Kata Pengantar
Buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Politik Amnesia menuju Politik Anamnesis lahir dari kisah air mata korban dan keluarga korban. Perjumpaan saya dengan korban dan keluarga korban terjadi setelah tragedi kemanusiaan Mei – Semanggi 1998. Perjumpaan dengan korban dan keluarga korban seringkali berawal dan berakhir dengan air mata. Ingatan saya dengan mereka mengalami masa pasang surut. Buku ini sampai ke tangan Anda berkat kesediaan korban dan keluarga korban untuk mengisahkan perjuangan tak kenal lelah mereka melawan kriminalitas negara. Para sahabat yang pernah terlibat aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan masih terlibat aktif di Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban Kekerasan Negara banyak menyegarkan ingatan saya dengan korban yang terentang sejak tahun 1998.
Buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Politik Amnesia menuju Politik Anamnesis lahir dari kisah air mata korban dan keluarga korban. Perjumpaan saya dengan korban dan keluarga korban terjadi setelah tragedi kemanusiaan Mei – Semanggi 1998. Perjumpaan dengan korban dan keluarga korban seringkali berawal dan berakhir dengan air mata. Ingatan saya dengan mereka mengalami masa pasang surut. Buku ini sampai ke tangan Anda berkat kesediaan korban dan keluarga korban untuk mengisahkan perjuangan tak kenal lelah mereka melawan kriminalitas negara. Para sahabat yang pernah terlibat aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan masih terlibat aktif di Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban Kekerasan Negara banyak menyegarkan ingatan saya dengan korban yang terentang sejak tahun 1998.
Kisah air mata korban dan keluarga korban sering membuat saya tak kuasa meneteskan air mata. Kisah hidup mereka menjadi sangat dekat dari pelupuk mata kita. Ingatan saya pada mereka tumbuh lagi ketika saya membaca berita saat melakukan aksi diam dengan pakaian duka di depan Istana Negara. Ingatan akan mereka juga hidup kembali saat saya menerima foto tragedi kemanusiaan Trisakti-Mei-Semanggi. Terbentang wajah korban dan keluarga korban di pelupuk mata saya. Saya memperhatikan wajah mereka satu per satu. Setiap wajah mengisahkan penderitaan dalam tragedi kemanusiaan itu. Saya berhenti lama pada potret nisan-nisan di makam Pondok Rangon, tempat sebagian besar korban Mei 1998, dikuburkan secara massal. Saya juga berhenti lama di nisan Wawan, sementara Pak Arif, Ibu Sumarsih, dan Irma yang memegang foto Wawan. Tanpa saya sadari air mata saya telah berjatuhan.
Buku ini mengundang kita semua sebagai sidang pembaca untuk mengingat korban dan keluarga korban dari ancaman pelupaan sosial. Korban dan keluarga korban adalah potret sejarah yang mudah terlupakan dalam ingatan pribadi dan bangsa kita. Kedekatan kita dengan korban dan keluarga korban juga tidak memberikan jaminan absolut bahwa kita tidak akan melupakan mereka. Kedekatan saya dengan beberapa keluarga korban memanggil saya pada tanggung jawab terhadap sejarah korban. Kisah mereka akan hilang jika kita tidak mengingatnya bersama korban dan keluarga korban.
Ketika mulai membuka buku ini, Anda akan menemukan keragaman suara mengenai kisah korban. Dibandingkan dengan buku-buku sejenis, buku ini lebih banyak menawarkan kisah korban. Keluarga korban menempati posisi sentral dalam buku ini sebagai pengisah utama kisah korban. Kita juga memberi ruang terbuka terhadap penafsiran negara dalam melihat tragedi kemanusiaan. Buku ini secara sadar didesain interaktif. Saya menawarkan bahasa catatan harian, monolog, dan wawancara dialogis yang membuka kesempatan luas bagi pembaca untuk terlibat dalam kisah korban dan dialog dengan mereka. Saya juga mempersilakan Anda untuk terlibat dalam, bahkan melakukan interupsi terhadap dialog korban dan keluarga dengan negara.
Pada halaman-halaman akhir, Anda akan menyadari bahwa saya menghantar Anda pada dialog antara kemanusiaan dan teologi. Sebagai pribadi yang sedang menggeluti teologi kemanusiaan, saya mengundang Anda untuk berpaling pada kisah korban dan sekaligus kisah Allah dalam kitab suci. Saya banyak mendengarkan kritik bahwa istilah-istilah teologi mengalami pengkaratan. Karangan ini ditulis sebagai sebuah jawaban atas kritik yang dilontarkan publik terhadap teologi di Indonesia. Publik berharap bahwa teolog kontemporer Indonesia tidak sekedar melakukan "theological make up," tetapi sungguh berurusan dengan kemanusiaan Indonesia yang diberbagai tempat berdarah-darah.
Paul Tillich, salah satu nabi besar dalam teologi sistematik, memberikan peringatan kepada teolog untuk masuk ke dalam realitas kehidupan. Tugas teolog bukan pertama-tama mencari kata-kata pengganti untuk konsep-konsep teologis, seperti dosa dan rahmat, yang terdengar ganjil di telinga publik dan semakin terdistorsi maknanya. Konsep-konsep klasik teologi berjalin erat dengan teks kehidupan. Konsep-konsep teologi yang ada itu barangkali ganjil, tetapi bukan berurusan dengan perkara ganjil.
Saya secara khusus hendak berterima kasih kepada Choan Seng-Song, Boyung Lee, Marion Grau, George Grienner, dan Hal Sanks di Graduate Theological Union yang tak kenal lelah mendidik saya untuk berteologi dari Indonesia dan untuk masyarakat Indonesia. Mereka mendidik saya untuk berteologi yang menyapa manusia. Semoga teologi tak terjebak pada debat teodice, karena dihadapan kita terbentang berbagai tragedi kemanusiaan yang mencecerkan banyak darah. Semoga teolog sebagai penyair Allah senantiasa berada di lokasi-lokasi dimana kemanusiaan sedang dipertaruhkan kehidupannya.
Berkeley, 14 November 2007
No comments:
Post a Comment