Ibu Sumarsih,
13 November 1998. Engkau menerima kabar duka. Wawan, panggilan akrab putramu, ditembak militer saat menolong sesama mahasiswa yang menjadi sorban kekerasan negara di Semanggi. Menurut para sahabat relawan untuk kemanusiaan, Wawan sudah meminta izin kepada aparat militer yang masuk ke kampus Atma Jaya untuk menolong korban mahasiswa. Sebelum menghampiri korban, Wawan melambaikan bendera putih sebagai tanda untuk memberikan pertolongan. Namun, ketika sedang mengangkat korban, ia ditembak dengan peluru tajam di dada, mengenai jantung dan paru-paru sebelah kiri.
Ibu Sumarsih,
Engkau bergegas menjenguk jenazah putramu di Rumah Sakit Jakarta setelah menerima kabar duka. Engkau melihat dia berada di keranda terbuka, tangan dilipat, kain putih mengikat dua jempol kaki kanan dan kiri, berkaos putih dan bercelana pendek. Kaosnya berlubang seperti disundut rokok, di sekelilingnya agak cokelat kemerahan. Hatimu ikut tertembus oleh peluru yang merenggut kehidupan puteramu karena engkau ibu yang melahirkannya. Serpihan peluru pada tubuh Wawan menyingkap identitas wajah pelaku kekerasan. Puteramu wafat karena membela kehidupan korban kekerasan dalam tragedi Semanggi. Engkau bertutur lirih saat memangku jenazah puteramu, “Tuhan, saya merelakan kematian puteraku kapan pun Engkau menghendakinya. Namun aku tidak merelakan aparat kemanan menentukan nasib hidupnya secara paksa dengan senjata
No comments:
Post a Comment