pengayom masyarakat dari rasa takut. Namun aku sungguh heran bahwa kalian seolah-oleh hilang entah kemana saat masyarakat berada dalam ketakutan. Berapa orang yang akhirnya menyeberang Indonesia karena rasa takutnya.
Saudara Menhankam,
aku sering bertanya kepada rakyat Myanmar mengenai kerinduan terdalam. Mereka serempak bicara kepadaku, "Rasa aman." Militer lahir untuk memberikan rasa aman dari berbagai ketakutan. Aku melihat kalian memiliki tugas suci. Namun aku sangat berduka melihat ulah militer yang memakai senjata bukan menciptakan rasa aman, tetapi sebaliknya menciptakan rasa takut dalam masyarakat. Aku sendiri mengalami artinya hidup di bawah tekanan senjata di dahiku. Aku sekarang tinggal di sebuah rumah tahanan. Mereka ingin memenjarakan hidupku dengan terali senjata. Cintaku pada rakyat mengalahkan ketakutanku pada moncong senapan.
Saudara Menhankam,
senapan tak boleh digunakan dalam dialog. Sebab ia hanya bisa menggertak. Aku selalu meminta mereka untuk meletakkan senjata saat mereka meminta aku berdialog dengan mereka. Dialog itu komunikatif. Tak mungkin kita dapat berkomunikasi kalau senapan itu selalu ditujukan kepada kita. Kalian juga tak mungkin berbicara kepada rakyatmu sambil mengokang senjata. Dosa utama tentara Myanmar adalah ketidakmampuan, terlebih ketidakmauan mereka untuk berkomuniasi dengan rakyat. Mereka membangun sendiri penjara emas yang tidak memungkinkan mereka untuk dekat dengan rakyat Myanmar.
Saudara Menhankam,
Bibliografi:
Aung San Suu Kyi, The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements (New York: The Seven Stories Press, 1997).
Aung San Suu Kyi, Letters from Burma, with an Introduction by Fergal Keane (London: Penguin Books,1997).
Baskara T. Wardaya, Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (Yogyakarta: Galang Press, 2007)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment