Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, November 21, 2007

Politik

KTP itu milik Eten
Oleh Ibu Ruyati Darwin [1]

Aku, Ruwiyati Darwin, adalah ibu dari Eten Karyana, salah satu korban tragedi kemanusiaan Mei 1998. Almarhum Eten Karyana adalah mahasiswa dari Universitas Indonesia, Fakultas Sastra Perancis Inggris dan sebagai guru bahasa Inggris. Jam 07.30 almarhum berangkat ke Bekasi untuk mengajar di sekolah Alhidayah di daerah Bekasi. Kira-kira sudah sore adiknya yang bungsu bertanya sama saya, “Kenapa Eten belum pulang?” “Biar saja kan Eten sudah dewasa,” jawabku. Anak bungsuku tetap gelisah. Ia pergi mencari kakaknya.

Para tetangga datang ke rumah memberitahu kalau Jogya Plaza kebakaran dan pada waktu itu Eten ada di depan Jogya Plaza, Klender, sedang menyaksikan gedung yang sudah terbakar. Menurut saksi mata juga Eten masuk ke dalam gedung itu karena melihat anak kecil sedang terkurung api dan almarhum Eten masuk ke dalam gedung itu untuk menolong anak kecil yang sudah terkurung api itu. Eten masuk ke dalam gedung itu dan tidak kembali lagi. Kami menunggu kabarnya Eten dengan hati sangat cemas dan penuh tanda tanya. Kami sekeluarga mengatakan, “Tidak mungkin anak saya masuk ke dalam gedung itu.” Tiba-tiba kawannya datang ke rumah dan berkata,”Benar Eten sudah menjadi korban. Saya melihatnya di berita Cakrawala ANTV. Ditemukan sebuah dompet berisi kartu tanda penduduk (KTP) Alm. Eten Karyana dari Jembatan Penggilingan”.

KTP tidak terbakar dan sebungkus abu ada dalam kardus aqua. Yang membawa kardus dari RSCM adalah mantu saya bersama tetangga saya. Hancur perasaan kami sekeluarga. Alm. Eten Karyana tadinya adalah tumpuan hidup kami di masa mendatang. Tiba-tiba nyawanya direnggut begitu saja. Banyak yang merasa kehilangan karena anak saya sering menolong memberikan pelajaran terhadap murid-muridnya, juga dengan lingkungan sangat dekat.

Mengenai saksi mata waktu di Jogya Plaza Klender terbakar, ada beberapa orang laki-laki yang membawa jerigen minyak dari arah Pondok Kopi. Mereka menyiramkan isi jerigen ke gedung itu dan membakarnya. Sementara masyarakat yang melihat kejadian itu berteriak-teriak, “Jangan Pak, jangan dibakar di dalam banyak orang!” Teriakan-teriakan masyarkat di sekitar lokasi tidak diperdulikan. Orang-orang itu lalu pergi meninggalkan Jogja Plaza gedung yang sudah terbakar.

Setelah tahu anak Ibu belum pulang; sampai malam aku tidak bisa tidur. Kebetulan pada waktu itu suamiku belum pulang karena sedang pergi ke rumah kawannya di Depok. Akhirnya saya memutuskan untuk nyusul supaya suami saya pulang. Saya berangkat dari rumah jam 5 subuh tapi waktu itu tidak ada kendaraan dan tiba-tiba ada metro mini lewat; itu cuma satu-satunya dari arah Pondok Kopi tiba-tiba Bapak-bapak pake jaket hitam bertanya “Ibu mau kemana ?” Jawabku, “Mau nyusul anakku. Ia belum pulang sejak kemarin.” “Percumah Bu, tidak ada kendaraan kesana,” lanjut laki-laki itu. Mendengar jawaban itu aku jadi bingung, tapi aku tak pedulikan. Aku langsung menuju ke arah Kampung Melayu. Ketika sampai di depan Jogya Plasa, Klender, aku melihat asap mengepul dari arah gedung itu. Semuanya menjadi hangus dan saya lihat ada yang dibawa dari dalam gedung dibawa oleh beberapa orang, bentuknya tidak jelas lagi.

Keterangan dari saksi mata itu adalah tubuh manusia yang sudah terbakar dalam gedung itu. Badanku langsung lemas. Aku khawatir dengan anakku. “Tak mungkin anakku seperti itu,” batinku. Aku menyusul suami karena Eten belum pulang. Sampai di Jatinegara tiba-tiba mobil berhenti dan aku disuruh turun mobil tidak boleh langsung ke Kampung Melayu. Terpaksa aku jalan kaki sampai ke Kampung Melayu. Sesampainya di Jatinegara waktu itu juga banyak gedung-gedung yang dibakar. Aku bingung, “Kok semua gedung terbakar?” Sampai di Kampung Melayu tidak ada kendaraan akhirnya aku jalan kaki sampai ke stasiun Tebet.
Aku naik kereta sampai ke stasiun Depok. Sepanjang jalan ke Depok juga kelihatan asap dari gedung-gedung yang terbakar. Ternyata di seluruh titik pertokoan di Depok, Slipi, Tangerang, dan beberapa tempat lainnya di Jakarta semua kebakaran. “Kok bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan? ” pikirku. Saat aku sampai di Depok, suamiku kaget. Ia memintaku untuk tidak keluar rumah. Aku cerita peristiwanya pada suamiku, “Kemarin Eten tidak pulang.”. Aku langsung mengajak pulang suamiku. Kami susah pulang karena minimnya suasana kacau. Sepanjang jalan dari Depok sampai ke tempat tinggal kami di Penggilingan gedung-gedung, pertokoan sampai kantor masih kelihatan asapnya.

Di rumah sudah ada banyak tetangga. Tetanggaku membawa Bapaknya Eten untuk mencari di Rumah Sakit Cipto. Sesampainya di sana mereka tidak menemukan tanda-tanda jenazah Eten dari tumpuk-tumpukan manusia yang dibungkus dengan plastik hitam. Bapaknya pulang kembali ke rumah, sampai di rumah banyak temannya Almarhum menunggu kabar. Tiba-tiba ada kawannya Almarhum memanggil Bapak dan diminta untuk keluar dulu. Ternyata kawan almarhum, Eten, telah melihat acara TV ANTV jam 16.00 ketika ada berita Cakrawala. Telah diketemukan sebuah dompet berisi KTP dan tidak terbakar kepunyaan Eten Karyana. Setelah mendengar itu Bapaknya teriak histeris. Orang-orang di situ kaget. Di stasiun televisi itu diperlihatkan abu dan dompet anakku yang tak terbakar. Aku pingsan.

Tragedi kemanusiaan 13 – 15 Mei ’98 memakan banyak korban. Banyak para orang tua yang kehilangan anaknya, adik, kakak, saudara. Beberapa korban yang ketahuan identitasnya dimakamkan di TPU di dekat rumahnya masing-masing, seperti Penggilingan, Pondok Kelapa, Cipinang Muara, Kampung Jati, dan Tanah Koja. Kebanyakan korban dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Pondok Rangon. Anak saya walaupun hanya berupa abu, tetap dimakamkan dan makamnya ada di Penggilingan. Kenapa ini harus terjadi? Perbuatan siapakah ini? Kenapa manusia tidak berdosa menjadi korban? Rakyat kecil menjadi tumbal kekuasaan. Negara bertanggung jawab menyelesaikannya.

Kami membentuk paguyuban korban dan keluarga korban Mei pada tahun 1999. Kami sebulan sekali mengadakan pertemuan. Kegiatannya adalah : koperasi, pengajian dan juga bea siswa tapi ini belum bisa memenuhi semuanya dikarenakan dananya yang terbatas. Dan masih banyak yang membutuhkannya. Kegiatan lain adalah kami mengikuti kegiatan di Ikohi (Ikatan Keluarga Orang Hilang). Saya sebagai koordinator pemberdayaan korban Ikohi Jakarta dan Ibu-ibu Paguyuban sering melakukan konseling, di Ikohi untuk Ibu-ibu yang trauma dan merasa jenuh dan tidak bersemangat lagi untuk berkumpul dengan Ibu-ibu lainnya. Pada tahun 2003 kami pecah menjadi dua bagian Paguyuban dan FKKM. Paguyuban dengan adanya organisasi baru (FKKM) kami tetap rutin mengadakan pertemuan sebulan sekali. Aktif dengan Ikohi tahun 2005.

Aku sebagai wakil Paguyuban pernah mengikuti acara tentang KKR, ICC tempatnya Hotel Santika dan Hotel Haris. Aku sering mengikuti acara Kamisan di depan Istana dan beberapa Ibu-ibu selalu mengikuti rapat kalau ada kegiatan misalnya Kontras, Ikohi, juga Elsam, JSKK, JRK, Kalyana Mitra, SHMI, Suara Ibu Peduli. Kami juga pernah mengadakan pengobatan murah dengan Suara Ibu Peduli dan TRK (Tim Relawan Kemanusiaan). Aku berharap negara memperhatikan nasib para korban. Aku juga berharap semoga tragedi kemanusiaan serupa tak terulang lagi dan korban mendapatkan keadilan. Tuntaskan pula kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, misalnya Tanjung Priok, Semanggi I + II, Penghilangan Paksa, Trisakti, 13 – 15 Mei 98, ’65, kasus Munir, dll.

Pada tahun 2003 Paguyuban mengadakan rapat dengan SNB (Solidaritas Nusa Bangsa) untuk pembuatan KPP HAM Mei 1998. Namun, dari pendamping Paguyuban yaitu TRK (Tim Relawan Kemanusiaan) terjadi perdebatan sangat lama, tapi KPP HAM Mei tetap dibentuk dan hasilnya sampai sekarang pemerintah tetap belum merealisasinya. Sebelumnya Paguyuban selalu monitor ke Komnas HAM untuk menanyakan hasilnya KPP HAM Mei 1998 ini berkali-kali ke Komnas HAM, tetapi tidak ada jawaban yang pasti walaupun sudah dibentuk KPP HAM Mei 1998 tetap hasilnya nol.

Paguyuban sering kali mengadakan aksi untuk penuntasan kasus ini. Salah satunya kami hendak mendatangi Wiranto. Namun kami dihadang di jalan Sarinah oleh aparat. Setelah pendamping kami, Tigor dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) (TRK) orasi tiba-tiba di belakang kami ada suara tembakan. Barisan demonstrasi bubar untuk mencari tempat perlindungan. Tigor kena tembak. Aku terjatuh sampai kaca mata pecah. Tanganku terinjak waktu polisi mengejar kami. Waktu itu temanku, Pak Mamat, dipukul rotan polisi, hingga tangannya patah dan sempat dirawat di Bogor. Aku jatuh pingsan.

Rata-rata para korban sudah kelelahan dan jenuh untuk berjuang, namun ada juga yang masih mau berjuang supaya negara bertanggungjawab. Pada tahun 1999 Paguyuban 13 – 15 Mei 1998 bergabung dengan Semanggi I dan Semanggi II. Kami sering mengadakan demonstrasi 13 – 15 Mei 1998 dan Semanggi I dan Semanggi II untuk menuntut keadilan dan mempublikasikan kepada masyarakat agar tahu bahwa Indonesia ini banyak kasus yang belum terselesaikan. Sudah bermacam-macam upaya kami lakukan ke DPR, Komnas HAM, dan Kejagung. Sampai sekarang pemerintah masih bungkam.

Sepuluh tahun berjalan; kami sudah mendatangi beberapa instansi pemerintah untuk menunut keadilan supaya negara bertanggungjawab. Namun hampir 10 tahun ini perjuangan kami belum mendapatkan kepastian dari negara. Harapan korban untuk mendapatkan keadilan belum terwujud juga. Kita harus berjuang terus untuk menuntut keadilan. Siapakah dalangnya? Itu pasti ada. Kita jangan putus asa! Harus berjuang terus demi untuk hak-hak kita yang telah diinjak-injak dan harga diri kita sebagai manusia. Harapan saya semoga tidak terulang kembali dan jangan sampai terjadi lagi korban berjatuhan. Negara harus bertanggungjawab atas pelanggaran yang sudah terjadi di negara kita ini. Ternyata masyarakat pun sudah mengerti dengan adanya pelanggaran HAM juga sudah terjadi. Contohnya, ketika ada pemutaran film “Munir” di Penggilingan, tempat saya tinggal, masyarakatnya sangat antusias sekali dan salah satu anak siswi SMU meminta artikel Munir.

[1] Ketua Paguyuban Mei 1998

No comments: