9 Tahun Tragedi Semanggi
Politik Anamnesis
Oleh Mutiara Andalas [1]
Musuh utama kebenaran bukan kesalahan, tetapi kebohongan. Paguyuban keluarga korban mengisahkan kematian prematur korban untuk menciptakan anamnese. Mereka melakukan interupsi terhadap narasi negara yang memproduksi amnesia sosial. Mutilasi terhadap kebenaran menghilangkan ingatan subversif terhadap kematian preamatur korban. Paguyuban keluarga korban menggugat politik amnesia yang menjegal kebenaran secara sistematis. Peringatan sembilan tahun tragedi Semanggi hendaknya ditempatkan dalam bingkai politik anamnesis sebagai resistensi aktif terhadap kriminalitas negara dan pembelaan terhadap kesucian hidup korban.
Mutilasi Kebenaran
Tragedi Semanggi 1998 masih menyisakan babak akhir pernyataan bersalah atau tidaknya negara sebagai terdakwa utama. Negara sejak awal menolak tuntutan paguyuban keluarga korban untuk memasukkan tragedi Semanggi dalam kategori kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Masyarakat non-korban dibawa ke tapal batas kebenaran antara dokumen resmi negara dan kesaksian subversif paguyuban keluarga korban. Negara dengan aparat militernya menempatkan diri sebagai pencipta ketertiban bersama dari ancaman kerusuhan anarkis. Paguyuban keluarga korban mengambil peran sebagai pelindung kesucian hidup korban dari kriminalitas negara. Mereka memandang kasus tragedi Semanggi bukan sebagai kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan institusional (institutionalized lie).
Kebenaran mengenai realitas korban sampai kepada masyarakat non-korban dalam keadaan rusak. Masyarakat non-korban cenderung berpegang pada dokumen resmi negara mengenai tragedi Semanggi. Apatisme sosial terhadap paguyuban keluarga korban tercipta karena negara secara sistematis memisahkan paguyuban keluarga korban dari masyarakat non-korban dengan mutilasi kebenaran. Solidaritas dengan korban sulit tercipta ketika paguyuban keluarga korban semakin tak memiliki ruang publik yang aman untuk menyuarakan kesaksian hidup korban. Paguyuban keluarga korban melihat negara mengempiskan kekerasan yang dilakukannya (undercriminalization). Sebaliknya negara menuduh paguyuban keluarga korban menggelembungkan kasus mereka untuk mencari perhatian publik (overstatement). Kebenaran mengenai realitas korban Semanggi itu massif, tetapi kebohongan massif menyebabkan identitas korban semakin anonim.
Politik Amnesia
David Held, dalam Political Theory and Modern State (1989), menyatakan bahwa aktivitas politik memproduksi dan mereproduksi realitas. Aktivitas politik dalam arti sesungguhnya menggeluti sejarah kemungkinan (the history of possibilities) dan kemungkinan sejarah (the posibilities of history). Held peka terhadap eros aparat negara dan politikus yang terus-menerus berusaha melakukan depolitisasi. Mereka mengklaim kepemilikan absolut terhadap ruang politik. Mereka melucuti kapasitas transformatif individu dan masyarakat sebagai subyek politik dan menempatkan anggota masyarakat sekedar sebagai obyek politik mereka.
Jon Sobrino, salah satu penggiat terkemuka teologi pembebasan di Amerika Latin, mengembangkan politik anamesis sebagai resistensi aktif terhadap politik amnesia. Sobrino mengundang masyarakat non-korban untuk mendengarkan kehidupan korban dalam sejarah, dan Allah kehidupan dalam kitab suci. Ia mengundang kita untuk mengunjungi tempat kejadian perkara dimana korban mengalami kematian prematur. Allah kehidupan membuka diri untuk dijumpai di lokasi korban mengalami kematian prematur. Kita senantiasa digugat dengan pilihan memeluk Allah kehidupan atau illah kematian. Politik anamnesis dibangun di atas pilar ingatan subversif korban, solidaritas, dan humanisasi sejarah.
Politik amnesia dibangun di atas pondasi pengingkaran kebenaran, kriminalisasi korban, dan dehumanisasi sejarah. Para pelaku kekerasan terhadap korban ingin mempertahankan identitas anonim korban. Mereka menyadari bahwa identitas korban cepat atau lambat akan membongkar kriminalitas pelakunya. Negara melakukan ritual politik untuk mencuci tangan kriminalnya. Mereka kemudian mengambil peran penebus yang menciptakan rasa aman masyarakat dari ancaman anarki. Mereka berusaha menceraikan hidup publik dari korban dengan mengisolasi persoalan korban. Isolasi terhadap hidup korban dalam bentuknya yang sempurna membiakkan apatisme, bahkan amnesia sosial.
Paguyuban keluarga korban tampil sebagai suara oposisi (oppositional voice) yang menolak klaim negara sebagai penebus hidup bersama. Mereka memandang negara sebagai penyalib, bukan penebus hidup korban. Mereka mengundang masyarakat non-korban untuk terlibat aktif dalam aliansi gerakan menolak kekerasan negara. Undangan solidaritas dengan korban menarik publik dari posisi pasif dalam konflik kebenaran melawan kebohongan institusional. Kekerasan negara tak sekedar memproduksi kematian prematur tubuh korban, melainkan juga mengancam keberlangsungan hidup tubuh sosial.
Ingatan Subversif
Paguyuban keluarga korban mengungkapkan beratnya peziarahan mereka meraih keadilan hukum. Harapan akan keadilan hukum terhadap korban, menyitir almarhum Munir, itu seperti peziarahan mengejar awan. Negara mengandaskan tuntutan paguyuban keluarga dengan menyatakan tragedi Semanggi sebagai kejahatan biasa terhadap kemanusiaan. Komnas HAM menyatakan tragedi Semanggi, seperti Trisakti, sebagai kejahatan berat terhadap kemanusiaaan. Kasus Semanggi dan Trisakti tidak mengalami kemajuan serius karena negara tidak menindaklanjuti temuan tersebut. Mereka mengakui keterlibatan beberapa aparat keamanan dalam tragedi berdarah itu, namun cenderung memberikan impunitas kepada pelaku utama kriminalitas terhadap korban. Desakan untuk pembentukan komisi perlindungan korban dan saksi korban hendaknya ditempatkan dalam pigura melindungi kebenaran dari ancaman mutilasi.
Kematian prematur korban dalam tragedi Semanggi sebagai skandal subversif semakin tak menyentuh kesadaran, apalagi mengubah perilaku negara. Negara justru menularkan kebohongan, apatisme, dan amnesia sosial secara sistematik. Peringatan sembilan tahun tragedi Semanggi merupakan saat istimewa untuk menguatkan komitmen kita membela kesucian hidup korban. Paguyuban keluarga korban, meskipun sering merasa lelah, namun tak pernah kehilangan harapan. Penjegalan tragedi Semanggi di ruang hukum tak menyurutkan peziarahan menebus keadilan bagi korban kekerasan negara. Politik amnesia hanya dapat dilawan secara aktif dengan politik anamnesis.
[1] Pernah mendampingi paguyuban keluarga korban, dan sedang menyelesaikan buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis.
Oleh Mutiara Andalas [1]
Musuh utama kebenaran bukan kesalahan, tetapi kebohongan. Paguyuban keluarga korban mengisahkan kematian prematur korban untuk menciptakan anamnese. Mereka melakukan interupsi terhadap narasi negara yang memproduksi amnesia sosial. Mutilasi terhadap kebenaran menghilangkan ingatan subversif terhadap kematian preamatur korban. Paguyuban keluarga korban menggugat politik amnesia yang menjegal kebenaran secara sistematis. Peringatan sembilan tahun tragedi Semanggi hendaknya ditempatkan dalam bingkai politik anamnesis sebagai resistensi aktif terhadap kriminalitas negara dan pembelaan terhadap kesucian hidup korban.
Mutilasi Kebenaran
Tragedi Semanggi 1998 masih menyisakan babak akhir pernyataan bersalah atau tidaknya negara sebagai terdakwa utama. Negara sejak awal menolak tuntutan paguyuban keluarga korban untuk memasukkan tragedi Semanggi dalam kategori kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Masyarakat non-korban dibawa ke tapal batas kebenaran antara dokumen resmi negara dan kesaksian subversif paguyuban keluarga korban. Negara dengan aparat militernya menempatkan diri sebagai pencipta ketertiban bersama dari ancaman kerusuhan anarkis. Paguyuban keluarga korban mengambil peran sebagai pelindung kesucian hidup korban dari kriminalitas negara. Mereka memandang kasus tragedi Semanggi bukan sebagai kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan institusional (institutionalized lie).
Kebenaran mengenai realitas korban sampai kepada masyarakat non-korban dalam keadaan rusak. Masyarakat non-korban cenderung berpegang pada dokumen resmi negara mengenai tragedi Semanggi. Apatisme sosial terhadap paguyuban keluarga korban tercipta karena negara secara sistematis memisahkan paguyuban keluarga korban dari masyarakat non-korban dengan mutilasi kebenaran. Solidaritas dengan korban sulit tercipta ketika paguyuban keluarga korban semakin tak memiliki ruang publik yang aman untuk menyuarakan kesaksian hidup korban. Paguyuban keluarga korban melihat negara mengempiskan kekerasan yang dilakukannya (undercriminalization). Sebaliknya negara menuduh paguyuban keluarga korban menggelembungkan kasus mereka untuk mencari perhatian publik (overstatement). Kebenaran mengenai realitas korban Semanggi itu massif, tetapi kebohongan massif menyebabkan identitas korban semakin anonim.
Politik Amnesia
David Held, dalam Political Theory and Modern State (1989), menyatakan bahwa aktivitas politik memproduksi dan mereproduksi realitas. Aktivitas politik dalam arti sesungguhnya menggeluti sejarah kemungkinan (the history of possibilities) dan kemungkinan sejarah (the posibilities of history). Held peka terhadap eros aparat negara dan politikus yang terus-menerus berusaha melakukan depolitisasi. Mereka mengklaim kepemilikan absolut terhadap ruang politik. Mereka melucuti kapasitas transformatif individu dan masyarakat sebagai subyek politik dan menempatkan anggota masyarakat sekedar sebagai obyek politik mereka.
Jon Sobrino, salah satu penggiat terkemuka teologi pembebasan di Amerika Latin, mengembangkan politik anamesis sebagai resistensi aktif terhadap politik amnesia. Sobrino mengundang masyarakat non-korban untuk mendengarkan kehidupan korban dalam sejarah, dan Allah kehidupan dalam kitab suci. Ia mengundang kita untuk mengunjungi tempat kejadian perkara dimana korban mengalami kematian prematur. Allah kehidupan membuka diri untuk dijumpai di lokasi korban mengalami kematian prematur. Kita senantiasa digugat dengan pilihan memeluk Allah kehidupan atau illah kematian. Politik anamnesis dibangun di atas pilar ingatan subversif korban, solidaritas, dan humanisasi sejarah.
Politik amnesia dibangun di atas pondasi pengingkaran kebenaran, kriminalisasi korban, dan dehumanisasi sejarah. Para pelaku kekerasan terhadap korban ingin mempertahankan identitas anonim korban. Mereka menyadari bahwa identitas korban cepat atau lambat akan membongkar kriminalitas pelakunya. Negara melakukan ritual politik untuk mencuci tangan kriminalnya. Mereka kemudian mengambil peran penebus yang menciptakan rasa aman masyarakat dari ancaman anarki. Mereka berusaha menceraikan hidup publik dari korban dengan mengisolasi persoalan korban. Isolasi terhadap hidup korban dalam bentuknya yang sempurna membiakkan apatisme, bahkan amnesia sosial.
Paguyuban keluarga korban tampil sebagai suara oposisi (oppositional voice) yang menolak klaim negara sebagai penebus hidup bersama. Mereka memandang negara sebagai penyalib, bukan penebus hidup korban. Mereka mengundang masyarakat non-korban untuk terlibat aktif dalam aliansi gerakan menolak kekerasan negara. Undangan solidaritas dengan korban menarik publik dari posisi pasif dalam konflik kebenaran melawan kebohongan institusional. Kekerasan negara tak sekedar memproduksi kematian prematur tubuh korban, melainkan juga mengancam keberlangsungan hidup tubuh sosial.
Ingatan Subversif
Paguyuban keluarga korban mengungkapkan beratnya peziarahan mereka meraih keadilan hukum. Harapan akan keadilan hukum terhadap korban, menyitir almarhum Munir, itu seperti peziarahan mengejar awan. Negara mengandaskan tuntutan paguyuban keluarga dengan menyatakan tragedi Semanggi sebagai kejahatan biasa terhadap kemanusiaan. Komnas HAM menyatakan tragedi Semanggi, seperti Trisakti, sebagai kejahatan berat terhadap kemanusiaaan. Kasus Semanggi dan Trisakti tidak mengalami kemajuan serius karena negara tidak menindaklanjuti temuan tersebut. Mereka mengakui keterlibatan beberapa aparat keamanan dalam tragedi berdarah itu, namun cenderung memberikan impunitas kepada pelaku utama kriminalitas terhadap korban. Desakan untuk pembentukan komisi perlindungan korban dan saksi korban hendaknya ditempatkan dalam pigura melindungi kebenaran dari ancaman mutilasi.
Kematian prematur korban dalam tragedi Semanggi sebagai skandal subversif semakin tak menyentuh kesadaran, apalagi mengubah perilaku negara. Negara justru menularkan kebohongan, apatisme, dan amnesia sosial secara sistematik. Peringatan sembilan tahun tragedi Semanggi merupakan saat istimewa untuk menguatkan komitmen kita membela kesucian hidup korban. Paguyuban keluarga korban, meskipun sering merasa lelah, namun tak pernah kehilangan harapan. Penjegalan tragedi Semanggi di ruang hukum tak menyurutkan peziarahan menebus keadilan bagi korban kekerasan negara. Politik amnesia hanya dapat dilawan secara aktif dengan politik anamnesis.
[1] Pernah mendampingi paguyuban keluarga korban, dan sedang menyelesaikan buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis.
2 comments:
Hai, Mas Mutiara.
Aku arfan. Aku baru pertama kali mampir ke blogmu. Aku pernah memberi komentar untukmu di blog-nya Mbak Jennie S. Bev.
Menyedihkan memang melihat respon negara terhadap semua ini. Negara bukannya menyuarakan keadilan malah menghidupkan lupa.
Aku dulu berpikir ada ketakutan untuk menyingkap kebenaran karena ada kekuasaan yang belum bisa dirobohkan. Lalu aku merasa negara mungkin merasa banyak urusan yang lebih penting. Tapi melihat perkembangan semua gerak-gerik negara, aku sampai pada pengertian bahwa negara memang abai dan acuh.
Semoga suara-suara kebenaran tidak pernah berhenti, meski harus berbisik. Doaku untuk semua yang percaya bahwa kebenaran tak bisa dibatasi apapun.
saudara Ardan,
makasih mau mampir ke blog saya. Mampir lagi ya...
Kalau kita mendengarkah kisah keluarga korban, kita akan jadi tahu betapa kriminalnya negara kita. Kriminalitas itu juga telah memasuki ruang hukum: keluarga korban dijegal dengan hukum.
Post a Comment