Kau Seka Air Mataku dari Surga
Ibu Sumarsih,
Aku menulis surat kepadamu di penghujung musim panas. Mohon maaf bila surat ini sampai ke tanganmu dalam keadaan basah. Aku menuliskannya dengan abjad air mata. Surat ini juga bersampul air mata. Hampir 9 tahun aku mengeja dan surat ini hampir urung sampai kepadamu. Hampir setiap kalimat tersela air mata. Ingatan terhadapmu, Pak Arif, Irma, dan almarhum Wawan menegakkan tanganku yang selalu gemetar memegang pena. Engkau pernah memberikan pena kepadaku saat kita berpisah. Aku berharap pena itu mempertemukan kita kembali saat aku menuliskan tragedi kemanusiaan Semanggi 1998. Redaktur sebuah majalah menempelkan perangko bergambar hati nurani dan berkenan menghantar surat ini ke tangan Ibu.
Ibu Sumarsih,
Seminggu yang lalu seorang sahabat dari Indonesia mengadakan kampanye menentang kekerasan negara. Aku gemetar saat mengisahkan ziarah panjangmu berjalan dari Tempat Pemakaman Umum (TPU) Joglo menuju Istana Negara. Aku mendengarkan suara langkahmu. Engkau berziarah dalam busana duka. Engkau menuliskan pesan dalam langkahmu, “Kadang aku merasa kuat, kadang tak berdaya. Namun aku akan terus berziarah menuntut keadilan ke Istana sepanjang Tuhan masih mengaruniakan usia." Air mataku jatuh saat menyebut namamu. Tatapan lembutmu mengingatkan aku pada sebuah pertanyaan yang pernah kau lontarkan kepadaku, "Apakah engkau mau berada di sisi kami?" Semoga ibu masih berkenan mendengarkan jawabanku.
Aku menulis surat kepadamu di penghujung musim panas. Mohon maaf bila surat ini sampai ke tanganmu dalam keadaan basah. Aku menuliskannya dengan abjad air mata. Surat ini juga bersampul air mata. Hampir 9 tahun aku mengeja dan surat ini hampir urung sampai kepadamu. Hampir setiap kalimat tersela air mata. Ingatan terhadapmu, Pak Arif, Irma, dan almarhum Wawan menegakkan tanganku yang selalu gemetar memegang pena. Engkau pernah memberikan pena kepadaku saat kita berpisah. Aku berharap pena itu mempertemukan kita kembali saat aku menuliskan tragedi kemanusiaan Semanggi 1998. Redaktur sebuah majalah menempelkan perangko bergambar hati nurani dan berkenan menghantar surat ini ke tangan Ibu.
Ibu Sumarsih,
Seminggu yang lalu seorang sahabat dari Indonesia mengadakan kampanye menentang kekerasan negara. Aku gemetar saat mengisahkan ziarah panjangmu berjalan dari Tempat Pemakaman Umum (TPU) Joglo menuju Istana Negara. Aku mendengarkan suara langkahmu. Engkau berziarah dalam busana duka. Engkau menuliskan pesan dalam langkahmu, “Kadang aku merasa kuat, kadang tak berdaya. Namun aku akan terus berziarah menuntut keadilan ke Istana sepanjang Tuhan masih mengaruniakan usia." Air mataku jatuh saat menyebut namamu. Tatapan lembutmu mengingatkan aku pada sebuah pertanyaan yang pernah kau lontarkan kepadaku, "Apakah engkau mau berada di sisi kami?" Semoga ibu masih berkenan mendengarkan jawabanku.
[cuplikan dari draft buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis. Jurnal Kebudayaan BASIS edisi November - Desember 2007 akan mempublikasikan naskah ini]
No comments:
Post a Comment