Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, October 10, 2007

Politik Kasih


Rezim otoriter Myanmar dalam hari-hari terakhir ini kembali menggelar teater kekerasan terhadap gerakan oposisi demokratis. Kekerasan represif menjadi bahasa tunggal untuk melumpuhkan aspirasi rakyat yang telah lama lelah dengan rezim otoriter. Kegagalan komunikasi politik rezim militer dalam berdialog dengan gerakan demokrasi menantang kita untuk melakukan operasi bedah terhadap rezim otoriter. Gerakan oposisi demokratis dipidana sebagai aktivitas kriminal dan rakyat disingkirkan sebagai bawahan politik dalam rezim otoriter militeristik. Negara demokratis menempatkan gerakan oposisi sebagai aktivitas yang bermartabat dan rakyat sebagai pilar hidup kekuasaan. Kita diundang untuk menggali politik kasih sebagai alternatif terhadap politik kekuasaan.

Politik Senapan
Aung San Suu Kyi, salah satu tokoh terkemuka kontemporer di Myanmar, dalam The Vision of Hope (1997) menekankan kejujuran dalam hidup berpolitik. Ia mengundang setiap politikus untuk mengucapkan kaul dihadapan rakyat untuk menjunjung tinggi kejujuran. Politikus sejati tidak pernah mengabaikan kepentingan rakyat dan membohongi rakyat. Politikus yang mulai bermain-main dengan ketidakjujuran kehilangan integritasnya di mata rakyat. Politik rakyat atau kasih merupakan lawan dari politik kekuasaan.
Rezim otoriter di Burma periode ini menganut politik kekuasaan. Mereka tidak memberikan peran penting kepada rakyat dan oposisi politik demokratis yang mewakili kepentingan rakyat. Politik direduksi dari aktivitas komunikatif yang melibatkan oposisi politik menjadi aktivitas monologis yang melumpuhkan musuh politik. Rezim otoriter tidak berkomunikasi dengan rakyat, oposisi demokratis, dan bahkan mungkin diantara mereka sendiri. Mereka mereduksi politik sebagai permainan kalah-menang. Mereka terus-menerus berusaha membungkam gerakan oposisi demokratis karena dianggap sebagai musuh yang berpotensi mengalahkan permainan politik mereka.
Rezim otoriter berdiri di atas pondasi pasir. Ia mengisolasi diri dari rakyat dengan menciptakan ketakutan dan kekangan terhadap rakyat. Di negara demokratis rakyat mendapatkan jaminan rasa aman dan kebebasan karena keduanya merupakan hak fundamental sebagai warga negara. Kebebasan sejati tak pernah terjadi tanpa jaminan rasa aman. Absennya rasa aman menyebabkan kita tidak sungguh menjadi pribadi yang memiliki kebebasan. Ketakutan berakar dalam rasa tidak aman karena minimnya, bahkan absennya kasih. Rezim militer hendak membeli demokrasi dengan kekuasaan mereka.
Gerakan oposisi demokratis, sebagaimana diperjuangkan Aung San Suu Kyi, menempatkan rakyat sebagai pondasi batu bagi negara demokrasi. Mereka mengutuk setiap kebijakan politik yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka menganut politik kasih sebagai oposisi terhadap politik senapan. Politik kasih merupakan resistensi aktif terhadap tradisi otoritarianisme yang menyatakan bahwa pemilik senapan memegang kekuasaan. Aung San Suu Kyi mengajak kita untuk menyelesaikan problem negara dengan politik kasih, bukan politik senapan.

Oposisi Demokratis
Negara demokrasi dibangun di atas pilar rakyat. Oposisi demokratis berperan sebagai penjaga rezim dari tindakan menyalahgunakan kekuasaan. Mereka tidak percaya bahwa kekerasan senjata merupakan jalan yang harus ditempuh dalam perubahan politik. Rezim otoriter militer bepegang pada dogma kekuasaan yang mengekalkan perubahan politik melalui kekerasan bersenjata. Kudeta militer merupakan jalan salah dan tak manusiawi untuk melakukan perubahan kondisi politik. Ia tak akan pernah menciptakan fondasi dari demokrasi yang kokoh. Demokrasi dibangun di atas dasar sarana-sarana politik dan komunikasi.
Rezim otoriter merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita membangun Burma sebagai negara demokratis yang dideklarasikan para pendiri awalnya. Dalam negara demokratis, tidak ada perpecahan antara militer dan masyarakat sipil. Relasi antara militer dan rakyat adalah relasi setara yang dilandasi kasih. Relasi kasih berubah total menjadi relasi elite dan bawahan ketika junta mengambil alih kekuasaan dengan kudeta militer. Junta militer membangun rezim otoriter yang dibangun dengan mengorbankan hidup rakyatnya.
Aung San Suu Kyi dalam Letters from Burma (1997) mendeteksi meredupnya kepercayaan dan hormat rakyat dalam hidup berpolitik. Rezim militer melarang lahirnya oposisi dan tumbuhnya komunikasi politik. Dalam sebuah demonstrasi massal pada tahun 1988 seorang mahasiswa melakukan tindakan simbolik dengan mencium lars sepatu tentara yang mencegat aksi oposisi demokratis. Aung San Suu Kyi senantiasa menyongsong militer yang mulai melakukan tindak kekerasan untuk menanyakan alasan aksi represif mereka. Aksi politik simbolik itu menggugat relasi subordinatif yang hendak dipaksaan rezim otoriter. Pembelotan perwira junta militer yang menolak melakukan pembunuhan politik terhadap bhiksu dan rakyat yang melakukan demonstrasi pantas kita baca dari perspsektif ini (KOMPAS, 4/10/2007).
Rezim militer yang otoriter menyebabkan pemiskinan intelektual, moral, ekonomi, dan politik. Pendidikan sengaja tidak mendapatkan prioritas karena dicurigai akan melahirkan gerakan oposisi demokratis. Korupsi merupakan habitus lama ketidakjujuran karena berakar pada pembohongan diri (self-deception). Ekonomi berjalan mundur hingga mencapai titik negatif karena sumber-sumber ekonomi rakyat dihisap untuk kepentingan elit kekuasaan. Rezim otoriter menceraikan politik dari ekonomi sehari-hari. Gerakan-gerakan pro-demokrasi merupakan kritik terhadap praktek kekuasaan yang meninggalkan rakyat. Perubahan politik hendaknya dicapai dengan jalan tanpa kekerasan.

Menyemai Demokrasi Kasih
Teater kekerasan di Myanmar mengundang Indonesia sebagai negara yang berikhrar menjunjung tinggi demokrasi untuk menyemai berkuncupnya oposisi sebagai lawan politik. Pelumpuhan terhadap gerakan oposisi demokratis sebagai aktivitas kriminal menjauhkan kita dari jalan ziarah menuju negara demokratis. Menindas gerakan oposisi demokratis adalah menyerang fondasi demokrasi itu sendiri. Negara demokratis menganut politik kasih yang peduli dengan penderitaan hidup rakyat yang telah memberikan mandat politik kepadanya (SELESAI).

2 comments:

Anonymous said...

"Politik Kasih" kedengarannya "utopia", tetapi jika ditelusuri hal ini bukanlah mustahil. Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela adalah di antara tokoh-tokoh yang berhasil menerapkan politik kasih ini.

Mudah-mudahan ada tokoh dari Indonesia yang mau dan berhasil menerapkan jenis politik seperti ini.

Mutiara Andalas said...

Wah terima kasih Beni mau mampir... Lagi sibuk apa sekarang?
Benar sekali. Bahkan Aung San Suu Kyi mendapatkan inspirasi politik itu dari agama Buddha, agama yang dianutnya. Dalam agama Buddha, metta (compassion)menjadi fondasi politik.