Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Thursday, February 14, 2008

Perjamuan Terakhir

Perjamuan Terakhir

Pada perjamuan malam terakhir, Yesus berkumpul bersama para sahabat-Nya di sekitar meja perjamuan Paskah. Ia menyingkap keakraban sekaligus jarak dalam persahabatan mereka. Ia menyantap roti dan minum anggur bersama mereka sebagai tanda persahabatan. Pada saat yang sama, Ia bersabda kepada para sahabatnya, “Tetapi lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini” (Luk 22, 21).

Ketika mengingat masa remaja, saya mengenang santap makan bersama keluarga, terutama pada perayaan-perayaan besar. Saya mengingat dekorasi Natal, kue ulang tahun, lilin Paskah, dan wajah-wajah ceria. Namun, saya juga mengenang kata-kata kemarahan, bantingan pintu, air mata, wajah merah padam, dan kesenyapan tanpa kata.

Kami memasuki saat-saat penuh penderitaan tak terperikan ketika tidur dan makan bersama. Tempat tidur dan meja makan adalah dua tempat keakraban, tetapi juga dapat menjadi tempat penderitaan. Meja makan barangkali menjadi menjadi tempat paling penting karena mempertemukan pribadi-pribadi dalam keluarga. Kita seringkali mengungkapkan kekeluargaan, persaudaraan, keramahtamahan, dan kemurahan hati kita terhadap pribadi-pribadi lain di meja makan.[1]



[1] Disadur dari Henry J.M. Nouwen, “Table Talk” dalam Mornings with Henry J.M. Nouwen (Cincinnati, OH: Servant Books, 1997), 47.

No comments: