Seorang tua hidup dekat sebuah rumah ibadat. Pada awalnya ia berusaha menahan diri dengan suara keras dari tempat Ibadat. Lama-lama ia mencak-mencak karena corong rumah ibadat terarah pada rumahnya.
“Apa Tuhan jauh dari mereka sehingga mereka perlu berteriak-teriak memanggilnya? Aku sial sekali karena tinggal di dekat rumah ibadat mereka.”
Suatu kali saat orang itu berjalan-jalan dengan anjingnya ia berpapasan dengan rabi dengan pelayanan.
“Wah, Anda itu bukan seorang rabi, tetapi Anda membutuhkan pelayan seperti saya,” gurau rabi.
“Jangan samain donk. Rabi khan tuan buat pelayan, tetapi saya adalah pelayan bagi anjing kesayangan saya,” jawab orang itu mencibir.
“Terus terang saja saya tidak suka dengan kotbah-kotbah rabi di rumah ibadat. Saya selalu tutup telinga saat corong rumah ibadat menyala,” kata orang it uterus-terang.
“Mendengarkan atau tutup telinga itu pilihan saudara. Saya salut bahwa saudara masih memiliki perasaan manusia,” kata Rabi penuh pengertian.
Beberapa waktu kemudian, orang tua itu menjewer telinga anaknya.
“Jangan pernah bicara kurang sopan terhadap rabi.”
“Apa Tuhan jauh dari mereka sehingga mereka perlu berteriak-teriak memanggilnya? Aku sial sekali karena tinggal di dekat rumah ibadat mereka.”
Suatu kali saat orang itu berjalan-jalan dengan anjingnya ia berpapasan dengan rabi dengan pelayanan.
“Wah, Anda itu bukan seorang rabi, tetapi Anda membutuhkan pelayan seperti saya,” gurau rabi.
“Jangan samain donk. Rabi khan tuan buat pelayan, tetapi saya adalah pelayan bagi anjing kesayangan saya,” jawab orang itu mencibir.
“Terus terang saja saya tidak suka dengan kotbah-kotbah rabi di rumah ibadat. Saya selalu tutup telinga saat corong rumah ibadat menyala,” kata orang it uterus-terang.
“Mendengarkan atau tutup telinga itu pilihan saudara. Saya salut bahwa saudara masih memiliki perasaan manusia,” kata Rabi penuh pengertian.
Beberapa waktu kemudian, orang tua itu menjewer telinga anaknya.
“Jangan pernah bicara kurang sopan terhadap rabi.”
No comments:
Post a Comment