Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, November 21, 2007

Politik

Kata Pengantar

Buku Politik Anamnesis: Berpaling kepada Wajah Korban, Melawan Politik Amnesia lahir dari kisah air mata korban dan keluarga korban. Perjumpaan penulis dengan korban dan keluarga korban bertunas setelah tragedi kemanusiaan Mei – Semanggi 1998. Perjumpaan dengan seringkali berawal dan berakhir dengan isak air mata. Ingatan penulis dengan mereka mengalami masa pasang surut. Buku ini sampai ke tangan pembaca berkat kesediaan korban hidup dan keluarga korban mengisahkan perjuangan tak kenal lelah mereka melawan kriminalitas dan impunitas negara. Para sahabat yang pernah terlibat aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) dan sebagian masih terlibat aktif di beberapa paguyuban korban dan keluarga korban kekerasan negara banyak menyegarkan ingatan penulis dengan hidup korban yang terentang sejak tahun 1998 hingga saat ini.


Kisah korban dan keluarga korban sering membuat penulis tak kuasa meneteskan air mata. Kisah hidup mereka menjadi sangat dekat dengan pelupuk mata penulis. Ingatan penulis pada mereka bertumbuh lagi ketika penulis membaca surat kabar yang meliput aksi diam paguyuban korban dan keluarga korban yang mengenakan pakaian duka di depan Istana Negara. Ingatan penulis akan mereka juga hidup kembali saat saya menerima dokumentasi foto tragedi kemanusiaan Trisakti-Mei-Semanggi. Wajah korban yang mengalami kematian prematur dan keluarga korban yang menuntut keadilan hukum terbentang di pelupuk mata. Penulis memperhatikan wajah mereka satu per satu. Setiap wajah korban mengisahkan penderitaan dalam tragedi-tragedi kemanusiaan itu. Saya berhenti lama pada potret nisan-nisan di tempat pemakaman umum Pondok Rangon, tempat sebagian besar korban Mei 1998 yang meninggal di berbagai pusat ekonomi Jakarta, dikuburkan secara massal. Saya juga berhenti lama di nisan Wawan, sementara Pak Arif, Ibu Sumarsih, dan Irma yang memegang foto kakaknya, bersimpuh di situ. Kesucian hidup korban dan harapan keluarga korban menggerakkan hati penulis untuk mengisahkan hidup mereka kepada masyarakat non-korban.


Buku ini mengundang kita sebagai pembaca untuk mengingat korban dan keluarga korban dari ancaman pelupaan sosial. Korban kekerasan negara adalah potret sejarah yang rentan mengalami pelupaan dari ingatan pribadi dan bangsa kita. Kedekatan yang pernah terjalin dengan hidup korban dan keluarga korban tidak memberikan jaminan absolut bahwa kita akan mengingat mereka. Kita memiliki kecenderungan manusiawi untuk melupakan peristiwa penderitaan dalam hidup kita dan orang lain. Kedekatan dengan beberapa keluarga korban memanggil penulis untuk menjadi saksi kehidupan korban. Pembaca juga diundang menjadi pribadi-pribadi yang solider dengan keluarga korban melawan kriminalitas dan impunitas negara. Kisah korban masa lalu menghilang jika kita tidak mengingatnya bersama keluarga korban sekarang.


Ketika mulai membuka buku ini, pembaca akan menemukan keragaman kisah korban. Dibandingkan dengan buku-buku yang pernah terbit, buku ini lebih memberikan ruang utama kepada korban hidup dan keluarga korban untuk mengisahkan hidup korban. Penulis tidak mengabaikan pentingnya analisis politik makro, tetapi menempatkannya sebagai bingkai kisah korban. Korban hidup dan keluarga korban dalam buku ini berperan sebagai pengisah utama kisah korban. Penulis juga memberi ruang terbuka kepada pembaca untuk menulis ulang tragedi kemanusiaan Mei – Semanggi 1998 dengan menampilkan juga negara sebagai suara oposisi. Buku ini didesain interaktif. Penulis menawarkan bahasa catatan harian, monolog, dan wawancara dialogis karena membuka ruang komunikasi bagi pembaca untuk terlibat dalam dialog korban hidup dan keluarga korban dengan negara. Penulis mempersilakan pembaca sebagai partisipan aktif untuk terlibat dalam, bahkan melakukan interupsi terhadap dialog mereka.


Pada halaman-halaman akhir, Penulis mengundang pembaca untuk terlibat dalam dialog kontemporer persoalan kemanusiaan dan iman. Sebagai pribadi yang menggeluti teologi kemanusiaan, penulis mengundang pembaca untuk berpaling pada kisah korban dalam sejarah Indonesia dan kisah Allah kehidupan dalam kitab suci. Penulis banyak mendengarkan kritik bahwa istilah-istilah teologi kristiani mengalami pengkaratan dalam sejarah. Penulisan buku ini merupakan sebagai sebuah jawaban atas kritik yang dilontarkan publik terhadap teologi kristiani Indonesia. Publik berharap bahwa teolog kontemporer Indonesia tidak terjebak pada theological make up, tetapi sungguh mau berurusan dengan kemanusiaan Indonesia yang di berbagai tempat berdarah-darah.


Paul Tillich, salah satu nabi besar dalam teologi kristiani, memberikan peringatan kepada teolog agar tidak berpaling dari realitas kehidupan. Tugas seorang teolog bukan pertama-tama mencari kata-kata pengganti untuk konsep-konsep teologis, seperti dosa dan rahmat, yang semakin terdengar ganjil di telinga publik dan mengalami distorsi makna. Konsep-konsep klasik teologi berjalin erat dengan teks kehidupan. Konsep-konsep teologi yang ada barangkali nampak ganjil, tetapi tidak berurusan dengan perkara ganjil.


Saya secara khusus berterima kasih kepada Choan Seng-Song, Boyung Lee, Marion Grau, George Grienner, dan Hal Sanks yang mengajar saya di Graduate Theological Union, Berkeley, California. Meeka tak kenal lelah mendorong saya untuk berteologi yang menyapa manusia Indonesia. Semoga teologi tak terjebak pada debat teodice, karena dihadapan kita terbentang berbagai tragedi kemanusiaan yang mencecerkan banyak darah. Semoga teolog sebagai penyair Allah senantiasa berada di lokasi-lokasi dimana kemanusiaan sedang dipertaruhkan kehidupannya.


Mutiara Andalas, S.J.
Berkeley, 16 November 2007

No comments: