Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, December 7, 2007

Air Mata Kehidupan


Isakku Tak Kunjung Usai
Oleh Indah M.[1]

Sebenarnya, mengulas kembali masalah almarhum Tedi Mardani sangatlah tidak menyenangkan bagi kami sekeluarga, apalagi orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan almarhum.
Almarhum Tedi yang lahir pada 24 Februari 1977 adalah anak bungsu dari 4 bersaudara dari pasangan Eddy Sjamsudin dan Maria. Bagi orang tua kami, ia lahir sebagai anugrah yang tidak terhingga karena anak laki-laki yang diharapkan akhirnya datang juga. Ia lahir hari Kamis malam Jum’at dan saat itu sedang ada pembacaan ayat suci Al-Qur’an di TVRI. Subhanallah. Ia satu-satunya anak laki-laki, ketiga kakaknya adalah perempuan. Kakak pertama Indah sekarang pengajar di sebuah Institut, yang kedua Diah Riva seorang dokter TNI, ketiga adalah Yulia juga seorang dokter umum.
Almarhum Tedi adalah adik terkecil saya, tetapi dalam keluarga seolah-olah ia menjadi yang tertua. Walaupun ia paling bungsu, ia selalu melindungi kami kakak-kakak perempuannya. Ia pribadi yang bertanggung jawab dengan segala aktivitasnya. Ia sering menasehati kami kakak-kakaknya, seperti ia kakak. Ia selalu mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan pribadinya.
Selama kuliah, ia memang tinggal di Serpong dekat kampus ITI Serpong dimana ia kuliah, tetapi setiap Jum’at malam atau Sabtu ia selalu pulang. Ia aktif di kampusnya, dan bahkan ia sering menjadi ketua dalam berbagai acara di kampus maupun menjadi utusan dari kampus. Kalau mau tahu keaktifannya di kampus, tanya teman-temannya di kampus Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong. Almarhum aktif dalam kegiatan perlawanan terhadap ketidak adilan dan menurut teman-temannya, ia vokal dalam mengaspirasikan dan berorasi.
Tiga hari sebelum kejadian tragedi semanggi, tepatnya pada hari Selasa, 10 November 1998, almarhum pulang ke rumah, katanya ia istirahat dulu. Saat itu adalah minggu-minggu dimana sibuk demo mahasiswa sejak turunnya Soeharto. Saat pulang, mama menyarankan untuk buka rekening di Bank Bali untuk keperluan kuliahnya yang kebetulan ia akan Praktek Kerja Lapangan di jurusan teknik Mesin ITI. Tetapi anehnya, dalam membuka rekening, tanda tangannya sama sekali tidak sama dengan KTP dan Kartu Mahasiswanya. Berulang kali dicoba, tetapi tetap saja beda. Akhirnya pihak bank memberikan solusi untuk membuat pernyataan di atas materai bahwa tanda-tangannya berubah.
Keesokan harinya, hari Rabu, 11 November 1998 mama minta diantar ke tempat om di Cibinong. Mobil yang kita pakai ternyata remnya blong saat di jalan tol Pondok Gede, tetapi ia memberanikan diri untuk terus jalan perlahan-lahan. Alhamdulillah kami selamat sampai kembali pulang. Adikku tidak pernah tidur maupun menginap di tempat saudara kami. Namun saat kami ke tempat saudara di Cibinong, ia sempat tidur di sofa sampai hampir 2 jam.
Hari Kamis, 12 November 1998, almarhum pamitan dengan orang tua untuk ke kampus. Ia harus menjaga posko Senat, karena memang ia adalah salah satu senat kemahasiswaan ITI. Papa dan mama Orang berpesan kepadanya, ”Jangan ikut-ikutan demo. Nanti kamu terluka oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.” Sebelum berangkat mama bertanya, ”Besok Jum’at pulang kan?” Jawab almarhum ”Iya mah.” Mama tanya lagi, ”Mau dimasakin apa?” Jawab almarhum, ”Semur mah.” Semur emang kesukaan almarhum. Besoknya, mamaku masak semur dan menanti anaknya anaknya pulang untuk melahap makanan kesukaannya.
Sejak Kamis, 12 Nov 1998 demo mahasiswa di Semanggi tidak surut-surut juga. Kami sekeluarga berusaha menelpon almarhum tetap tidak ada jawaban. Menurut teman-temannya, ia memimpin demo mahasiswa dari ITI untuk bergabung dengan mahasiswa kampus lainnya di Semanggi dan berkumpul di kampus Atmajaya. Menurut teman-temannya, seharusnya jadwal pimpinan hari itu bukan dirinya. Berhubung yang bertanggung jawab mendapat halangan, almarhum bertanggung jawab dalam demonstrasi.
Hari Jum’at, 13 November 1998 saat berita di Indosiar Pk 16.00 WIB, papa dan mama menyaksikan demonstrasi mahasiswa dan akhirnya terjadi perlawanan oleh aparat yang bertugas saat itu. Tiba-tiba saja papa kesakitan pada bagian pinggang. Ia seketika langsung teringat almarhum Tedy adikku. Saat itu juga ada telpon dari rekannya, yang menyatakan bahwa adik kami terluka dan di bawa ke rumah sakit dekat Atmajaya. Saya dan kedua adik perempuan yang sedang di jalan menuju mall untuk berbelanja ditelpon papa untuk segera pulang.
Berita itu menyebabkan mamaku lemas tak berdaya, hampir pingsan mendengarnya, dan langsung menangis terisak-isak tanpa berhenti. Setelah saya dan kedua adik sampai di rumah, papaku langsung bersiap untuk ke tempat almarhum berada berdasarkan info dari teman-temannya. Kami pada awalnya mau membawa mobil, namun sepertinya tidak mungkin. Jalan dimana-mana ditutup. Akhirnya, kami minta bantuan teman bernama Eki untuk dapat mengantar papaku dengan motornya.
Mereka berdua berangkat dan magrib sampai ke lokasi. Menurut papaku, mereka kesulitan masuk Semanggi dan dihadang petugas, tetapi papaku nekat dengan motor menerobos masuk ke Atmajaya. Penerobosan dilalui dengan desingan peluru di mana-mana. Papaku melihat peluru-peluru tersebut ditembakkan. Saat melihat almarhum Tedi, papaku pasrah dengan keadaannya yang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Akhirnya papaku memberitahukan wafat Tedi kepada kami. Mama sangat histeris sekali mendengar kabar anak laki-laki satu-satunya.
Papa kesulitan membawa almarhum ke rumah karena di luar sana masih banyak desingan peluru. Papaku nekad membawa almarhum pulang ke rumah. Ia menyuruh mobil ambulans untuk menerobos demonstran. Akhirnya, malam pukul 23.00 WIB, almarhum tiba di rumah kami. Mamaku tak berdaya melihatnya. Ia menangis terus tanpa henti. Kami berkabung, sedih sekali. Pihak ITI Serpong, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainya memohon kami sekeluarga mengijinkan almarhum diotopsi. Awalnya kami menolak, tetapi adik kami Diah Riva yang lulusan Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia (FK-UI) meng-iyakan, dengan syarat ia mendampingi otopsi tersebut.
Esok harinya sabtu, 14 November 1998, sebelum diberangkatkan ke RSCM untuk diotopsi, almarhum dimandikan dan disholatkan di rumah kami di Bekasi. Tepat pukul 09.00 WIB adik kami di otopsi di RSCM. Astagfirullah. Almarhum ditembak dengan peluru beneran, bukan peluru karet. Peluru itu ditembakkan dari punggung bawah menembus mengenai rusuk, rusuk hancur, menembus paru-parunya dan hancur, menembus keluar melalui tulang belikatnya, dan peluru yang sama menembus kembali ke rahang bawah, yang akhirnya peluru tersebut bersarang di mulutnya. Sungguh perbuatan yang biadab.... Ada bagian peluru yang pecah nyangkut di dalam dadanya. Ternyata pelurunya memang belah di ujungnya. Peluru tersebut menurut informasi menjadi barang bukti yang kuat di pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah diotopsi, almarhum dibawa ke kampus ITI Serpong untuk disemayamkan, dan baru di bawa ke TPU Karet Bivak untuk dimakamkan. Saudara, kerabat, handai taulan, dan masyarakat hadir ke pemakaman, tumpah ruah ke jalan. ”Ya Allah... lampangkan kuburnya, jadikan surga sebagi tempat kembalinya, dan beri keikhlasan bagi kami yang ditinggalkannya, amin.”
Banyak wartawan datang dan menanyakan segala hal mengenai almarhum dan perasaan kami sekeluarga setelah wafat almarhum. Kadang kami marah dengan mereka. Apakah mereka tidak memahami bahwa kami sedang berkabung? Pertanyaan-pertanyaan mereka justru membuat hati kami teriris-iris. Mama tidak pernah mau untuk diwawancara. Papaku nampak tegar sekali, namun sebenarnya hatinya rapuh dan hampa. Tidak lama setelah almarhum Tedi meninggalkan kami, papa mengajukan pensiun dini. ”Ah.. buat apa kerja... udah tidak ada lagi yang dibiayai.” Almarhum memang dipersiapkan papa dan mama sematang mungkin untuk menjadi orang yang berhasil.
Sejak sepeninggal almarhum, kami sekeluarga dengan keluarga korban lainnya menuntuk keadilan. Saya sebagai kakak tertua yang sering kali ikut. Ortu saya terutama mama sering kali stress bila mengingatnya. Sedikit saja saya membicarakannya, langsung airmata mamaku keluar. Jadi saya jarang melibatkan orang tuaku dalam aksi-aksi untuk memperjuangkan keadilan.
Papaku tegar, tetapi tak jarang saya melihat papaku termenung sendiri mengeluarkan ar mata, bahkan hari Sabtu sering papaku duduk di teras seperti kebiasaannya menanti putranya pulang. Saat duduk diteras, kadang mama bertanya ”Papa lagi ngapain?” Papa bertanya ”Mana Tedi? Ia belum pulang juga.” Saat tersadar, papa mengucapkan istighfar. Sehari dua hari seminggu, kami merasa almarhum masih di rumahnya di Serpong, tapi lama-lama kami merasa kehilangan yang amat sangat.
Kami berusahaan untuk iklas... ikhlas.... ikhlas.... Dan itulah satu-satunya yang membuat orang tua kami tegar. Allah lebih menyayangi Tedi. Perjalanan kesedihan kami terus berlangsung, sampai akhirnya cucu mama yang pertama 11 Maret 2004 terlahir. Mama menyayangi cucu laki-lakinya itu secara luar biasa. Alhamdulillah, kehadiran cucu laki-laki membuat penderitaan orang tua kami berkurang, tetapi tetap saja masih trauma kalau ada yang membicarakan atau mendengan berita di TV.
Dalam perjalanan mencari keadilan, kadang kami berfikir, kami hanys bola pinpong yang dilempar ke sana kemari tanpa jelas sasarannya.Tidak ada titik terangnya. Sepertinya kami hanyalah alat bagi orang-orang yang berkepentingan, isu dalam politik, bahkan point penting dalam pemilu. Ironis. Adilkah ini bagi kami?
[1] Kakak pertama dari almarhum Tedi Mardani, korban meninggal dalam Tragedi Semanggi Berdarah 13 November 1998

2 comments:

SEKJEN PENA 98 said...

Disini ada cerita
Tentang kita yang mau berbagi cinta
Dengan sesama manusia
Disini ada cerita
Tantang kita yang menderita
Karena cinta pada manusia
Disini ada cerita
www.pena-98.com
www.adiannapitupulu.blogspot.com

Mutiara Andalas said...

terima kasih atas sdr. Sekjen Pena 98 atas puisi kemanusiaannya. Sangat menyentuh kalbu.