
Luka Membekas di Ingatan
Oleh Benedicta Rosalia Irma Normaningsih
Menjelang bulan November, ingatanku selalu kembali ke tahun 1998. 13 November 1998. Peristiwa yang ingin sekali kuhapus. Kadang aku berharap tidak ada peristiwa ”itu”. Tapi tanpa hari itu, tidak akan ada sejarah reformasi di Indonesia. Bersyukur karena menjadi bagian dari sejarah? Aku tidak merasa demikian. Peristiwa itu malah menjadi horor untuk kehidupanku, hingga saat ini. Ia adalah awal ”kehilangan” saudaraku selamanya. Hidupku mengalami perubahan.... 13. Angka sial. Untuk satu peristiwa dalam hidupku, 13 benar-benar angka sial.
Oleh Benedicta Rosalia Irma Normaningsih
Menjelang bulan November, ingatanku selalu kembali ke tahun 1998. 13 November 1998. Peristiwa yang ingin sekali kuhapus. Kadang aku berharap tidak ada peristiwa ”itu”. Tapi tanpa hari itu, tidak akan ada sejarah reformasi di Indonesia. Bersyukur karena menjadi bagian dari sejarah? Aku tidak merasa demikian. Peristiwa itu malah menjadi horor untuk kehidupanku, hingga saat ini. Ia adalah awal ”kehilangan” saudaraku selamanya. Hidupku mengalami perubahan.... 13. Angka sial. Untuk satu peristiwa dalam hidupku, 13 benar-benar angka sial.
November hari ke-13, dari pagi hingga siang semua media massa memberitakan kondisi pusat Jakarta yang menegangkan. Pergerakan mahasiswa. Terpusat di kampus Atmajaya, kampus Wawan. Hari itu memang aku tidak masuk kuliah, ingin memantau berita dari rumah. Menjelang pukul 4 sore, Bapak dan Ibu sudah di rumah, pulang lebih awal dari kantor. Hanya tinggal Wawan seorang yang kami tunggu waktu itu, berhubung kondisi yang semakin memanas di seputar Semanggi.
Dalam masa penantian itu, kami menerima kabar yang hingga kini bagaikan mimpi selintas. Dari romo Sandy. Mengharapkan Bapak dan Ibu ke RS Jakarta. Wawan ada di sana. Cemas, sudah tentu kami cemas. Dengan panik ibu dan bapakku menuju ke arah Semanggi, menyusul Wawan. Pastinya Wawan terluka, atau paling parah mungkin kena tembak. Jangan lebih parah dari itu, Tuhan. Di rumah aku menahan diri tidak menyalakan televisi dan radio. Memutus semua berita yang akan mengabarkan berita apapun tentang Jakarta.
Rumah menjadi ramai. Banyak orang yang datang. Sungguh aneh pada waktu itu untukku. Terlebih lagi mereka mendirikan tenda, persis di halaman rumah. Semakin banyak tetangga yang datang, menanyakan keadaanku. Aku hanya menjawab, ”Aku baik, kok”. Dan mereka pun menemaniku. Jam 9 malam, aku menerima telpon dari ibu. Aku bilang banyak sekali orang dirumah, aku mau ibu cepat pulang. Dengan nada tertekan ibu bilang ibu harus mengurus Wawan. Kenapa? Karna Wawan sudah tidak ada. Kabar yang menjadi akhir dari penantianku di hari Jumat, 13 November 1998.
Tidak ada rasa sakit di wajah Wawan. Sedikit tersenyum, dengan dua tangan terlipat diatas data memegang seuntai rosario. Seperti tidur. Tenang. Kenyataan harus kehilangan satu-satunya saudara kandung adalah misa Requiem. Misa yang paling aku benci, karna misa itu bagaikan ketokan palu pengadilan yang menyatakan bahwa Wawan tidak akan pernah berada di sisi kami.
Hidup menjadi berubah. Sebagai keluarga kami merasa cacat, tidak utuh. Ibu dengan keasyikannya sendiri, sibuk dalam doa. Ia tidak memperdulikan tubuhnya. Ia tidak mau makan. Hingga kini ibu tidak pernah menyentuh nasi. Sewaktu masih hidup, Wawan suka sekali mutih. Setiap mencoba makan nasi, ibu selalu tak bisa menelannya. Ya sudahlah, kami tidak bisa memaksa ibu. Bapak cepat sekali bangkit dari duka. Walaupun mengalami duka mendalam sebagai orang tua yang kehilangan anak lelakinya, bapak sebagai kepala keluarga segera kembali ke rutinitas kerja. Pada akhirnya aku pun menerima kenyataan kematian kakaku. Hidupku harus terus berjalan. Aku kembali ke bangku kuliah.
Perbedaan sangat mencolok terjadi sebelum dan sesudah ditinggalkan Wawan. Tidak ada canda. Tidak ada obrolan. Kami yang ditinggalkan sibuk dengan perasaan sendiri. Sesuatu menghambat aktivitas rutin kami. Aku kangen sekali dengan suasana dulu. Wawan mengejar aku mengelilingi meja makan. Aku menghindari gelitikan dia. Kami berebut saluran televisi. Wawan memasak dua porsi mie instan tanpa kuah plus nasi dan kami makan bersama. Kami berebut tugas menyapu atau mengepel rumah. Kami saling tunjuk tugas mencuci piring.
Oh, Tuhan, seandainya saja Wawan tidak pergi. Aku pasti bisa nebeng motornya kalo ke kampus. Aku bisa titip mie ayam Atma Jaya. Aku bisa rebutan makanan. Bisa ngobrol dan bisa juga marah-marah sama dia. Bisa menyindir koleksinya dan barang-barangnya yang buat aku sangat aneh untuk pria dewasa seperti dia. Aku sangat kangen keberadaan dia di depan ruang tivi dan meja makan. Aku rindu akan sosoknya yang selalu bertelanjang dada sambil memegang gitar.
Tidak terasa sudah 9 tahun, tanpa kehadiran Wawan. Aku sudah selesai kuliah dan sekarang bekerja. Ibu dan bapak, selain bekerja di kantor mereka, juga aktif menyuarakan kasus pelanggaran HAM, teristimewa Semanggi. Tentunya rentang waktu antara peristiwa Semanggi hingga sekarang bagi banyak orang adalah panjang. Bagiku waktu begitu lambat. Menjelang November, selalu ada perasaan tidak percaya bahwa Wawan sudah pergi. Sepertinya peristiwa itu belum lama. Seperti luka yang masih membekas di ingatan kami, bapak ibu dan aku. Selamanya luka itu tidak akan sembuh.
No comments:
Post a Comment